Oleh. Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I
I. PENDAHULUAN
Setelah
sebelumnya peradaban Islam mengalami masa keemasan Islam pada masa
pertengahan, yang ditandai dengan kerajaan-kerajaan Bani Umayyah dan
Bani Abasiyah, maka setelahnya adalah masa kemunduran yang sempat
mewarnai setelahnya, hingga sampailah pada masa modern.
Modernisme
dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, intuisi-intuisi lama,
dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbukan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern memasuki agama Islam, terutama sesudah
pembukaan abad ke 19 M, yang dalam pemikiran Islam dipandang sebagai
permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa
ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme,
demokrasi, dan sebagainya.[1]
Maka dari itu,
kami akan mengulas materi pemikiran Islam pada masa modern, sebagai
bentuk umat Islam atas bangkitnya setelah terjadi masa kemunduran.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Saja Peristiwa-peristiwa Penting yang Mempengaruhi Pemikiran Islam Pada Masa Modern?
B. Bagaimana Corak Pemikiran Islam dalam Bidang Teologi, Filsafat, dan Politik yang Berkembang Pada Masa Modern?
III. PEMBAHASAN
A. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Mempengaruhi Pemikiran Islam Pada Masa Modern
Periode Modern
(1800 M dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam bahwa di Barat
telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi
Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di periode modern
inilah timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.[2]
Periode ini
memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami
kemunduran diperiode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan
pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak
muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama
bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran
Islam. ajaran-ajaran ini bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang
sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat dan tahayyul. Ajaran-ajaran inilah,
menurut mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu
mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham tersebut.
Kedua, pada periode ini barat mendominasi dunia di bidang politik dan
peradaban. Persentuhan dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan
ketertinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit dengan
mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk
menciptakan balance of power.[3]
Sepanjang 12
abad pertama sejarahnya, Islam hidup dengan kesadaran penuh terhadap
kebenaran dan realisasi janji tuhan kepada kaum muslimin, bahwa mereka
akan menang apabila mereka mengikuti agama-Nya. Mereka menang di dunia
ini, terlepas dari perang Salib dan penaklukan singkat atas dunia Islam
oleh bangsa Mongol, lantaran mujahidin perang Salib kalah dengaan cucu
Hulagu Khan, Uljaitu, menganut agama Islam dan dalam kenyataannya telah
menjadi penyokong bagi pengetahuan Islam dan seni.
Sesudah itu
datanglah penaklukan atas berbagai kawasan Islam oleh bangsa-bangsa
Inggris, Prancis, Belanda, Rusia, belum lagi penaklukan sampingan oleh
bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol. Walaupun kaum muslimin semula agak
enggan terhadap signifikasi jangka panjang kejadian-kejadian ini, akan
tetapi, penaklukan Napoleon atas Mesir menimbulkan satu kejutan yang
membuat pemimpin-pemimpin muslim sadar akan dimensi dan makna penaklukan
barat atas Islam.[4]
Selain itu,
ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran di abad
ke-18 M, Eropa barat mengalami kemajuan dengan pesat. Kerajaan Safawi
hancur di awal abad ke-18 M dan kerajaan Mughal hancul pada awal paro
kedua abad ke-19 M di tangan Inggrisyang kemudian mengambil alih
kekuasaan di anak benua India. Kekuatan Islam terakhir yang masih
disegani oleh lawan tinggal lagi Kerajaaan Usmani di Turki. Akan tetpi
yang takhir ini pun terus mengalami kemunduran demi kemuduran, sehingga
dijuluki dengan the sick man of Europa. Kelemahan kerajaan-kerajaan
Islam itu menyebabkan Eropa dapat mencaplok negeri-negeri Islam dengan
mudah.[5]
Dengan
demikianlah timbul apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan
atau modernisasi dalam Islam. Para pemuka Islam mengeluarkan
pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali
sebagaimana keadaannya pada periode klasik. Usaha-usaha kearah itupun
mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam, namun pada dalam periode
modern ini, barat juga bertambah maju, sehingga sering terjadi
perbenturan antara peradaban barat dan peradaban Islam, yang sekarang
populer disebut dengan Al-Ghazwah Al-Fikriyah.[6]
B. Corak Pemikiran Islam Dalam Bidang Teologi, Filsafat, Politik, Yang Berkembang Pada Masa Modern
1. Teologi
Pemikiran
teologi Abduh mempunyai dimensi yang sangat luas apalagi jika dikaji
sampai detail-detail masalah dan dibahas dan argumen-argumen yang
diajukan. Pemikiran Abduh sudah banyak yang ditulis ada yang sifanya
pengenalan, pembahasan secara sederhana dan ada pula yang cukup
mendalam. Istilah yang digunakan oleh Abduh dalam teoliginya adalah ilmu
tauhid yang menurutnya adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud
Allah, sifat-sifat yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang jaiz dan yang
muhal. Disamping itu juga membahas para Rasul Allah, bagaimana
meyakinkan kerasulan, meyakinkan apa yang wajib bagi mereka apa yang
boleh dan apa yang terlarang menghubungkannya.
Ilmu kalam ini
belum ada pada zaman Rasulullah dan baru muncul pada periode setelah
itu, yaitu sesudah kaum muslimin bersentuhan dengan budaya dan pemikiran
yang datang dari luar. Sebagimana dimaklumi, pemikiran keagamaan semasa
Rasul hidup masih sangat secderhana dan jelas belulm berkembang. Untuk
perekembangan selanjutnya digambarkan oleh Abduh sebgai berikut:
“Selanjutnya
sebagian orang yang turut membaiat ‘Ali (Khalifah keempat) menghianati
janji-janji mereka. Karena itulah timbul huru-hara perang saudara
dikalangan kaum muslimin (perang Jamal dan Shifin), sampai kemudian
pemerintah kemudian dipegang oleh Bani Umayyah. Tetapi pembinaan
masyarakat Islam telah hancur berantakan dan tali kesatuan yang mengikat
mereka telah putus. Dalam pada itu timbul gejala lain yaitu membuat
riwayat palsu dan takwil yang macam-macam. Tiap-tiap golongan sudah
menjadi sedemikian fanatiknya yang akhirnya memecah belah tubuh umat
Islam ke dalam kelompok Syi’ah, Khawarij dan Mutadilin (moderat).”
Kemunculan
masalah teologis diangkat pertama kali oleh kaum khawarij. Semula
persoalan teologis ini dimaksudkan sebagai justifikasi terhadap sikap
dan gerakan oposisi mereka. Namun dalam perkembangnnya kemudian justru
masalah-masalah yang dibicarakan kaum khawarij ini mengkristal menjadi
problema pemikiran keagaman.[7]
Pada
perkembangan berikutnya situasi bertambah kompleks setelah banyak para
pengikut agama lain membawa aqidah dan kepercayaan mereka sebelumnya.
Mereka ingin sekali mempertemukan ajaran Islam dengna ajaran dan
praktek-praktek yang biasa mereka lakukan. Muncullah kemudian problem
filosofis tentang perbuatan manusia, apakah ia sebenarnya makhluk bebas
atau terikat. Persoalan ini melhirkan kelompok Qodariyah dan Jabariyah
dalam aliran teologi Islam.
Masih dalam
kaitan masalah yang dipersengketakan oleh dua kelompok diatas, muncullah
golongan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha. Mu’tazilah
ini menurut Abduh merupakan aliran yang terlalu mencampuradukkan agama
dengan pengetahuan luar, sehingga dalam sisi tertentu mereka telah
keluar dari kelompok salaf. Jadi kritik Aabduh kiranya tertuju pada
pemikiran keagamaan Mu’tazilah yang terlalu berkembang bebas.[8]
Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
Pokok yang
mendasari pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh sangat berkaitan dengan
corak teologi yang dianutnya. Para penulis terdahulu berbeda pendapat
dala menlai corak teologi mana yang dianut oleh Muhammad Anduh.
Penilitian terakhir yang dilakukan oleh Harun Nasution, menunjukkan
bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional, dekat dengan teologi
Mu’tazilah yang mempercayai hukum alam. Kecenderungan Muhammad Abduh
kepada teologi Mu’tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang
berjudul Hasyiah ‘Ala Syarh al-Aqaid al-Dawani li al-Adudiyah yang
diterbitkan oleh Al- Matba’ah al-Khairiyah di Kairo tahun 1905.
Dengan teologi
rasional itulah ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai ruang
gerak yang lebih luas, dibawah sikap rasional dan paham kebebasan
manusia ide pembaharuannya bercorak dinamis, dan mempunyai arti penting
bagi kemajuan umat Islam pada zaman modern. Dengan kata lain, gagasan
utama pembaharuannya berangkat dari asumsi dasar bahwa semangat rasional
harus mewarnahi sikap fikir mayarakat dalam memahami ajaran Islam. Jika
semangat ini ditumbuhkan, kecenderngan taklid dan menutup pintu ijtihad
dapat dikikis.[9]
2. Filsafat
Islam adalah
pewaris warisan Filosofikal dari dunia Mediteranian dan anak benua
India. Ia mengalih bentuk warisan ini dalam pandangan dunia Islam dan
sesuai denngan semangat dan simbol tertulis Al-Qur’an, dan melahirkan
serangkaian besar madzhab-madzhab intelektual dan filosofikal. Tradisi
ini melahirkan intelektual-intelektual besar semisal, al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Rusyd, al-Ghazali dan sebagainya yang beberapa diantaranya
dikenal di barat dan beberapa yang lain baru sekarang dikenal di luar
dunia Islam.
Sewaktu dunia
Islam untuk pertama kalinya bertemu barat pada abad ke-19 M di
negeri-negrei seperti Mesir, Persia, Turki dan anak benua India, tradisi
intelektual yang ada di setiap kawasan menampakkan reaksi sesuai dengan
kondisi-kondisi lokal tetapi dalam konteks umum tradisi intelektual
universal Islam. Pengaruh filsafat barat disetiap kawasan dunia Islam
bergantung pada bentuk kolonialisme yang kebetulan mondominasi di suatu
kawasan tertentu. Kalangan modernis di anak benua India misalnya
terdominasi oleh filsafat inggris periode Victorian. Sebaliknya
kelompok-kelompok modernis di Iran yang menaruh minat pada bahasa dan
kebudayaan Perancis untuk dapat melepaskan pengaruh-pengaruh Inggris dan
Rusia dari Utara dan Selatan tergila-gila pada Descartes dan
selanjutnya filsafat Cartesian dan juga pada positivism comtian abad
ke-19.[10]
Kekecewaan
dengan peradaban Barat modern, ketidaktentuan masa depan, serta
keperluan kembali ke inti agama telah menyebabkan banyak orang terutama
kalangan akademis memeriksa ulang Sufisme lalu menyulut minat kepada
pengajarannya. Akhirnya kekuatan-kekuatan yang sama telah membimbing
banyak orang kepada penemuan kembali filsafat islam sendiri dan pada
gilirannya kebangkitan kembali filsafat itu, terutama di wilayah Iran.
Kebangkitan-kebangkitan kembali pemikiran Islam dalam bermacam-macam
gaya pun teramati disebagian besar di negeri Muslim antara lain: Dunia
Arab, Arab bagian Timur yaitu Mesir dan Syiria adalah dua pusat terbesar
aktifitas cultural dan filosofikal pada abad ke 20. Banyak tokoh-tokoh
yang masyhur sebelum dan sesudah perang dunia ke-2, semisal Abu Halim
Mahmud, Ustman Amin, Ibrahim Madkour, dll. Hampir semua tokoh menaruh
minat pada kebangkitan filsafat Islam serta perjumpaannya dengan
pemikiran Barat. Semenjak perang Dunia ke-2 tujuan membangkitkan kembali
pemikiran Islam telah digabungkan dengan suatu gerakan penting yaitu
penerjemahan filsafat Barat ke dalam bahasa Arab.[11]
Kebangkitan
kembali pemikiran Islam cenderung bernada puritanical yang mengikuti
aliran Wahabi-Salafi periode awal atau dengan sufisme yang juga menjadi
sasaran penting kebangkitan kembali selama beberapa tahun di Mesir. Di
Lebanon, Fokus kegiatan filosofikal yang lebih modern daripada Syiria
dan Mesir. Lebanon berusaha memainkan jembatan antara Barat dan dunia
Islam. Sepanjang dekade terakhir ini ada cendekiawan-cendekiawan Lebanon
baik muslim maupun Kristen seperti Umar Farrukh, Hasan sha’b, Kamal
al-Yaziji, dll, yang berkepedulian dengan pengkajian atas filsafat
Islam. Di Irak, Irak telah menghasilkan aneka sarjana terkenal yang
mengawinkan kedua jenis disiplin itu, yang Islami dan bercorak Eropa.
Sarjana-sarjana ini meliputi: Baqir al- Shadr, Kamil al-Syaybi, Husayn
Ali Mahfuzh, dan terutama Muhsin Mahdi yang telah memberikan konstribusi
yang berharga pada kajian atas al-Farabi dan Ibn Khaldun. Ada pula
upaya-upaya untuk menelaah filsafat pendidikan Islam terutama oleh
Fadzil al-Jamali.
Di Iran,
Filsafat Islam terus berkembang sebagai tradisi yang hidup sesudah apa
yang dikenal dengan Abad Tengah dan terus bertahan sampai dewasa ini.
Semenjak akhir perang Dunia ke-1 filsafat eropa terutama aliran Prancis
yang diidentifikasi dengan tokoh-tokoh seperti Descartes dan lebih
belakangan Bergson, berpengaruh di kalangan kelas-kelas akademis
khusunya di universitas-universitas dan akademi-akademi modern. Diantara
tokoh-tokoh tradisional yang paling aktif dalam kebangkitan kembali
filsafat Islam di Iran, orang dapat menyebut Sayyid Abu al-Hassan
Qazwini, Sayyid Muhammad Khazim ‘Ashshar, dll.[12]
3. Politik
Pada abad
ke-19 hingga awal abad ke-20 memperlihatkan sosok buram wajah dunia
Islam. Hampir seluruh wilayah Islam berada dalam genggaman penjajah
Barat. Dalam internal umat Islam sendiri, emahaman keagaman mereka yang
tidak antisipatif terhadap berbagai permasalahan membuat merka semakin
jauh tertiggal menghadapi Hegemomi barat. Umat Islam lebih mengandalkan
pemahaman ulama-ulama masa lalu daripada melakukan terobosan-terobosan
baru untuk menjawab permaalahn-permasalahan yang mereka hadapi.
Dalam politik,
dunia Islam mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan pemikiran barat.
Sebelumnya, pada masa klasik dan pertengahan, umat Islam dapat dikatakan
mendominasi percaturan polotik internasional. Dinasti-dinasti Islam
silih berganti naik ke puncak kekuasaan politik. Namun keadaan berbalik
pada masa modern. Kekalahan-kekalahan dari dinasti Bani Usmani dari
Barat membuat rasa percaya diri Barat semakin tinggi. Hal ini di tambah
lagi dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dapat
menguasahi dunia Islam. Pada masa modern, hampir seluruh dunia Islam
mengalam pejajahan Barat.[13]
Salah satu
pemikir politik Islam masa modern yaitu Muhamma Abduh. Pada ,masa Abduh
dunia Islam menngalami penjajahan dan kolonialisme oleh negara-negara
Barat. Hampir tidak ada wilayah Islam yang terbebas dari penjajahan
Barat. Meir ysng merupakan negara Abduh juga mengalami penjajahn dari
Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh jaga merasa terpannggil untuk
menentang kehadiran kolonialisme Barat di negaranya dan dunia Islam
umumnya.
Abduh sangat
membenci kehadiran bnagsa Barat, namun juga meyesalkan sikap
penguaasa-penguasa muslim dan ulama yang memberi mereka kesempatan pada
bangsa-bangsa Barat unutk menguasai mereka. Menurut Abduh, kehadiran
bangsa-bangsa Barat tidak hanya meguasai dunia Islam, tetapi juga
mengembangkan sistem nilai mereka, seperti dalam bidang sosial, politik,
pendididkan, budaya dan hukum, terhadap umat Islam. Dalam lapangan
sosial politik, bangsa Barat berusaha memaksakan kehendak mereka.
Dibidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan Barat yang memisahkan
antara pendidikan agama dan umum menjadi fenomena di dunia Islam.[14]
Kepada
penguasa-penguasa muslim yang depotis, Abduh juga mengarahkan kecaman
pedasnya dan memandang mereka sebagai antek-antek imperealis Barat yang
berkonspirasi menindas rakyat. Menurutnya, pemimpin muslim menyandang
gelar tinggi seprti sultan atau pangeran, hidup mewah, dan berupaya
mencari perlindungan dari pemerintahan asing non- muslim untuk
memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti
ini menjadi penyebab pula bagi kehancuran akhlak di dalam masyarakat.
Mereka menjadi pemimpin yang otoriter.
Kondisi ini
diperparah oleh kebodohan ahli fiqih. Mereka tidak memahami poliltik dan
bergantung kepada penguasa, sehingga tidak memepertanggung jawabkan
kekuasaannya. Hal ini disebabkan karena umat Islam sudah terasuki oleh
paham-paham keagamaan yang berasal dari luar Islam.
Pandangan
Abduh terihat moderat. Ia tidak serta merta menolak Barat. Nilai-nilai
demokrasi yang menghendaki adanya kontrol terhadap kekuasaaan dan
diwujudkannya melalui lembaga perwakilan dapat diterimanya. Namun, Abduh
sangat menolak umat Islam yang mencari sistem hukum yang tidak sejalan
dengan tradisi budaya dan masyarakatnya. Menurut Abduh, hukum yang akan
dijalankan untuk masyarakat haruslah yang sesuai dengan kepribadian
masyarakat itu sendiri.[15]
[1]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2001), hlm. 3.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam ..., hlm. 6.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 173-174.
[4] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen), (Bandung: PUSTAKA, 1986), hlm. 78-77.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 174.
[6] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 230-231.
[7] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi, (Jogjakarta: Teras, 2009), hlm. 28.
[8] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi, ..., hlm. 30.
[9] Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 102-103.
[10] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen), ..., hlm. 186-187.
[11] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen) ...hlm. 189.
[12] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen) ...hlm. 196.
[13] Muhammad
Iqbal dkk, Pemikir Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 56.
[14] Muhammad Iqbal dkk, Pemikir Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), ..., hlm. 72.
[15] Muhammad Iqbal dkk, Pemikir Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), ..., hlm. 74-75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar