Oleh: Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I
Islam hadir di tengah masyarakat Arab pada saat usia Muhammad 40 tahun
ketika beliau menerima wahyu Allah Swt untuk pertama kalinya dengan
perantara malaikat Jibril sebagai tanda kerasulannya yang disusul
kemudian oleh wahyu kedua yang menjadi awal aktivitas dakwah beliau
sebagai nabi dan rasul[1]. Pada saat itulah, secara tidak langsung, keadaan sosial dan politik masyarakat Arab mulai berubah.
A. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM
1. Dakwah Islam dan politik
Pada masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw melancarkan dakwah secara
sembunyi-sembunyi. Hal ini, selain karena belum adanya perintah untuk
berdakwah secara terang-terangan, juga karena lingkungan yang secara
politis belum kondusif. Pada masa ini, yang menerima dakwah Nabi untuk
memeluk Islam adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat seperti
isterinya sendiri, Khadijah dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib.
Kemudian dilanjutkan dengan para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu
Bakar As-Shiddiq yang kemudian diikuti oleh kelima orang lainnya, yaitu
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqasy, Abdurrahman
bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Setelah itu, para tokoh Quraisy
lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Al Arqam bin Abi Al Arqam
yang dilanjutkan dengan orang-orang dari kalangan hamba sahaya dan
fakir miskin. Mereka inilah yang disebut dengan kelompok As-Sabiqun al
awwalun[2].
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi,
turun perintah Allah Swt kepada Nabi agar melakukan dakwah secara
terang-terangan. Tentunya, selain karena perintah Allah di atas, keadaan
politik Islam waktu itu sudah menguat, meskipun masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, Nabi pun dengan keberaniannya yang luar biasa dan gaya
bahasa yang meyakinkan mengatakan kepada keluarga Abdul Muthalib pada
suatu undangan makan yang dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau
berkata: “Wahai Bani Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya saya tidak
pernah mendapatkan seorang Arab pun yang datang kepada kaumnya dengan
membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian.
Sesungguhnya saya datang membawa kebaikan untuk kalian di dunia dan
akhirat” [3].
Namun, hal ini bukan berarti dakwah Nabi berjalan tanpa hambatan. Bahkan
sejak diproklamirkannya dakwah Islam secara terang-terangan, kaum
Quraisy yang sebelumnya kurang memberikan respon negatif, berubah secara
drastis menjadi memusuhi Nabi dan menentang dakwah yang dijalankannya
itu. Secara keagamaan, mungkin pengaruh yang ditimbulkan oleh dakwah
secara terang-terangan ini tidak sebesar pada aspek politik, selain
tentu saja materi. Kaum Quraisy merasa khawatir jika dakwah Islam
semakin diterima oleh masyarakat Arab akan berpengaruh pada kehancuran
agama mereka yang diwariskan secara turun temurun dan juga keuntungan
materi yang didapat sebagai imbalan dari posisi penjaga dan pengaman
Ka’bah. Oleh karena itu, segala daya dan upaya dilancarkan oleh kaum
Quraisy untuk membendung dakwah Nabi, dari hanya sekadar mengejek hingga
menyiksa sahabat-sahabat beliau.
Keadaan seperti ini tentu sangat memukul hati dan kejiwaan Nabi dan para sahabat beliau yang lain. Untung
saja ada Abu Thalib, paman beliau yang selalu menolong dan melindungi
dakwahnya. Keberadaan Abu Thalib di sisi Nabi sangat mempengaruhi dakwah
Islam karena kedudukannya secara politis di mata kaum Quraisy sangat
tinggi sehingga bagaimanapun sepak terjang Nabi yang membuat geram kaum
Quraisy dapat terlaksana tanpa adanya hambatan dan dakwah Islam pun
terus berjalan.
2. Hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan Perlindungan Politik
Kalau sepak terjang nabi Muhammad Saw dalam dakwah Islam berjalan tanpa
hambatan berarti, lain halnya yang terjadi dengan para sahabat beliau.
Para kafir Quraisy melancarkan penolakannya terhadap dakwah Islam dengan
menyiksa para sahabat Nabi seperti Ammar bin Yasir dan kedua orang
tuanya yang dijemur di tengah teriknya sinar matahari dan Bilal bin
Rabah yang selain muka dan punggungnya ditimpakan ke pasir panas di
terik matahari, juga dadanya dibebani batu besar.
Melihat keadaan para sahabatnya yang memprihatinkan itu, Nabi pun
menyarankan mereka untuk melakukan hijrah ke Habasyah. Sebenarnya banyak
tempat yang bisa jadi alternatif lokasi hijrah, namun setelah
dipertimbangkan dengan matang, akhirnya pilihan jatuh kepada Habasyah.
Dan pilihan Habasyah sebagai tujuan hijrah dilakukan karena alasan
politis karena rajanya pada waktu itu, Negus, adalah seorang yang
terkenal adil dan bijaksana meskipun beragama Nasrani sehingga
diharapkan dapat melindungi para sahabatnya dari gangguan kaum Quraisy.
Adapun kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah untuk mendapatkan
perlindungan politik ini pada awalnya berjumlah 14 orang, 10 laki-laki
dan 4 perempuan. Kemudian bertambah menjadi 83 laki-laki dan 19
perempuan di luar anak-anak yang keseluruhannya berasal dari kaum
Quraisy. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan dan isterinya
Ruqyyah binti Rasulillah, Zubair bin Al Awwam, Abdullah bin Auf, Ja’far
bin Abi Thalib beserta isterinya dan ‘Amr bin Sa’id bin Al ‘Ash bersama
saudaranya Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash[4].
Sebagaimana yang diperkirakan oleh Nabi, pilihan politik Habasyah
sebagai tempat hijrah adalah pilihan yang sangat tepat. Karena, meskipun
kaum kafir Quraisy berusaha mempengaruhi Negus, raja Habasyah dengan
mendatanginya dan menjelek-jelekan kaum muslimin yang melakukan hijrah
tersebut agar melakukan pengusiran terhadap mereka, hal ini sia-sia
saja. Mereka pun pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa yang
mendalam[5].
3. Hijrah ke Yatsrib (Madinah) sebagai keputusan politik
Yatsrib adalah suatu tempat yang dihuni oleh orang-orang Yahudi yang
datang dari Palestina ketika mereka terusir pada peristiwa invasi
Hadrian dan orang-orang Aus dan Khazraj yang berasal dari salah satu
suku Arab Selatan. Di antara mereka terjalin hubungan yang kuat di mana
pemikiran-pemikiran keagamaan yang dibawa oleh orang-orang Yahudi tidak
mendapatkan penolakan sebagaimana yang terjadi di Mekah pada saat
orang-orang Quraisy menolak kehadiran Islam, meskipun mereka tidak serta
merta memeluk agama Yahudi.
Pada tahun kesepuluh dari usia kenabian, Rasulullah dihadapkan pada
kenyataan pahit yang harus diterimanya, yaitu meninggalnya Abu Thalib,
pamannya dan Khadijah, isterinya, dua orang yang selalu membantunya
dalam mengemban misi dakwah Islam. Karena dengan wafatnya kedua orang
tersebut, berbagai derita datang silih berganti dari orang-orang musyrik
Quraisy, terutama Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Al Hakam bin al ’Ash
dan ‘Uqbah bin Abu Mu’ith bin Abu ‘Amr bin Umayyah. Menurut Hasan
Ibrahim Hasan, hal ini terjadi karena rumah mereka yang berdekatan
dengan rumah Nabi, sehingga dengan sangat berani mereka melemparkan
kotoran saat beliau sedang shalat dan menaruhnya pada makanan beliau.[6]
Kondisi yang dialami nabi Muhammad Saw di atas membuat beliau berpikiran
untuk mencari alternatif lain demi menunjang tugas dakwah yang
diembannya, sampai akhirnya keputusan untuk hijrah pun diambil. Kota
Thaif pada awalnya menjadi lokasi hijrah tersebut. Tapi ketika
mendapatkan penolakan dari penduduk setempat yang melempari beliau
dengan batu, akhirnya beliau memutuskan untuk menjadikan kota Yatsrib
sebagai pilihan hijrah berikutnya.
Kali ini keputusan yang diambil oleh Nabi sangat tepat karena sambutan
yang diberikan penduduk Yatsrib terhadap dakwah beliau sangat hangat.
Mereka ternyata telah mengetahui pertentangan yang terjadi antara kaum
muslimin dengan orang-orang kafir Mekah melalui orang-orang Aus yang
datang ke Mekah pada tahun kesepuluh kenabian untuk menjalin persekutuan
dengan orang-orang Quraisy guna menghadapi orang-orang Khazraj yang
pada waktu itu antara orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj sedang
dalam pertikaian di mana perang untuk memperebutkan kursi kepemimpinan
di Yatsrib di antara mereka kerap terjadi, dan yang terakhir adalah
perang Bu’ats yang dimenangkan oleh orang-orang Aus. Pada waktu itu, ada
yang menerima Islam dan ada juga yang menolaknya.
Sementara itu, orang-orang Khazraj pun mengirim utusannya ke Mekah untuk
berhaji. Di sana, keenam dari mereka bertemu dengan Nabi dan
mendengarkan dakwah beliau yang akhirnya menerimanya karena melihat
kesesuaian ajaran-ajarannya dengan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan
dari orang-orang Yahudi di Yatsrib. Sesampainya di Yatsrib, mereka pun
menceritakan tentang Rasulullah Saw kepada penduduk Yatsrib dan mereka
pun menerimanya dengan penuh gairah dan semangat untuk menerima dakwah
Islam.
Kondisi politik yang sangat kondusif ini diakhiri dengan hijrahnya nabi
Muhammad Saw beserta sahabatnya ke Yatsrib. Hasan Ibrahim Hasan
menyatakan bahwa sebelum keputusan hijrah ke Yatsrib ini diambil, pada
tahun ketigabelas kenabian, beliau diundang oleh 73 (tujuh puluh tiga)
orang Yatsrib agar Nabi berhijrah ke sana dengan maksud hendak membai’at
beliau dan menjadikannya sebagai pemimpin mereka.[7]
Mengenai pertemuan nabi Muhammad Saw dengan delegasi dari Yatsrib ini,
A. Hasjmy yang menyebut jumlahnya 72 (tujuh puluh dua) orang dengan
selisih 1 (satu) orang dengan yang dikatakan oleh Hasan Ibrahim Hasan,
bahwa pertemuan tersebut melahirkan suatu ikrar yang disebut dengan
“Ikrar Aqabah” yang berbunyi sebagai berikut:
Demi Allah, kami akan
membela Engkau ya Rasul, seperti halnya kami membela isteri dan
anak-anak kami sendiri. Sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan
yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami, ya
Junjungan”.[8]
4. Negara Madinah sebagai institusi politik
Kota Yatsrib setelah hijrahnya nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya
dari Mekah pada tahun 622 M. diganti menjadi Kota Nabi atau
Madinatunnabi yang lebih dikenal dengan nama Madinah. Komposisi penduduk
Madinah setelah hijrah pun berubah menjadi tiga kelompok, kaum
Muhajirin, yaitu orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, kaum
Anshar, yaitu penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan kaum Yahudi,
yaitu penduduk Madinah yang tetap berada dalam agama mereka.
Dalam komposisi yang seperti disebutkan di atas, tentunya diperlukan
suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi yang tumbuh dari
masyarakat Madinah yang bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam. Oleh
karena itulah, seperti ingin mendeklarasikan berdirinya negara Madinah,
nabi Muhammad Saw membuat suatu piagam yang kemudian disebut dengan
Piagam Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Akram Dhiyauddin Umari,
Piagam Madinah terdiri dari dua teks, yang pertama adalah dokumen
perjanjian dengan Yahudi dan yang kedua adalah dokumen perjanjian antara
kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan kalimat lain, isi Piagam Madinah
merupakan keputusan politik nabi Muhammad Saw dalam mengatur hubungan
sosial kemasyarakatan, baik antara sesama muslim maupun dengan
masyarakat non-muslim dalam suatu institusi politik yang disebut dengan
Negara Madinah.[9]
Mengenai penyebutan Madinah sebagai Negara Madinah, Jaih Mubarok melihat
adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada dalam suatu negara dalam
Konvensi Montevideo tahun 1993 dengan unsur-unsur yang ada di Madinah
sehingga layak disebut Negara Madinah di mana ada penduduk yang menetap,
yaitu penduduk Yatsrib yang terdiri dari Muhajirin, Ashar dan Yahudi.
Kemudian ada wilayahnya, yaitu Yatsrib atau Madinah. Ada
pemerintahannya, yaitu Nabi sebagai kepala pemerintahannya dengan masjid
sebagai pusat pemerintahannya. Dan ada hubungan dengan negara-negara
lain, yaitu hubungan dengan Habasyah (Etiopia, Mekah, dan hubungan lain
baik hubungan damai maupun perang).[10]
5. Syura Sebagai Sistem Politik
Jika demokrasi adalah sistem politik Barat yang kini
digunakan oleh sebagian besar negara di dunia, maka sebenarnya
prinsip-prinsip yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda dengan
prinsip-prinsip yang ada di syura—untuk tidak dikatakan sama.
Dalam Islam, syura adalah suatu sistem politik yang
digunakan untuk mengatasi problema dan permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat Islam. Pada masa Rasul, syura ini dilakukan baik dalam
lingkungan keluarga sebagai komunitas masyarakat paling kecil hingga
negara di mana Muhammad Saw kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya,
terutama yang berkenaan dengan masalah muamalah.
Pada masa Khulafaurrasyidin, syura juga terus dilakukan oleh
para khulafaurrasyidin, baik dalam menetapkan solusi atas
permasalahan-permasalahan sehari-hari maupun yang secara khusus
berhubungan dengan masalah politik dan kepemerintahan. Untuk yang
terakhir ini dapat kita lihat pada pemilihan mereka sebagai khalifah
sepeninggal Rasul. Tentunya, sebagai pengecualian, pembai’atan Ali yang
tidak melalui syura karena kondisi waktu itu yang mulai menampakkan
perebutan kekuasaan dengan cara-cara yang kurang bijaksana.
Ketika nabi Muhammad Saw meninggal dunia pada tahun 632 M.,
beliau tidak menunjuk salah seorang dari sahabat pun untuk menggantikan
beliau sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu para sahabat pun
melakukan syura untuk menentukan pemimpin umat Islam setelah Rasul
wafat. Meskipun syura yang dilaksanakan umat Islam terutama oleh
golongan Muhajirin dan Anshar cukup alot akhirnya dipilihlah Abu Bakar
sebagai khalifah pertama.[11]
Setelah memimpin umat Islam selama 2 (dua) tahun, Abu Bakar
meninggal dunia pada 634 M. Namun sebelumnya, ketika sakit menjelang
ajal tiba, ia juga melakukan syura dengan para sahabatnya dengan
menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya sebagai khlaifah yang
langsung diterima oleh kaum muslimin. Dalam hal ini, Hasan Ibrahim Hasan
menulis bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar bin Khattab sebagai
penggantinya bermusyawarah dengan para sahabat, di antara mereka adalah
Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin ‘Affan, Asid bin Khudhair dan Sa’id bin
Zaid.[12]
Menjelang kematiannya karena dibunuh setelah memegang
jabatan sebagai khalifah selama sepuluh tahun sejak 634-644 M, Umar juga
melakukan syura. Namun berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menunjuk
seorang sahabat sebagai penggantinya tapi ia membentuk semacam wakil
umat Islam sebanyak enam orang sahabat dan meminta mereka memilih
seorang sebagai khalifah penggantinya. Keenam orang tersebut adalah
Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqasy dan Abdurrahman bin
Auf. Melalui syura ini, Usman terpilih menjadi khalifah ketiga setelah
bersaing ketat dengan Ali.[13]
6. Kepolisian
Konsep keamanan negara dan pemerintahan telah menjadi
perhatian peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin. Konsep
ini menjadi lebih sistemik dengan didirikannya sistem kepolisian pada
masa Umar bin Khattab khalifah dengan menjalankan sistem jaga malam.
Pada masa Ali bin Abi Thalib, kepolisian menjadi lebih berkembang dengan
didirikannya struktur kepolisian di mana ada seorang kepala kepolisian
yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.[14]
7. Peradilan
Pada masa Rasul belum ada lembaga yang kita sebut sekarang
dengan nama Peradilan, meskipun beliau telah mengijinkan para sahabatnya
untuk memutuskan perkara-perkara atau memutuskan hukum dalam masyarakat
berdasarkan Al-Quran, Al Hadits dan ijtihad. Di antara para hakim yang
terkenal pada masa Rasul, sebagaimana dikatakan Hasan Ibrahim Hasan,
adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin
Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas.[15] Begitu juga dengan masa Abu Bakar.
Lembaga peradilan baru ada pada masa Khulafaurrasyidin yang
didirikan oleh Umar bin Khattab setelah Islam tersebar luas. Ia lah yang
pertama kali mengangkat hakim di wilayah-wilayah Islam. Selain
mengangkat para hakim, Umar juga telah membuat undang-undang untuk para
hakim yang harus dilaksanakan dalam menetapkan hukum. Di antaranya
adalah bahwa seorang hakim harus berlaku adil dan berpegang teguh kepada
kebenaran. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa peradilan pada masa
Khulafaurrasyidin bersifat independen dan sangat berwibawa dan para
hakim yang diangkat adalah orang-orang yang selain luas ilmunya, juga
memiliki sifat taqwa, wara’ dan adil.[16]
B. EKONOMI ISLAM
Pada umumnya keadaan ekonomi Islam pada masa Rasul ini tidak
berbeda dengan keadaan ekonomi pada masa Pra Islam di mana perekonomian
didominasi oleh bidang perdagangan. Karena situasi dan kondisi pada
waktu itu yang kerap dipenuhi dengan peperangan antara kaum muslimin
dengan non-muslim, maka aktivitas perdagangan ini tidak sehebat pada
masa pra Islam. Ibn Hisyam, Sejarawan muslim abad ke-3 Hijriyah,
mencatat tidak kurang dari 20 perang telah terjadi antara kaum muslimin
dan non-muslim selama pemerintahan Islam di Madinah[17].
Namun hal ini tidak berarti ekonomi Islam tidak memiliki nilai tambah
jika dibandingkan dengan peradaban Arab pra Islam. Karena Rasulullah,
setelah tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di sana telah
melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan
dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan
nilai-nilai yang digariskan dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam
kehidupan masyarakat Islam, termasuk dalam bidang ekonomi ini.
Prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjadi dasar penerapan
ekonomi dan keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya
secara umum ada dua yaitu:
- Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, umat Islam tidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah Swt berfirman yang artinya:
Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu
kebahagiaan di akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
kebahagiaan dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu.[18]
- Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah Swt banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.
Inilah yang membedakan antara ekonomi Arab masa Islam dengan masa Pra
Islam. Selain itu, yang menjadi perbedaan antara ekonomi Arab masa Islam
dan pra Islam adalah bahwa pada masa Islam, institusi ekonomi baru
dilahirkan. Institusi ini disebut dengan Baitul Mal. Pada masa Rasul
yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang
berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan
masyarakat ini berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin
Khattab, Baitul Mal sudah merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di
Madinah sebagai pusat negara dan di provinsi-provinsi lainnya sebagai
cabangnya.
Adapun sumber keuangannya ada yang berasal dari zakat, baik zakat
fithrah maupun zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan
pokok yang dikeluarkan oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul
fithri. Sedangkan zakat harta adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum
muslimin jika harta mereka telah sampai pada nishab, yaitu jumlah
minimal harta yang diwajibkan pada seorang muslim untuk membayar zakat.
Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan yang berhak
menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang
yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang
yang berada dalam perjalanan. [19]
Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang didapat dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl
ini 4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut
berperang. Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul
beserta keluarganya dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat,
untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan lain Baitul Mal adalah Fay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah
(upeti) yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian
dari wajib militer. Pada masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika
wilayah Khaibar ditaklukkan di mana pemilik tanah yang mengelola
tanahnya diwajibkan memberikan 50 % dari hasil produksinya. Sedangkan
besarnya upeti adalah satu dinar pertahun bagi setiap orang laki-laki
yang sanggup membayarnya. Namun, perempuan, anak-anak, pengemis,
pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau sakit lainnya dibebaskan
dari kewajiban ini. [20]
Sumber keuangan Baitul Mal juga berasal dari hasil tebusan para tawanan
perang yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar Karim menulis bahwa
Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang pada perang
Badar sebesar 4.000 dirham.[21]
Selain itu semua, ada juga sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu
harta karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum muslimin yang meninggal
tanpa meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah, denda-denda dan
pajak khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi kekurangan
keuangan negara. Untuk yang terakhir ini, Adiwarman mengatakan bahwa
Rasulullah pernah menjalankannya pada saat terjadinya perang Tabuk.[22]
Dalam hal pendistribusian harta dari Baitul Mal, pada masa Rasul yang
dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya masih sederhana
yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang sama dan
adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka
dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung
didistribusikan kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari.
Pada masa Umar bin Khattab, karena semakin luasnya wilayah ekspansi
Islam dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan, harta
Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya disimpan baik
untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun
kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk
Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid
Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[23]
Selain membentuk bendahara negara, untuk menertibkan pendistribusian
harta dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk departemen-departemen
yang diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4 (empat)
departemen yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer, yang
berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang
terlibat dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang
bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat
eksekutif, Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang
mendistribusikan dana bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam
seperti juru dakwah dan keluarganya dan Departemen Jaminan Sosial, yang
berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan bagi orang-orang yang
membutuhkan seperti orang yang fakir, miskin dan menderita.[24]
Dalam rangka menjalankan salah satu fungsi negara dalam bentuk jaminan
sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri dari Aqil bin Abi
Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk membuat laporan
sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya dari
keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para pejuang, wanita,
anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial. Jumlah
tunjangan yang diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu
golongan dengan yang lainnya. Berkenaan dengan tunjangan sosial ini
Adiwarman menulis:
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat
tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal
di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300
dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui
masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin
memperoleh tunjangan pension berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam
jumlah yang tetap”.[25]
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan keadaan ekonomi
Islam tidak mengalami perubahan yang signifikan dan sebagaimana khalifah
sebelumnya, ia tetap memperhatikan sistem pemberian bantuan dan
santunan kepada masyarakat. Namun, banyak kebijakan Usman yang
menguntungkan keluarganya sehingga menimbulkan benih kekecewaan yang
mendalam pada sebagian besar kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya
kekacauan politik dan berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Ali bin Abi Thalib, sebagai kkhalifah terakhir, meskipun
negara berada dalam suasana politik yang tidak menentu, tetap berusaha
menerapkan ekonomi Islam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat
Islam. Dalam suatu riwayat, sebagaimana ditulis Adiwarman, Ali
memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Ia juga pernah
memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya melakukan tindak pidana
korupsi.[26]
Namun, karena pertentangan politik yang begitu tajam antara
pengikut Ali dan Muawiyah, Ali menetapkan untuk menghilangkan
pengeluaran untuk angkatan laut, terutama yang berada di sepanjang garis
pantai Syria, Palestina dan Mesir karena wilayah-wilayah ini berada
dalam kekuasaan Muawiyah yang menolak kepemimpinan Ali. [27]
C. ILMU PENGETAHUAN ISLAM
Dalam Islam, Al Quran selain sebagai sumber ajaran-ajaran agama Islam,
juga merupakan referensi pertama dan utama ilmu pengetahuan bagi umat
Islam. Hal ini karena Al-Quran berisi segala macam pengetahuan, baik
berupa pengetahuan tentang alam ghaib, seperti tentang keberadaan Allah
sebagai pencipta alam, kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu,
maupun berupa ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan
sosial politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, selain perintah untuk mengenal Tuhannya dan melakukan ibadah
kepada-Nya, dalam Al-Quran juga terdapat perintah kepada manusia, para
hambanya untuk menggunakan akal pikirannya dalam mengemban tugasnya
sebagai khalifah Allah di bumi.
Setelah Al-Quran, Hadits menempati posisi berikutnya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan,
Yusuf Qardhawi menguraikan dengan sangat detail posisi Hadis yang sama
dengan Al-Quran, yaitu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang meliputi
ilmu agama dan ilmu-ilmu kemanusiaan serta alam seperti ilmu
pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu fisika, ilmu lingkungan
dan lain-lain[28].
Melihat peran penting ilmu pengetahuan bagi manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai pengelola alam (Khalifatullah fil ardl),
nabi Muhammad Saw sejak permulaan Islam telah diperintahkan oleh Allah
Swt untuk membaca, yaitu ketika wahyu Al-Quran yang pertama kali turun
kepadanya yang dilanjutkan dengan surat Al-Qalam (Pena) yang
mengisyaratkan perintah kepada hamba-Nya untuk menulis.
Dan untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan wahyu
yang turun kepadanya dan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari, nabi
Muhammad Saw lalu membuka lembaga pendidikan pertama dalam sejarah
Islam, di rumah salah seorang sahabatnya yang disebut dengan Darul
Arqam. Dari sinilah kegiatan ilmu pengetahuan Islam
disebarluaskan di kalangan para sahabat beliau. Musyrfiah Sunanto
mengatakan bahwa Rasul pada waktu itu selain mengajarkan tentang
keimanan, mengajarkan bacaan-bacaan Al-Quran dan penghayatannya, beliau
juga telah mengajarkan kepandaian seperti tulis-menulis dengan menyuruh
sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membuat huruf dengan mengambil contoh
dari huruf bangsa Himyar.[29]
Aktivitas keilmuan pada masa Rasul begitu intens. Setiap
kesempatan yang ada selalu digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Pada saat kemenangan umat Islam dalam perang Badar yang
dipimpin Rasulullah pada bulan Ramadlan tahun kedua Hijriyah, para
tawanan yang berjumlah 70 orang, di antara mereka yang pandai menulis
dapat menjadi bebas dengan syarat mengajar anak-anak umat Islam
kepandaian menulis. Yusuf Qardhawai menulis, bahwa 1 orang tawanan
mengajar 10 orang anak-anak umat Islam di Madinah sebagai syarat
pembebasan mereka. [30]
Selain kepandaian membaca dan menulis, Rasulullah Saw
juga menanamkan kepandaian bahasa bagi para sahabatnya. Berkenaan dengan
hal ini, Zaid dan Nabighah bin Tsabit diminta Nabi untuk mempelajari
bahasa Suryani untuk dijadikan sebagai penerjemah.[31]
Selanjutnya, berkenaan dengan aktivitas keilmuan ini,
masjid selain sebagai tempat beribadah, juga menjadi tempat umat Islam
pada jaman Nabi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Dari sinilah
lahir ilmuwan-ilmuwan Islam terkemuka seperti Umar bin Khattab sebagai
ahli hukum dan pemerintahan, Ali bin Abi Thalib sebagai budayawan,
Abdullah bin Umar sebagai ahli hadis, Abdullah bin Abbas sebagai ahli
tafsir dan sejarah dan Aisyah sebagai ahli hadis. Pada masa ini, Nabi
membangun dua masjid, yang pertama adalah Masjid Quba’ yang dibangun
ketika beliau tiba di Madinah, yaitu pada tahun 622 M./ 1 H. Mesjid ini
meskipun tidak begitu besar, namun arsitekturnya menjadi model pada
pembangunan masjid-masjid selanjutnya. Yang kedua adalah Masjid
Madinah yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Kedua masjid ini hingga
sekarang masih ada bahkan diperbesar dan diperindah sebagai penghargaan
kepada nilai-nilai historis dan peradaban yang terkandung di dalamnya.
[1] Wahyu yang pertama adalah QS Al-‘Alaq [96]: 1-5, sedangkan wahyu yang kedua adalah QS Al-Muddatsir [74]:1-7.
[2] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 149.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 150.
[4] Ibid, h. 164.
[5] Lihat kisah provokasi kaum Kafir Quraisy kepada Negus dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, h. 165-167.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 169.
[7] Ibid, h. 179.
[8] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 49.
[9] Lihat untuk lebih jelasnya, Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) Cet. ke 1, GIP, tahun 1999. h. 122-133
[10] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1, 2004, h.32.
[11] Lihat kisah pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama selengkapnya dalam tulisan Ibn Hisyam, As sirah an nabawiyyah, jilid VI, Darul jil, Cet. ke 1, 1991, h. 77-78
[12] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 408-409.
[13] Kisah syura ini secara lengkap dapat dilihat dalam tulisan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Op. Cit., h. 483-488.
[14] Ibid, h. 329.
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 371.
[16] Ibid, h. 375.
[17]
Di antara perang-perang ini adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang
Dzaturriqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, dan Perang Bani
Musthalaq.
[18] Q.S. Al Qashas [28]: 77.
[19] Q.S. At Taubah: 60.
[20] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 43-44.
[21] Ibid, h.41.
[22] Ibid, h.48.
[23] Ibid, h. 60. Bandingkan dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan Op. Cit., h. 306.
[24] Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit, h. 62
[25] Ibid, h. 63-64.
[28] Untuk lebih jelas tentang Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan Islam, lihat buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.), Danakarya, Surabaya, Cet. Ke 1, 1997., h. 103-253.
[29] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke 1, Kencana, 2003, h. 18.
[31] Ibid., h. 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar