Oleh: Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I
Abstrack:
It’s just like in Indonesia and other islamic world, the modern thought
of Islam in Tunisia as one of west Arab in North Africa was relatively
influenced by Islamic modern movement in Egypt leaded by Jamaluddin Al
Afghani and Muhammad Abduh. This article would describe generally,
modern Islam and specifically, Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Ashur thought
as muslim modernis in Tunisia.
Katakunci: Islam moderern, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, pembaruan, modernisme.
A. Pendahuluan
Tunisia adalah salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim di belahan
bumi bagian Afrika Utara. Dalam sejarah peradaban Islam, negara kecil
ini memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam penyebaran dan
pengembangan agama Islam di Eropa karena letaknya yang secara geografis
sangat strategis. Ia adalah penghubung antara negara-negara Timur
dengan negara-negara Eropa dan merupakan pintu masuk bagi pengembangan
dakwah Islam ke Eropa melalui Spanyol. Pada masa bani Umayah, setengah
abad setelah hijrahnya nabi Muhammad Saw ke Madinah, Mu’awiyah telah
mengirim ‘Uqbah bin Nafi’ ke Kairawan di bagian selatan Tunisia untuk
melakukan ekspansi, dan setelah berhasil dalam misinya tersebut, ia pun
diangkat sebagai Gubernur dan mendirikan kota dan masjid yang diberi
nama sesuai dengan namanya dan menjadikan Kairawan sebagai pusat
kebudayaan dan peradaban Islam di Afrika.[1]
Memasuki periode moderen dalam sejarah peradaban Islam pada abad ke-19
M., sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam, gerakan
moderen Islam di Tunisia juga telah muncul sebagai respon positif, baik
dari keadaan internal umat Islam maupun eksternal akibat campurtangan
Prancis dalam pemerintahan yang dilanjutkan dengan penjajahannya di bumi
kaum Barbar ini. Dan di antara para pemikir moderen dalam Islam di
Tunisia adalah Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur pada abad ke-20, yang
menjadi objek tulisan ini.
Namun, sebelum membahas lebih dalam tentang pemikiran pembaruan Syaikh
Ibn ‘Asyur, akan diuraikan dahulu pemikiran pembaruan sebelumnya yang
dicanangkan oleh Khairuddin Pasya at Tunisi pada abad ke-19.
B. Khairuddin Pasya dan ide-ide pembaruannya.
Dalam sejarah Islam moderen di Tunisia, pembaruan pemikiran Islam
dirintis oleh Khairuddin Pasya (1810-1889), seorang budak Rusia yang
setelah dibeli dari seorang bangsawan di Turki oleh Bey Ahmad, penguasa
Tunisia waktu, itu berubah hidupnya 180 derajat. Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa kehidupan yang dipenuhi dengan segala kemegahan dan
kemewahan istana tidak mungkin diperoleh oleh banyak orang apalagi
seorang budak kecuali jika budak tersebut telah dirubah statusnya oleh
tuannya. Hal inilah yang terjadi pada Khairuddin di istana Bey di
Tunisia di mana pada masa kecilnya, ia tidak hanya diperlakukan seperti
anak kandung Bey Ahmad saja, tetapi lebih dari itu, ia juga memperoleh
pendidikan yang layak sebagaimana anak-anak lainnya, bahkan lebih,
sehingga berbeda dengan kebanyakan anak-anak muslim di Tunisia pada
waktu itu ia berkesempatan memperoleh pendidikan dalam bahasa Prancis
dan Turki selain bahasa Arab.[2]
Sebagaimana mulusnya perjalanan pendidikannya, perjalanan karir
Khairuddin juga demikian. Dimulai dengan karirnya di bidang militer
setelah menempuh pendidikan secukupnya, hingga di bidang pemerintahan.
Dan sejarah mencatat sejumlah prestasi Khairuddin dari Menteri
Peperangan, Ketua Majelis Syura, Duta Besar di negara-negara Eropa,
Ketua Komisi Keuangan hingga Perdana Menteri.[3]
Bagaimanapun, pendidikan yang tinggi serta karir yang meroket tidak akan
membawa seseorang kepada suatu popularitas -dalam arti positif- jika
tidak memanfaatkan ilmu dan jabatan yang dimilikinya untuk kepentingan
masyarakat secara lebih luas. Hal ini tentu tidak terjadi dengan
Khairuddin, karena dengan bekal pendidikan yang memadai, pada saat
menduduki jabatan dalam posisi tertentu, ia menggunakan
kesempatan-kesempatan itu untuk menerapkan gagasan-gagasan dan ide-ide
pembaruannya baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk kebijakan.
Dalam bentuk kebijakan, pembaruan Khairuddin nampak jelas dalam
usaha-usahanya memperbaiki administrasi negara dan membangun
sarana-sarana sosial yang dibutuhkan masyarakat Tunisia ketika menjabat
sebagai Menteri Peperangan pada 1273 H.[4]
Pembaruan Khairuddin juga nampak dalam idenya membentuk Majelis Syura pada 1277 H.[5]yang
kemudian ia pimpin itu. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam suatu
pemerintahan yang moderen, Majelis Syura (semacam DPR di Indonesia
sekarang) memiliki perang yang sangat penting dalam jalannya roda
pemerintahan, terutama menyangkut masalah kebijakan keuangan negara.
Selain itu, pembaruan Khairuddin juga terlihat dalam kebijakannya ketika
diserahi tanggungjawab menjadi Ketua Komite Keuangan pada 1286 H.[6]
yang dilanjutkannya ketika ia menjadi Perdana Menteri Tunisia tidak
lama setelah itu. Meskipun kita tidak menutup mata terhadap kekurangan
Khairuddin dalam segala usaha pembaruannya tersebut.
Dalam bentuk tulisan, pembaruan Khairuddin terdapat dalam bukunya yang berjudul Aqwamul Masâlik fî ma’rifati ahwalil Mamalik
di mana ia menekankan pentingnya mencapai kemajuan sebagaimana yang
telah dicapai oleh Barat. Dan Jika umat Islam ingin maju seperti
negara-negara Barat, mereka tidak perlu merasa bersalah mengambil ilmu
Barat untuk meraih kemajuan tersebut karena tidak bertentangan dengan
Islam.
Dalam masalah pemerintahan, ide moderen Khairuddin terwujud dalam
pandangannya tentang perlunya suatu majelis syura yang berwenang
menyikapi dan merespon segala permasalahan rakyat dengan sebaik-baiknya
sehingga keputusan-keputusan Pemerintah tidak bertentangan dengan
kepentingan rakyat. Ia, dalam hal ini mengecam tindakan-tindakan
diktatorisme yang dilakukan pemimpin Islam dalam pemerintahannya.
Sebagai contoh dalam penerapan pajak, Khairuddin mengecam tindakan
pemerintahnya yang dengan seenaknya saja membelanjakan uang negara di
mana jika telah kehabisan uang, maka yang dilakukan adalah dengan
menentukan pajak-pajak baru.[7]
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa keadilan dan kebebasan merupakan
dua tiang yang harus ada dalam suatu negara yang ingin maju. Penduduk
Eropa yang mengalami kemajuan, menurut Khairuddin, hal itu terjadi
karena adanya keadilan dan kebebasan ini. Itu hukum alam yang tidak akan
berubah. Keadilan dan kebebasan pasti akan melahirkan kemakmuran.
Kebebasan yang dimaksud Khairuddin di sini meliputi kebebasan pribadi di
mana seseorang itu bebas melakukan segala hal untuk kepentingan diri
dan pekerjaannya, serta aman dan dilindungi dirinya, kehormatannya,
harta bendanya dan persamaan bagi seluruh penduduk dalam hak dan
kewajiban, dan kebebasan politik di mana setiap penduduk berhak ikut
ambil bagian dalam pemerintahan dan berpartisipasi dalam penetapan
undang-undang demi kepentingan bersama antar rakyat dan pemerintah.[8]
C. Riwayat Hidup Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur
Muhammad Thahir bin ‘Asyur lahir pada 1879 di pantai La Marsa sekitar 20
kilometer dari kota Tunis dalam sebuah keluarga yang cukup terpandang
dan berpendidikan di mana kakeknya adalah seorang Hakim, Mufti, Pengawas
Baitul Mal sekaligus Anggota Majelis Syura di Maroko dari keturunan
imigran muslim Spanyol di Maroko karena kondisi yang memaksa.[9]
Pada masa kecilnya, sebagaimana anak-anak kecil muslim lainnya di
Tunisia, ia belajar Al Quran kepada Muhammad Al Khiyari di masjid Sidi
Abi Hadid di Tunis dan ilmu-ilmu agama dasar lainnya, termasuk
tatabahasa Arab seperti matn al ajrumiyah. Dasar ilmu nahwu sendiri ia pelajari dari Syaikh Ahmad bin Badr al Kafi.[10]
Menginjak usia 14 tahun, Syaikh Muhammad Thahir melanjutkan
pendidikannya ke Az Zaitunah, suatu lembaga pendidikan yang menjadi
tujuan sebagian besar anak-anak muslim Tunisia pada waktu itu. Di sini
ia mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan seperti Nahwu, Balaghah,
Manthiq, Fikih, Ilmu Kalam, Faraidl, Ushul fikih, Hadits, Sirah
Nabawiyah dan Sejarah dan menguasainya dengan baik. Di samping itu,
berbeda dengan kebanyakan muslim lainnya, ia juga mempelajari bahasa
Prancis secara privat kepada Ahmad bin Wanas Al Mahmudi. Studinya di Az
Zaitunah diselesaikannya selama tujuh tahun dan memperoleh ijazah pada
1899.[11]
Setelah menyelesaikan studinya di Az Zaitunah, Syaikh Muhammad Thahir
bin ‘Asyur memperdalam ilmunya dengan belajar langsung kepada para ulama
berpengaruh di masanya yang sedikit banyak telah berpengaruh pula pada
ide-ide pembaruannya. Di antara mereka adalah:
1. Syaikh
Muhammad Al Aziz bin Muhammad At Thayyib (1240-1325 H.). Ia adalah
kakeknya dari pihak ibu, seorang ulama yang hapal Al Quran yang belajar
ilmu dari para ulama termasuk Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur,
kakeknya sendiri.
2. Umar
bin Ahmad bin Ali bin Hasan bin Ali bin Qasim, yang terkenal dengan
sebutan Umar bin Syaikh (1239-1329 H.). Ia adalah seorang pengajar di Az
Zaitunah yang cukup cerdas sehingga Syaikh Muhammad Abduh, Modernis
Islam di Mesir memujinya ketika berkunjung ke Tunis pertama kali pada
1903 dan menghadiri salah satu pengajiannya. Selain itu ia aktif dalam
pembaruan Az Zaitunah yang dicanangkan Khairuddin Pasya, Perdana Menteri
Tunisia waktu itu.
3. Syaikh
Salim Bu Hajib (1827-1924). Ia adalah alumnus sekaligus pengajar
tingkat satu di Az Zaitunah dan telah mengajar selama 30 tahun. Ia juga
orang yang membantu dalam penyelesaian tulisan Khairuddin Pasya tentang
ide-ide moderennya di Tunisia. Selain itu ia juga dikenal dekat oleh
Syaikh Muhammad Abduh karena kesamaan pandangan-pandangan keagamaan
mereka dalam ide-ide pembaruan.
4. Muhammad An Najjar (1247-1331 H.). Ia adalah seorang penulis yang cukup produktif dalam bidang keagamaan.
5. Shalih
As Syarif (1285-1338 H.). Ia, sebagaimana halnya dengan Syaikh Salim Bu
Hajib, adalah pengajar tingkat satu di Az Zaitunah. Kajiannya yang
paling terkenal adalah tentang tafsir Al Kassyaf karya Az Zamaksyari, salah satu bidang kajian yang paling disenangi Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur.
6. Muhammad
An Nakhli (w. 1825). Ia adalah salah seorang ulama Az Zaitunah yang
terkenal karena keluasan ilmunya. Ia juga aktif dalam diskusi dan
perdebatan-perdebatan ilmiah, seperti presentasinya tentang Buku Risalah at Tauhid karya Syaikh Muhammad Abduh di mana sebagian isinya ia setujui dan sebagian lagi ia perdebatkan.
Pada 1899 M. syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur mulai mengajar di Az
Zaitunah. Karirnya dalam mengajar dengan cepat menanjak sehingga pada
1905 ia sudah berada di jajaran pengajar tingkat satu, suatu karir yang
sangat sulit dicapai oleh orang lain dalam jangka waktu hanya delapan
tahun. Selain itu, sejak 1904 ia juga telah mengajar di As Shadiqiyyah,
suatu lembaga pendidikan yang di antara para muridnya adalah aktivis
pembaruan. Pada 1910 ia diangkat sebagai anggota Dewan Reformasi oleh
Pemerintah periode pertama dan pada 1924 ia kembali diangkat sebagai
anggota Dewan Reformasi untuk periode keduanya.[12]
Pada 1932 ia ditetapkan sebagai Syaik Islam Al Maliki di Az Zaitunah,
suatu gelar kehormatan yang belum pernah diberikan oleh siapapun pada
waktu itu dan pada bulan September di tahun yang sama ia diangkat
sebagai Rektor Az Zaitunah. Jabatan ini kembali dipegangnya pada 1945
dan selanjutnya pada 1956 setelah Tunisia mencapai kemerdekaannya dari
Prancis.
Selain di bidang pendidikan, Syaik Muhammad Thahir bin ‘Asyur juga
berkarir di bidang peradilan di mana sejak 1911 ia sudah menjadi Hakim.
Pada 1933 ia ditetapkan sebagai Mufti. Pada 1937 menjadi Ahlus Syura
senior.[13]
Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur meninggal dunia pada 1973 dalam
usianya yang cukup panjang dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain di sekitarnya,
sebagaimana telah diuraikan di atas.
D. Tulisan-tulisan Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur
Sebagai seorang yang berpengetahuan luas, Syaikh Muhammad Thahir bin
‘Asyur tak lupa menuliskan ilmu-ilmu yang dimilikinya, baik dalam bidang
keahliannya seperti bidang Fikih, Ushul Fikih dan sastera Arab, maupun
yang menjadi perhatiannya kepada ide-ide pembaruan. Berikut ini adalah
buku-buku karangan Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur sebagaimana ditulis
Bel Qasim Al Ghali:
1. Dalam bidang ilmu-ilmu keislaman
a. Tafsir At Tahrir wa at Tanwir
b. Maqashidussyari’ah al Islamiyah
c. Ushul an Nizham al Ijtima’i fil Islam
d. Alaisa as Shubhu Biqarib
e. Al Waqfu wa atsaruhu fil Islam
f. Kasyful Mughthi minal ma’ani wal alfazh al waqi’ah fi al Muwattha
g. Qisshatul Muwallad
h. Hawashi ala at Tanqih li Syihabuddin Al Qarafi fi Usulul Fiqh
i. Raddun ala kita al Islam wa Ushulul hukmi ta’lif Ali Abdurraziq
j. Fatawa wa Rasail fiqhiyyah
k. At Taudlih wa at Tashih fi Ushulul Fiqh
l. An Nazhar al Fashih ‘inda madlayiqil Anzhar fil Jami’ as Shahih
m. Ta’liq wa tahqiq ala Syarhi Habits Ummi Zara’
n. Qadlaya Syar’iyyah wa Ahkam Fiqhiyyah wa Ara ijtihadiyyah wa Masail Ammah
o. Amal ala Mukhtashar Khalil
p. Ushul at Taqaddum fil Islam
q. Muraja’at tata’allaqu bi kitabay Mu’jizu Ahmad wa Al Lami’ lil Azizi
2. Bidang Bahasa dan Sastera Arab
a. Ushulul Insya’ wal Khithabah
b. Mujazul Balaghah
c. Syarhu Qashidat al A’sya fi madhi al Muhallaq
d. Syarhu Diwani Basyar
e. Al wadlih fi Musykilati al Mutanabbi Libni Jana
f. Saraqat al Mutanabbi
g. Syarhu Diwanil Hamasah Liabi Tamam
h. Tahqiq Fawaid al ‘Aqabani Lil fath ibn Khaqan ma’a syarh Ibn Zakur
i. Diwanunnabighah Az Zaibani (Jama’, Syarh wa Ta’liq)
j. Tahqiq Muqaddimah finnahwi Li Khalaf al Ahmar
k. Tarajum liba’dli al A’lam
l. Tahqiq kitab al Iqtidlabi lil Bathlaymusi ma’a syrah kitab adab al Kuttab
m. Jama’ wa syarh Diwani Sahim
n. Syrah Mu’allaqah Imrail Qays
o. Tahqiq lisyarh al Qurasyi ala Diwani al Mutanabbi
p. Gharaibul Isti’mal
q. Tashih wa Ta’liq ala kitab al Intishar li Jalinus Lil hakim Ibn Zahr
r. Syarh Diwan Ibn al Hashas
s. Dan lain-lain yang berhubungan dengan sejarah
Selain dalam bentuk buku, tulisan-tulisan Syaikh Thahir bin ‘Asyur juga
tersebar di berbagai jurnal, baik di dalam maupun di luar negeri
Tunisia. Bel Qasim al Ghali menulis tidak kurang dari 15 jurnal dan
majalah yang menjadi tempat bagi Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Ashur untuk
mengembangkan ilmu maupun menuangkan ide-ide pembaruannya, termasuk
majallah Al Manar yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridla di Mesir.[14]
E. Pemikiran Pembaharuan Syaikh Muhammad Thahir Bin Asyur
Berbicara tentang pemikiran pembaruan Ibn ‘Asyur tentu tidak terlepas
dari pengaruh pemikiran pembaruan sebelumnya dan yang semasa dengannya
karena masa di mana Ibn ‘Asyur hidup adalah masa-masa hangatnya ide-ide
pembaruan dikumandangkan di Tunisia baik oleh pendahulunya, Khairuddin
at-Tunisi yang telah diuraikan sebelumnya maupun oleh para-para pembaru
Islam lainnya, terutama oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh
yang dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridla. Kalau tentang
pembaruan Khairuddin telah diuraikan di atas, berikut ini akan
dijelaskan sejauh mana ide-ide pembaruan sebelumnya dan yang semasa
dengan Ibn ‘Asyur berpengaruh pada pemikiran pembaruan Ibn ‘Asyur ini.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Tunisia merupakan titik temu peradaban
dan penghubung antara dunia Timur (baca: Islam) dan Barat karena
lokasinya yang strategis. Oleh karena itu pada masa Ibn ‘Asyur,
pemikiran pembaruan Islam telah menjadi buah bibir dan objek diskusi
umat Islam di Tunisia. Hal ini bisa dilihat dari intensitas hubungan
antara para modernis Islam dari berbagai wilayah di sekitarnya, terutama
Muhammad Abduh yang telah dua kali mengunjungi Tunisia. Yang pertama
pada tahun 1884 selama kurang lebih sebulan lamanya, dan kedua pada
tahun 1903 selama 15 hari. Eratnya hubungan Tunisia dengan pembaruan
Islam juga nampak dari keikutsertaan umat Islamnya dalam kelompok Al
Urwatul Wutsqa pimpinan Jamaluddin Al Afghani. Di antara mereka adalah
Muhammad Payram Al Khamis, Muhammad As Sanusi, Syaikh Muhammad an
Najjar, Syaikh Salim Bou Hajib, Syaikh Ahmat al Wartani, Syaikh Muhammad
at Thahir Ja’far, Syaikh Hasunah Musthafa dan Syadzili ben Furat.[15]
Begitu pula dengan Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935), murid Muhammad
Abduh. Meskipun ia belum pernah berhubungan secara fisik dengan Tunisia,
namun secara non fisik dalam bentuk korespondensi tercatat telah
melakukan kontak dengan cukup intens, yaitu dengan perantara majalah Al
Manar yang dipimpinnya di mana para pemikir Tunisia aktif mengisi
lembaran-lembarannya.
Selain itu, yang dapat disebut pula dalam hal ini adalah kunjungan
Syaikh Muhammad al Hijawi, seorang modernis Islam dari Maroko pada tahun
1938 dan menjadi pembicara dalam suatu seminar tentang pembaruan Islam
di az Zaitunah.[16]
Dari kontak-kontak yang intens di atas ditambah lagi dengan aktivitas
Ibn ‘Asyur dalam ikut merespon ide-ide pembaruan pada masanya lahirlah
pemikiran-pemikiran pembaruannya dalam berbagai bidang berikut ini:
1. Dalam bidang sosial
Menurut Ibn ‘Asyur, Islam adalah agama yang tidak bertentangan dengan
peradaban, dan dalam sejarahnya, Islam telah melahirkan suatu peradaban
yang didasari oleh nilai-nilai Islam dalam bidang sosial dan
kemasyarakatan, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari peradaban
Islam. Dalam pembaruannya di bidang sosial ini, Ibn ‘Asyur memandang
pentingnya dibangun suatu masyarakat Islam di atas prinsip-prinsip
Islam. Prinsip-prinsip ini, sebagaimana yang diuraikan dalam bukunya Ushul an Nizhami al Ijtima’I fil Islam adalah fithrah, moderasi, toleransi dan realitas.
a. Islam adalah agama fithrah
Fithrah menurut Ibn ‘Asyur adalah asal penciptaan manusia, baik secara
lahir maupun batin, jasmani maupun rohani. Dan manusia pada asal
penciptaannya adalah baik sebelum terkontaminasi oleh faktor-faktor
eksternal manusia itu sendiri.[17]
Jadi, menurut Ibn ‘Asyur, Islam adalah agama yang sesuai dengan asal
penciptaan manusia, sehingga dengan demikian, kebenarannya universal
yang mencakup seluruh umat manusia tanpa membedakan latarbelakang, suku
dan realitas sosial lainnya, karena dengan prinsip fithrah inilah
seluruh manusia dapat dipersatukan dalam suatu masyarakat Islam.
b. Moderasi
Moderasi menurut Ibn ‘Asyur adalah suatu sikap pertengahan di antara dua
sisi di mana yang satu tidak lebih berpengaruh dari yang lainnya dan
tidak mengambil hak melebihi yang lainnya dan mendominasinya. Sikap
moderat inilah yang menjadi kelebihan Islam sehingga dapat diterapkan
dalam pembangunan suatu masyarakat. Dalam hal ini, Ibn ‘Asyur mengatakan
bahwa Allah Swt mengecam, baik praktik keagamaan yang berlebih-lebihan
maupun yang terlalu melonggar-longgarkan karena keduanya merupakan
penyimpangan dari nilai-nilai moderasi Islam.[18]
c. Toleransi.
Prinsip ini sangat jelas merupakan prinsip Islam yang harus diterapkan
dalam membangun suatu masyarakat Islam, dan menurut Ibn ‘Asyur, prinsip
toleransi inilah yang membuat diterimanya syari’at Islam sepanjang
sejarahnya di tengah-tengah masyarakat dengan cepat.[19]
d. Realitas.
Menurut Ibn ‘Asyur, Islam hadir dengan membawa realitas atau kebenaran
dalam setiap unsur-unsurnya dan selalu menyerukan nilai-nilai kebenaran
ini. Oleh karena itu, di atas kebenaran inilah suatu masyarakat Islam
itu dibangun bukan pada angan-angan atau khurafat. Dan syari’at Islam
pada hakekatnya melarang perbuatan yang didasari dengan angan-angan.[20]
Dalam pembaruannya di bidang sosial ini Ibn ‘Asyur memfokuskan
perhatiannnya pada pembaruan individu yang dimulai dengan pembaruan
aqidahnya, kemudian pemikirannya dan diakhiri dengan amal dan
perbuatannya. Ibn ‘Asyur menilai bahwa pembaruan individu merupakan
suatu hal yang sangat mendasar dalam pembaruan sosial.
Selain pada pembaruan individu, pembaruan sosial juga harus meliputi
pembaruan pemikiran terhadap wanita. Dalam hal ini, Ibn ‘Asyur memandang
bahwa wanita dalam Islam memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
lelaki . Ia juga memiliki perannya dalam kehidupan manusia dan
bermasyarakat meskipun peran yang dilakukannya berbeda dengan lelaki
karena secara fisik, keduanya diciptakan secara berbeda. Ibn ‘Asyur
mengatakan bahwa karena perbedaan fisik ini, maka wanita tidak
diperkenankan berperang, sebagaimana lelaki tidak mungkin dapat menyusui
sebagaimana halnya dengan wanita.[21]
2. Dalam bidang pendidikan
Pembaruan Ibn ‘Asyur dalam bidang pendidikan banyak diterapkannya pada
pengajaran di Zaitunah di mana ia memang banyak aktif di dalamnya
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Dalam bidang pendidikan ini Ibn
‘Asyur melanjutkan pembaruan yang telah dilakukan para pendahulunya. Ia
berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran di Zaitunah mengalami
kemunduran. Hal ini disebabkan oleh tidak diadopsinya metode-metode baru
yang sesuai dengan perubahan dan kemajuan jaman. Selain itu kemunduran
pendidikan dan pengajaran ini juga disebabkan oleh tidak jelasnya sistem
pendidikan, bagaimana kurikulumnya dan kapan dimulai dan diakhirinya
dan lain-lain.[22]
Selain itu ia juga menekankan pentingnya perhatian kepada ilmu-ilmu umum
selain ilmu-ilmu agama, terutama Filsafat dan Logika, suatu hal yang
tidak dilakukan oleh kebanyakan umat Islam waktu itu. Menurutnya,
filsafat memiliki kedudukan yang tinggi dalam pemikiran manusia karena
pengaruh yang ditimbulkannya kepada pencerahan akal sehingga dapat
membantu manusia dalam menemukan hakekat dari segala sesuatu. Begitu
juga dengan Logika yang berguna dalam membiasakan akal berdiskusi dalam
memecahkan berbagai masalah.[23]
F. Penutup
Tulisan-tulisan mengenai pemikiran Islam moderen di Tunisia, umumnya dan
pemikiran Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur secara khusus belum banyak
diangkat di dunia Islam, terutama di Indonesia. Tulisan ini adalah satu
dari yang sedikit itu.
Meskipun begitu, bukan berarti tulisan ini telah mengungkap banyak hal
yang berkaitan dengan pemikiran pembaruan Ibn ‘Asyur, khususnya dan
pemikiran Islam moderen di Tunisia umumnya. Hal ini karena belum
tergalinya kedua hal di atas secara lebih mendalam dan terperinci dalam
tulisan ini.
Oleh karena itu, masih diperlukan lebih banyak lagi tulisan-tulisan
semacam ini diangkat agar menambah referensi umat Islam tentang
perkembangan pemikiran Islam di berbagai belahan dunia Islam, khususnya
di Tunisia.
[1]. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku kedua, (Kalam Mulia, 2003), cet. ke-1, h. 9.
[2] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Modern Islam di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995) h. 195.
[3]
Untuk yang terakhir ini dijabat Khairuddin tidak hanya di Tunisia,
tetapi juga di Turki pada saat kerajaan Usmaniyah menghadapi berbagai
masalah di dalam dan luar negerinya.
[4] A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h, 199.
[5] A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 200.
[6] A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 214.
[7] A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 208.
[8] A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 212.
[9] Belqasim Al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, hayatuhû wa âtsâruhû, t.t., h. 25.
[10] Belqasim Al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t. t., h. 27.
[11] Belqasim Al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t. t., , h. 29.
[12] Belqasim Al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t. t., h. 43.
[13] Belqasim Al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t. t., h. 46.
[14] Belqasim Al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t. t., h. 53.
[15] Bel Qasim al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t. t., h. 16.
[16] Bel Qasim al Ghali, Syaikh al Jâmi’ al A’zham, Muhammad At Thâhir ibn ‘Âsyûr, t.t., h. 21.
[17] Muhammad at Thahir bin ‘Asyur, Ushûl an nizhâm al ijtimâ’î fil Islâm. (As Syirkah at Tûnisiyyah li at tauzî’ waddârul ‘arabiyyah lil kitâb: 1979), h. 17.
[18] Muhammad at Thahir bin ‘Asyur, Ushûl an nizhâm al ijtimâ’î fil Islâm, h. 25.
[19] Muhammad at Thahir bin ‘Asyur, Ushûl an nizhâm al ijtimâ’î fil Islâm, h. 27.
[20] Muhammad at Thahir bin ‘Asyur, Ushûl an nizhâm al ijtimâ’î fil Islâm, h. 40.
[21] Muhammad at Thahir bin ‘Asyur, Ushûl an nizhâm al ijtimâ’î fil Islâm, h. 100.
[22] Bel Qasim al Ghali, Syaikhul Jâmi’ al a’zham, h. 152-154.
[23] Bel Qasim al Ghali, Syaikhul Jâmi’ al a’zham, h. 164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar