Dalam sejarah peradaban Islam, masa kekhilafahan bani Abbasiyah adalah
masa keemasan Islam di mana setiap unsur-unsur yang menjadi bangunan
peradaban Islam telah mencapai puncaknya.
A. Politik, Sosial dan pemerintahan Islam
1. Pola Pemerintahan Bani Abbasiyah
Kekhilafahan bani Abbasiyah didirikan oleh Abul ‘Abbas pada tahun 750 M.
Tapi, menurut Harun Nasution, pembina sebenarnya adalah Al Mansur
(754-775M.) yang memindahkan ibukota pemerintahannya dari Damaskus ke
Baghdad pada 762 M.1
Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung sekitar 524 tahun dari 750 -1258 M.
Dalam rentang waktu yang sangat panjang ini kekhilafahan bani Abbsiyah
mengalami lima periode dilihat dari pola pemerintahan dan politik yang
diterapkan oleh para khalifahnya. Kelima periode ini adalah sebagai
berikut:
- Periode Persia I, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Persia.
- Periode Turki II, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Turki.
- Periode Persia II, di mana orang-orang Persia kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang sejatinya dikuasai oleh bani Buwaih.
- Periode Turki II, di mana orang-orang Turki kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang dikuasai oleh bani Seljuk.
- Periode Tanpa Pengaruh selain arab. Periode ini hanya efektif di Baghdad hingga masa kehancuran peradaban Islam.2
Pada periode Persia pertama yang berlangsung dari
750-847 M ini pengaruh kerajaan Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah
nampak pada corak pemerintahannya yang otokratis dan gaya
pemerintahannya yang seakan mewakili Allah di bumi di mana khalifah
diterjemahkan bukan khalifah Rasulillah tapi khalifah Allah. Maka dari
itu pada masa ini terdapat gelar-gelar baru yang pada masa bani Umayah
belum ada dengan memakai kosakata « Allah ». seperti Al Hakim bi
amrillah dan Al Hafizh lidinillah. Menurut Abdul Mun’im Majid, tujuan
pemakaian gelar ini adalah untuk menopang kekuasaan mereka.3
Selain itu, pengaruh Persia pada pemerintahan bani
Abbasiyah dapat dilihat diangkatnya pejabat pemerintahan dari
orang-orang Persia. Harun Nasution menyebutkan bahwa Pengawal Al Mansur
dan Wazir, jabatan pemerintahan baru yang membawahi
depertemen-departemen dalam pemerintahan bani Abbasiyah adalah
orang-orang Persia.4
Sebagai konsekuensi dari sikap condong kepada
keturunan Persia, pemerintahan bani Abbasiyah berada dalam kondisi sulit
di mana terjadi kemarahan orang-orang Arab, baik dari kalangan bani
Umayah sendiri maupun dari kalangan bani Abbas sendiri terhadap
pemerintahan dengan terjadinya pergerakan protes yang dilancarkan oleh
Abdullah bin Ali, saudara khalifah Al Manshur sendiri. Selain itu,
kemarahan juga timbul dari orang-orang Persia sendiri yang merasa berada
di atas angin dan mendapatkan kesempatan baik untuk membangkitkan
kembali keturunan Ali dengan gerakan perlawanannya yang dipimpin oleh
Abu Muslim Al Khurasani. A. Hasjmi menulis, bahwa pada akhirnya
gelombang kemarahan tersebut dapat ditangani oleh khalifah Al Manshur.5
Pada periode kedua, pemerintahan bani Abbasiyah, secara politis
didominasi oleh bangsa Turki selama kurang lebih satu abad dari 847-945
M.
Pada periode ketiga, kekuasaan politik kembali didominasi oleh bangsa
Persia selama 110 tahun hingga 1055 M. dan pada periode keempat kembali
bangsa Turki yang menguasai politik di pemerintahan bani Abbasiyah
selama kurang lebih satu setengah abad hingga 1194 M.
Sedangkan periode kelima sebagai periode terakhir
masa pemerintahan bani Abbasiyah, pemerintahan mulai rapuh dan hanya
efektif di sekitar kota Baghdad hingga akhirnya hancur pada 1258 M.
2. Gerakan-gerakan Politik Keagamaan
Setelah mengatasi permasalahan kemarahan sebagian rakyat yang tidak
mendukung sikap pemerintahan yang condong ke keturunan Persia,
pemerintahan bani Abbasiyah dihadapkan pada permasalahan baru, yaitu
timbulnya gerakan-gerakan keagamaan bertendensi politik selain
gerakan-gerakan yang telah ada sejak jaman pemerintahan bani Umayah.
Gerakan-gerakan ini adalah :
- Ar Rawandiyah, yaitu gerakan yang berasal dari keturunan Persia yang telah masuk Islam. A. Hasjmi mengatakan bahwa gerakan mereka bertujuan untuk memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Manuwiyah, Mazdakiyah, Sabaiyah) ke dalam Islam untuk menghancurkan Islam.6 Gerakan ini berhasil ditumpas oleh khalifah Al Manshur.
- Al Muqannaiyah, yaitu gerakan yang timbul pada masa pemerintahan Al Mahdi dengan ajarannya bahwa Tuhan menjelma ke dalam diri manusia yang dimulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Ali bin Abi Thalib, puter-putera Ali, Abu Muslim Al Khurasani hingga ke diri Al Muqanna. Gerakan ini ditumpas pada jaman Al Makmun yang mengirim pasukannya yang berjumlah 70000 orang.
- Al Khuramiyah, yaitu gerakan keagamaan dengan ajaran reinkarnasi yang bertujuan untuk menghancurkan pemerintahan Abbasiyah dan memindahkan kekhilafahan ke Persia. Gerakan ini ditumpas oleh khalifah Al Mu’tashim.
- Az Zanadiqah, yaitu gerakan zindiq yang keluar dari ajaran-ajaran Islam yang dibangun oleh kaum mawali dari keturunan Persia. Gerakan ini memiliki sejarah yang panjang di mana para khalifah Abbasiyah hampir terus berhadapan dengan gerakan ini sepanjang pemerintahannya.
- Ahlussunnah, yaitu gerakan keagamaan yang lahir sebagai reaksi atas pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang dalam perkembangannya mendukung pemerintah bani Abbasiyah.
- Partai-partai pendukung Ali, yaitu gerakan-gerakan politik para pendukung Ali yang ikut membangun pemerintahan bani Abbasiyah dan bermaksud merebut kekuasaan dari tangan para pemimpin dari bani Abbas. Karena tujuan ini, mereka pun melakukan berbagai aksi kekerasan berupa pemberontakan-pemberontakan di berbagai kota. A. Hasjmi menulis bahwa mereka berkali-kali mempergunakan kekerasan bersenjata seperti pemberontakan Muhammad bin Abdullah di Hijaz, pemberontakan Ibrahim bin Abdullah di Irak, pemberontakan Husin bin Ali di Madinah dan pemberontakan Yahya bin Abdullah dan saudaranya Idris bin Abdullah di Maroko.7
3. Wizarah, Kitabah dan Diwan
Pada jaman pemerintahan bani Abbasiyah terdapat dua
macam Wizaarat, yaitu Wizaratut Tanfiz di mana Wazir bekerja atas nama
khalifah dan Wizaratu Tafwidl di mana Wazir berwenang penuh dalam
pemerintahan. Jabatan ini, sebagaimana ditulis oleh Badri Yatim belum
ada pada masa bani Umayah sebagai salah satu perbedaan antara peradaban
Islam masa bani Umayah dan masa bani Abbasiyah.8
Untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan, dibentuk sekretariat negara yang disebut Diwanul Kitabah
yang dipimpin oleh Sekretaris Negara dibantu oleh beberapa sekretaris.
A. Hasjmi menulis ada lima sekretaris yang bekerja di bawah kendalai
Sekretaris Negara yaitu Sekretaris bidang keuangan, sekretaris bidang
persuratan, sekretaris bidang militer, sekretaris bidang kepolisian dan
sekretaris bidang kehakiman.9
Sedangkan Wazir, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para menteri yang membawahi departemen. Di
antara departemen-departemen ini adalah departemen keuangan, departemen
kehakiman, departemen Pengawasan urusan negara, depertemen kemiliteran,
departemen tenaga kerja, departemen perhubungan, departemen pengawasan
keuangan, departemen urusan arsip, departemen pembelaan rakyat
tertindas, departemen keamanan dan kepolisian, departeman sosial,
departemen urusan keluarga dan wanita dan departemen pekerjaan umum.
4. Tentara
Tidak berbeda dengan pada masa bani Umayah, pada masa bani Abbasiyah tentara berada di bawah Diwanul Jundi
yang terdiri dari dua angkatan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut.
Namun pada masa bani Abbasiyah, pengaturan ketentaraan ini sudah lebih
sempurna di mana kedua angkatan di atas terbagi atas empat bagian, yaitu
Arif, yaitu komandan regu yang membawahi 10 orang prajurit, Naqib, komandan kompi yang membawahi 10 Arif (100 prajurit), Qaid, komandan batalion yang membawahi 10 Naqib (1000 prajurit) dan Amir, panglima divisi yang membawahi 10 Qaid (10.000 prajurit).
Dalam banyak kesempatan, khalifah bani Abbasiyah, sebagaimana ditulis A.
Hasjmi, menyerahkan pimpinan negara kepada panglima besar, terutama
dalam keadaan darurat. Panglima besar yang diserahi pimpinan oleh
Khalifah ini dikenal dengan sebutan Amirul Umara.10
5. Peradilan
Jika pada masa Khulafaurrasyidin dilanjutkan dengan masa bani Umayah
peradilan pada masa bani Abbasiyah telah banyak dipengaruhi oleh
politik. Selain itu perkembangan yang terjadi pada masa bani Abbasiyah
ini nampak dari diadakannya jabatan baru yaitu Jaksa Penuntut Umum dan
dibentuknya Diwan Qadli al Qudlat atau Mahkamah Agung. Organisasi peradilan pun berubah menjadi sebagai berikut:
- Mahkamah Agung yang membawahi semua badan-badan pengadilan
- Pengadilan Tinggi Provinsi
- Pengadilan Negeri/Kota
- Kejaksaan.11
6. Warga Negara Keturunan
Sebenarnya warga negara keturunan telah ada sejak masa bani Umayah
karena luasnya kekhilafahan yang terdiri dari berbagai bangsa dan etnik
yang berbeda, seperti unsur Barbar di Afrika Utara, unsur Qibti di
Mesir, Unsur Kurdi di Irak, unsur Persia di Iran dan lain-lain.
Namun pada masa bani Abbasiyah, perkawinan campuran antara pria Arab dan
wanita non Arab nampak sangat menonjol di mana bukan masyarakat umum
saja yang melakukan tetapi juga para khalifah, pejabat pemerintahan,
panglima tentara, gubernur dan pembesar-pembesar lainnya. A. Hasjmi
mengatakan bahwa para khalifah yang berasal dari golongan taulid (warga negara keturunan) ini banyak di antaranya adalah Harun Ar Rasyid, Makmun dan Al Mu’tashim.12
7. Disintegrasi Politik
Secara politis, kekuasaan politik bani Abbasiyah mengalami masa
keemasannya hanya pada periode pertama sebelum berpindahnya dominasi
kekuasaan politik ke tangan bangsa Turki pada periode kedua. Pada
periode ini dan seterusnya, kekhilafahan bani Abbasiyah lebih didominasi
oleh disintegrasi yang terwujud dalam bentuk pemisahan diri dari
dominasi pemerintahan pusat dan perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan.
Dalam hal pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat, penulis
melihat adanya dua alternatif, yang pertama adalah keinginan
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan bani Abbasiyah untuk lebih
berkuasa dan yang kedua karena para khalifah bani Abbasiyah lebih
mementingkan pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban dibandingkan
dengan kekuasaan politik. Para khalifah ini nampak merasa cukup dengan
upeti-upeti yang diberikan daerah-daerah provinsi sebagai lambang
kepatuhan kepada pemerintah pusat. Satu hal yang pasti, pemerintahan
bani Abbasiyah sejak diangkatnya orang-orang Turki untuk menduduki
jabatan sebagai tentara profesional, memudar yang diikuti oleh
kemerdekaan daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad.
Berkenaan dengan pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat ini,
Badri Yatim menyebutkan lebih dari 20 dinasti-dinasti kecil yang
memisahkan diri dari pemerintahan bani Abbasiyah sejak 820 M. hingga
keruntuhannya pada 1258 M., baik dari latar belakang kebangsaan seperti
bangsa Arab, Persia, Turki dan Kurdi maupun dari latar belakang paham
keagamaan seperti Syi’ah dan Sunni.13
Sedangkan dalam hal perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, telah terjadi sejak
pemerintahan bani Abbasiyah ini berdiri. Pada periode kedua, kekuasaan
pemerintahan berhasil direbut oleh orang-orang Turki. Pada periode
ketiga, pemerintahan pusat bani Abbasiyah berpindah ke tangan bani
Buwaih yang berasal dari keluarga miskin di Dailam setelah ketiga orang
putra Abu Syuja’ Buwaih, Ali Hasan dan Ahmad memasuki kancah kemiliteran
yang dimulai dengan memasuki dinas militer.14
Pada periode keempat kekuasaan pemerintah pusat dipegang oleh Bani
Seljuk setelah kekuasaan bani Buwaih yang berjalan sekitar satu abad
menurun yang terutama disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang terjadi
di antara keturunan bani Buwaih. Dinasti Seljuk sendiri adalah gabungan
antara kabilah-kabilah kecil dari suku Ghuz di Turkistan yang pada abad
kedua, ketiga dan keempat hijriah pergi ke Transoxiana dan Khurasan dan
dipersatukan oleh Seljuk bin Tuqaq. Kekuasaan bani Seljuk ini berusia
hampir satu setengah abad dengan wilayah kekuasaan yang sangat besar,
terutama pada masa Malik Syah (1072-1092M.) yang meliputi Seljuk Besar
yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan ahwaz, Seljuk
Kirman, Sejuk Irak, Seljuk Syiria dan Seljuk Rum.15
Pada periode kelima, kekuasaan bani Abbasiyah berada dalam genggaman
Khawarizm Syah yang merupakan periode terakhir dari peradaban Islam masa
bani Abbasiyah. Kekuasaan yang hanya berusia 64 tahun di bawah
kepemimpinan khalifah Al Mu’tashim ini akhirnya dihancurkan oleh
serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.
B. Ekonomi Islam
Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, kegiatan perekonomian bertambah
maju seiring dengan perkembangan jaman sehingga kekayaan negara
bertambah banyak, meskipun pada umumnya tidak berbeda dengan kegiatan
perekonomian yang dilakukan bani Umayah. Badri Yatim menulis bahwa pada
masa Al Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga dan besi.16
Kemudian di sektor industri di mana banyak berdiri kota-kota industri,
seperti Bashrah yang terkenal dengan industri sabun dan gelasnya, Kufah
dengan industri suteranya, Mesir dengan industri tekstilnya, Andalusia
dengan industri kapal, kulit dan senjatanya dan Baghdad tentunya sebagai
ibukota dengan berbagai industri yang digelutinya. Berkenaan dengan
industri di Baghdad ini, A. Hsjmi menulis, bahwa Baghdad mempunyai 400
buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik.17
Selain sektor pertanian dan industri di atas, masa pemerintahan bani
Abbasiyah juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam bidang
perdagangan. Pada masa ini usaha-usaha untuk memajukan perdagangan
dilakukan dengan membangun sumur-sumur dan tempat peristirahatan para
pedagang, membangun armada-armada dagang dan membangun armada-armada
lalut untuk melindungi para pedagang dari ancaman serangan bajak laut.
A. Hasjmi mengatakan bahwa Baghdad merupakan Kota Perdagangan terbesar
di dunia pada waktu itu yang dilanjutkan dengan Damaskus sebagai kota
keduanya di samping kota-kota perdagangan lainnya di dunia Islam
seperti Bashrah, Kufah, Madinah, Kairo, Kairawan, dan kota-kota di tanah
Persia.18
Kemajuan ekonomi yang sangat signifikan ini diawali oleh khalifah Al
Manshur yang piawai dalam bidang ekonomi dengan meletakkan
fondasi-fondasinya dengan kuat selama 22 tahun yang dilanjutkan dengan
khalifah-khalifah lainnya, terutama Harun Ar Rasyid. Sepeninggal Al
Manshur,--sebagaimana ditulis oleh A. Hasjmi—kas negara masih tersisa
sebanyak 810.000 dirham dan ketika khalifah Harun Ar Rasyid meninggal,
ia meninggalkan kekayaan negara kurang lebih 900.000.000 dirham.19
Perbedaan-perbedaan dalam bidang ekonomi yang ada antara masa bani
Umayah dan bani Abbasiyah ini di antaranya adalah pada penerapan konsep
kepemilikan atas tanah di mana pada jaman bani Abbasiyah, konsep tanah
adalah hak penuh negara lebih tegas dikemukakan, sementara pada masa
bani Umayah, tanah adalah milik umat Islam yang diwakili oleh Khalifah.
Perbedaan yang lain adalah pada penerapan pajak di mana diperoleh cara
yang mempermudah dan memperlancar penarikan pajak dengan adanya sistem
penjamin yang pada waktu itu disebut dengan Dhaman atau Qibalat.20
Selain itu, sikap bani pemerintahan bani Abbasiyah kepada para petani
lebih baik jika dibandingkan dengan sikap bani Umayah yang kurang
mendukung sektor pertanian, terutama di masa-masa awal pemerintahan. A.
Hasjmi menulis bahwa tindakan-tindakan yang mendukung sektor pertanian
seperti memberikan jaminan kepada para petani, memperluas areal
pertanian, membangun bendungan-bendungan untuk keperluan irigasi hingga
mengambil tindakan keras kepada para pejabat yang berlaku kejam terhadap
petani menjadikan sektor pertanian pada masa Abbasiyah maju sekali
sehingga tidak satu pun daerah yang tidak mempunyai lahan pertanian.21
Namun, kemajuan di bidang ekonomi ini bukan terjadi selama pemerintahan
bani Abbasiyah, tapi hanya pada periode pertamanya di mana kekuasaan
politik masih sangat kuat dan secara ekonomi sangat kaya. Setelah
terjadinya disintegrasi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
pendapatan pemerintah pun menurun. Penurunan pendapatan ini disebabkan
oleh makin menyempitnya daerah kekuasaan, banyaknya kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan adanya
dinasti-dinasti kecil yang tidak lagi membayar upeti, sedangkan
pengeluaran membengkak. Badri Yatim menulis, pembengkakan pengeluaran
ini antara lain karena kehidupan para khalifah dan pejabat yang semakin
mewah, jenis pengeluaran yang semakin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.22
C. Ilmu Pengetahuan Islam
Masa bani Abbasiyah disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam,
terutama dalam bidang ilmu pengetahuan di mana kemajuannya terjadi
dengan sangat pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini tidaklah
mengherankan tentunya jika melihat perkembangan yang terjadi sebelumnya
di mana stabilitas politik yang telah terwujud dan bahasa Arab sebagai
bahasa ilmu pengetahuan waktu itu dapat dikatakan telah mencapai
tingkatannya yang paling tinggi. Ditambah lagi dengan industri kertas
yang juga sangat mendukung gerakan keilmuan, telah ada sejak masa
khalifah Harun Ar Rasyid.
Hal ini, terlepas dari adanya disintegrasi politik maupun pemisahan diri
daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad sejak periode
kedua sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, karena baik pusat
maupun daerah sama-sama mementingkan kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan.
Berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, Badri Yatim menulis
bahwa selain perkembangan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan
pemerintahan, setidaknya terdapat dua faktor lain yaitu faktor asimilasi
dan gerakan terjemahan. Asimilasi ini terjadi antara bangsa Arab dengan
bangsa-bangsa lain seperti Persia, India dan Yunani yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan gerakan
terjemahan, hal ini berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa
Al Mansur hingga Harun Ar Rasyid dengan penerjemahan karya-karya dalam
bidang astronomi dan logika. Fase kedua, mulai masa Al Ma’mun hingga
tahun 300 H dengan penerjemahan buku-buku di bidang filsafat dan
kedokteran. Dan fase ketiga berlangsung setelah 300 H di mana buku-buku
yang diterjemahkan semakin meluas.23
Pada masa bani Abbasiyah ini, kegiatan keilmuan Islam baik berupa
penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab maupun penulisan karya-karya
asli penulis Islam sangat intens dilakukan. Harun Nasution menulis
bahwa buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Byzantium dan
berlangsung selama satu abad lamanya. 24
Dalam kegiatan keilmuan ini, sejak khalifah Al Mansur, tepatnya setelah
ia memindahkan ibukota pemerintahan ke Baghdad pada 762 M., buku-buku
dari berbagai bahasa yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan
banyak diterjemahkan dan dibukukan. Usaha pengembangan ilmu pengetahuan
Islam ini diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya terutama Al Ma’mun
(813-833 M.), khalifah yang karena cintanya kepada ilmu pengetahuan
membangun sekolah-sekolah dan Bait al Hikmah di Baghdad sebagai
pusat kebudayaan dan keilmuan. Musyrifah Sunanto menyatakan bahwa di
sinilah orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M.), penerjemah
buku kedokteran Yunani, termasuk buku ilmu kedokteran yang sekarang
terdapat di berbagai toko buku dengan nama Materia Medika.25
Dengan dilakukannya berbagai penerjemahan dari buku-buku yang berasal
dari Barat, dalam hal ini Yunani Klasik, lahirlah para ulama dan
cendekiawan muslim yang tidak hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari,
tetapi juga melahirkan ilmu-ilmu baru, khususnya di bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan umum. Dalam bidang filsafat, muncul Ikhwanusshafa, Al
Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd dan
lain-lain. Dalam bidang astronomi, terdapat Al Battani, Ibn Al Hatsam,
Al Fazari As Shufi, dan lain-lain. Dalam Ilmu Kimia ada Jabir Ibn Hayyan
yang disebut sebagai Bapak Ilmu Kimia dan Abu Bakar Ar Razi. (865-925
M.), Al Hawawi, Al Majrithi dan lain-lain. Dalam bidang Fisika ada Abu
Raihan Muhammad Al Bairuni (973-1048 M.), Al Khazin, Al Hamdani dan
lain-lain. Dalam bidang geografi ada Al Mas’udi, Al Maqdisi, Al Handani
dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran dan farmasi ada Hunain Ibn Ishaq,
Abu Bakar Ar Razi, Az Zahrawi, Ibn Sina dan lain-lain.
Selain penerjemahan dan penemuan ilmu-ilmu baru dalam bidang ilmu
pengetahuan umum, buku-buku yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan agama
pun disusun dengan cara yang lebih sistematis dan rapi. Dalam bidang
hadits terkenallah nama-nama seperti Bukhari dan Muslim pada abad ke IX
M. Dalam bidang Fikih terdapat empat imam madzhab yang terkenal yaitu
Imam Abu Hanifah (700-767 M.), Imam Malik (713-795 M.), Imam Syafi’I
(767-820 M.) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M.). Dalam bidang tafsir
terdapat Al Thabari (839-923 M.). Dalam bidang sejarah ada Ibn Hisyam
pada abad kedelapan, Ibn Sa’d pada abad kesembilan. Dalam bidang teologi
(ilmu kalam) ada Wasil bin ‘Atha, Ibn Huzail, Al Allaf (752-849 M.),
dari golongan Mu’tazilah. Ada Abul Hasan Al Asy’ari (873-955M.) dan Al
Maturidi dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah pada abad kesembilan dan
kesepuluh. Dalam bidang tasawuf terkenallah Zunnun Al Mishri, Abu Yazid
Al Busthami, Al Hallaj.
Dan tidak hanya itu saja, kemajuan ilmu pengetahuan pada masa bani
Abbasiyah ditandai dengan kemajuan di bidang sastra Arab. Dalam bidang
ini, baik puisi maupun prosa mengalami kemajuan yang signifikan yang
membedakannya dari puisi dan prosa pada jaman bani Umayah. Tentang
kemajuan di bidang puisi, A. Hasjmi mengemukakan bahwa pada jaman bani
Abbasiyah telah lahir para sastrawan (penyair) yang membawa aliran baru
dalam sajak-sajaknya, baik isi, uslub, tema, atau pun sasarannya,
sehingga dalam hal-hal tersebut mereka mengatasi para penyair
sebelumnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa para penyair zaman bani
Umayah masih terlalu keras mempertahankan kemurnian Arabnya, sehingga
mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan asli Arab,
sedangkan para penyair zaman Abbasiyah telah merubah kebiasaan itu.26
Begitu juga dengan prosa, A. Hasjmi mengatakan bahwa selama masa
pemerintahan bani Abbasiyah, prosa telah mengalami kemajuan yang pesat,
baik dari gaya bahasanya maupun dari isinya. Para prosais masa Abbasiyah
ini, lanjut A. Hasjmi, berani mengadakan perubahan-perubahan dan
berbaikan dalam dunia sastra, bahkan kalau perlu dengan meninggalkan
sama sekali kebiasaan-kebiasaan zaman sebelumnya.27
Adapun para ahli muslim di bidang puisi dan prosa di antaranya adalah
Abu Nuwas (145-198 H.), Abu Atahiyah (130-211 H.), Abdullah Ibn al
Muqaffa’ (w. 143 H.), Al Jahizh (w. 255 H.), Badi’uzzaman al Hamzani (w.
398 H.), Al Mutanabbi (303-354 H.), Al Mu’arry (363-449 H.), dan Ibn
Qutaibah (w. 276 H.)
Bidang seni musik adalah salah satu yang membedakan masa ini dengan masa
sebelumnya di mana perkembangannya pada masa bani Abbasiyah sangat
signifikan. Baik buku-buku asli maupun terjemahan dari bahasa Yunani dan
India, pada masa bani Abbasiyah ini tentang musik dan ilmunya telah
banyak disusun. Di samping itu, para khalifah dan para pejabat
pemerintahan lainnya memberi perhatian yang sangat besar terhadap musik,
sehingga banyak didirikan sekolah-sekolah musik di berbagai daerah baik
untuk level menengah maupun tinggi. A. Hasjmi mengatakan bahwa sekolah
musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh
Saiduddin Mukmin (w.1294 M.)28
Di antara ahli musik pada masa ini adalah Yunus bin Sulaiman (w. 765
M.), Khalil bin Ahmad (w. 791 M.), Al Kindi (w. 874 M.), Hunain bin
Ishak (w. 873 M) dan Al Farabi yang juga seorang filosof.
2 Badri Yatim, Op. Cit., h.50 dengan sedikit modifkasi.
4 Harun Nasution, Op. Cit., h. 67-68.
10 Ibid, h. 233.
11 Ibid., h. 235.
13 Badri Yatim, Op. Cit., h. 65-66.
14 Lihat kisah perjalanan karir bani Buwaih ini di buku Sejarah Peradaban Islam karya Dr. Badri Yatim, MA, h. 69-70.
15 Ibid., h. 75.
16 Ibid., h. 52.
17 Ibid., h. 241.
18 Ibid., h. 242.
19 A. Hasjmi, Op. Cit. , h. 238.
20 Abdul Mun’im Majid, Op. Cit., h. 27.
21 A. Hasjmi, Op. Cit., h. 240.
22 Badri Yatim, Op. Cit., h. 82.
23 Ibid., h. 55-56.
25 Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 80.
26 A. Hasjmi, Op. Cit., h. 307.
27 Ibid., h. 310.
28 Ibid. , h. 319.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar