Oleh Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I
I. PENDAHULUAN
Adalah penting
sekali memahami kerangka umum Islam bagi kehidupan dan wujud sehingga
kita dapat memahami pemikiran dan metodologi Islam serta ruang geraknya
dan juga memahami hubungan-hubungan, konsep-konsep dan landasan-landasan
pokok yang mengatur dan memberi ciri pemikiran, metodologi dan struktur
kehidupan islam.[1]
Gagasan untuk
mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam perspektif
interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam
memberikan solusi baru kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan
akhir-akhir ini semakin merebak luas. Penguasaan lebih mendalam mengenai
wawasan pemikiran secara filosofis, terutama penjelajahan intelaktual
terhadap gagasan-gagasan berpikir Barat yang seakan tak terbendung lagi
datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke-19, dan
dipenghujung abad ke-20 serta memasuki abad ke-21, pemikir-pemikir
muslim sedang bergelut kuat untuk menemukan jati diri pemikirannya agar
bisa memanfaatkan ide-ide yang yang merayap tak terhingga sebagai akibat
modernisasi berpikir radikal yang diterapkan Barat.[2]
Islam adalah
pandangan dunia yang berorientasi kemasa depan. Suatu sistem pemikiran
dan tindakan yang mengandung keabsahan abadi pasti memiliki pula
komponen-komponen yang dirancang untuk menghadapi tantangan dimasa yang
akan datang. Suatu ideologi universal yang terus menerus berupaya untuk
mewujudkan sepenuhnya ajaran-ajarn dasarnya harus memusatkan
perhatiannya pada pembentukan masa depan. Suatu peradaban dengan sejarah
yang gemilang harus memandang ke masa depan untuk meraih kembali
kejayaan-kejayaan masa silamnya. Karenanya, sebagai sebuah agama,
ideologi, dan peradaban, Islam memberikan suatu pandangan dunia yang
terutama ditujukan untuk pembangunan masa depan baik di dunia maupun
diakhirat nanti.[3]
Kalau kita
telaah perkembangan pemikiran Islam di tanah Air sejak satu dekade
terakhir, maka “situasi Guthenberg” seperti yang pernah terjadi pada
dunia Kristen itu benar-benar nyata kita lihat gejalanya dalam
lingkungan masyarakat Islam. Seiring dengan maraknya industri penerbitan
buku di Tanah Air, perkembangan pemikiran Islam bergejolak tanpa henti
dan dan menimbulkan gelombang kontroversi yang tak habis-habisnya.
Keadaan semacam ini tentu tak mungkin terjadi jika tak ada kombinasi
tiga faktor sekaligus: munculnya kelas terdidik Islam dengan derajat
keterdedahan yang tinggi pada ragam informasi yang berjenis-jenis,
tumbuhnya industri penerbitan yang bersemangat, dan lingkungan diskursif
yang makin terlembaga untuk memperdebatkan pelbagai ragam penafsiran
yang muncul.[4]
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pemikiran Islam Fundamentalisme Di Indonesia?
B. Bagaimana Pemikiran Islam Liberal Di Indonesia?
C. Bagaimana Pemikiran Islam Moderat Di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
A. Pemikiran Islam Fundamentalisme Di Indonesia
Istilah
fundamentalisme[5] yang dikaitkan dengan agama bukan muncul dari dan
dalam kalangan Islam sendiri, melainkan dari dan dalam kalangan
Kristen.[6] Kemudian baju tersebut mereka kenakan pada kalangan tertentu
umat Islam yang mempunyai ciri-ciri tertentu pula. Di kalangan umat
Islam memang terdapat kelompok yang pada satu segi berupaya untuk
mengembalikan umat ini kepada fundamental Islam, dan pada segi lainnya
mereka juga cenderung memfundamentalkan segala masalah, termasuk hal-hal
yang dapat taktis dan teknis semata.[7]
Dalam
membicarakan soal Islam dan fundamentalisme perlu ditegaskan terlebih
dahulu bahwa ajaran-ajaran Islam sebenarnya tersusun atas dua kategori,
ajaran-ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal, dan tidak bisa
berubah, dan ajaran-ajaran yang didasarkan atas ajaran-ajaran tersebut,
yang bersifat nisbi, tidak kekal, dan dapat berubah menurut perubahan
tempat dan perkembangan zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat
absolut, kekal, dan tidak berubah itu terdapat dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Sedangkan ajaran-ajaran yang bersifat nisbi dan dapat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, merupakan hasil
ijtihad atau pemikiran para ulama’ atas ajaran-ajaran dasar tersebut,
dan ia dapat ditemukan dalam buku-buku seperti tafsir, hadis, fiqih,
atau hukum Islam, ilmu tauhid atau teologi Islam, ilmu Tasawuf atau
mistisisme Islam, dan lain-lain.
Kalau yang
dimaksud dengan Fundamentalisme adalah kembali ke ajaran-ajaran dasar
agama, seperti yang terkandung dalam arti kata itu, maka fundamentalisme
dalam Islam berarti kembali ke ajaran-ajaran kategori pertama, yaitu
ajaran-ajaran dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan
bukan kembali ke ajaran-ajaran kedua, yaitu ajaran-ajaran yang merupakan
hasil ijtihad ulama’. Karena itu konsep fundamentalisme kalau digunakan
dalam konteks Islam akan sama dengan paham dan gerakan yang timbul di
dunia Islam pada abad ke sembilan belas dan berkembang di abad kedua
puluh sekarang ini, yang berprinsip kembali kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadis dengan tujuan mengadakan interpretasi atau ijtihad baru, dan
bukan kembali pada buku-buku tafsir, hadis, fiqih, ilmu tauhid, ilmu
tasawuf, dan sebagainya yang mengandung ajaran-ajaran hasil ijtihad
ulama’.[8]
Gejala fundamentalisme Islam dapat dilihat dari beberapa prinsip:
1.
Fundamentalisme adalah “oppsitionalism” (paham perlawanan).
Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan yang
bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang
akan membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau
modernisme, sekularisasi, dan tata nilai barat pada umumnya.
2.
Penolakan terhadap hermenetika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis
menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks Al-Qur’an
harus dipahami secara literal sebagaimana adanya, karena nalar dipandang
tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
3.
Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Pluralisme merupakan
hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.
4.
Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum
fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis
telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.[9]
Azurmadi Azra membuat dua tipe fundamentalisme dalam Islam, Yaitu:
1. Fundamentalisme Pra-Modern
Fundamentalisme
pra-modern dapat dilacak jauh ke belakang pada masa awal sejarah Islam.
Gerakan kaum Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali bin
Abi Thalib, dengan prinsip-prinsip radikal dan ekstrim, dapat dilihat
sebagai gerakan fundamentalisme klasik yang mempengaruhi gerakan
fundamentalisme sepanjang sejarah. Pada masa berikutnya mengambil bentuk
seperti gerakan di Semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhamad bin
Abdul Wahhab (1703-1792), dengan mengusung term memurnikan Islam dari
tahayul, bid’ah, dan khurafat telah mendorong gerakan fundamentalisme
Islam radikal.
2. Fundamentalisme Kontemporer
Fundamentalisme
kontemporer lebih banyak sebagai respon atas barat. Ada dua masalah
besar yang menjadi perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak
sekuleralisme masyarakat barat yang memisahkan agama dari politik,
gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar
masyarakat mereka diperintah dengan menggunakan Al-Qur’an dan syari’at
Islam sebagai aturan hukum bernegara.[10]
B. Pemikiran Islam Liberal Di Indonesia
Islam liberal
merupakan sisi lain dari gerakan Islam Indonesia kontemporer. Hingga
dewasa ini gerakan ini masih menjadi arus kecil dalam peta gerakan Islam
di Indonesia. Kendati demikian, kemampuannya untuk bersuara nyaring
dengan menggunakan media dan forum-forum strategis telah menjadikan
gerakan inti menarik banyak perhatian. Sejumlah ide yang dilontarkannya
mengenai Islam dan keharusan penyegaran kembali pemahaman atasnya telah
menyulut kontroversi yang bukan saja muncul dikalangan elit intelektual,
tetapi juga dikalangan masyarakat luas sebagaimana tercermin lewat
reaksi mereka pada saat khutbah Jum’at dan pengajian-pengajian
agama.[11]
Seperti
istilah fundamentalis, istilah liberal juga tidak mudah didefinisikan,
apalagi ketika istilah liberal ini melekat pada kata Islam, maka
serta-merta memiliki daya sensitif yang kaut sekali. Masyarakat Muslim
memandang istilah Islam Liberal serba negatif dan serba berbahaya.
Pemikiran Islam Liberal di Indonesia sebenarnya mulai muncul pada
1970-an yang digerakkan oleh Harun Nasution. Taufik Abdullah menilai
bahwa Nasution dapat disebut sebagai pemikir Islam Liberal paling
terkemuka di Indonesia kontemporer. Dia adalah murid tokoh pembaharu
Islam Muhamad Abduh. Nasution menyerukan kebangkitan kembali semangat
modernis yang telah membebaskan kaum muslim dari keletihan intelektual
mereka. Jejak Nasution banyak diikuti oleh Nurcholis Majid, Ahmad Wahib,
Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid. Mereka telah melancarkan
pemikiran-pemikiran yang dinilai Greg Barton sebagai pemikiran-pemikiran
atau gagasan-gagasan Islam Liberal.
Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan berikut:
1. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
2. Penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna literal sebuah teks
3. Kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural
4. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas
5. Kebebasan beragama dan berkepercayaan
6. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.[12]
Munculnya gelombang liberalisme Islam di Indonesia sekurang-kurangnya disebabkan karena tiga faktor dominan:
1. Faktor internal umat Islam yang semakin terdidik dengan ilmu-ilmu baru (imu sosial dan Humaniora)
2. Faktor
perubahan sosial yang demikian cepat sehingga membutuhkan cara-cara
baru dalam memahaminya, baik dalam memahami kitab suci maupun dalam
memahami fenomena perubahan sosial tersebut
3. Faktor
eksternal umat Islam, yakni faktor dari umat Kristen yang telah lebih
dahulu berpikiran maju dan kontekstual dalam memahami kitab suci seperti
yang diperlihatkan dalam teologi pembebasan.
Oleh karena
itu, visi yang hendak dikembangkan oleh kaum liberal adalah keterbukaan
terhadap hal-hal baru yang dulu tidak pernah atau belum terjadi,
sementara kitab suci maupun hadis nabi tidak membicarakannya sehingga
membutuhkan ijtihad dari Umat Islam agar umat Islam mampu berkembang
sesuai dengan konteks zamannya.[13] Denny JA menjelaskan lebih jauh
tentang Islam Liberal ini. Menurutnya, Islam Liberal adalah kelompokyang
menginterpretasi Islam yang pararel dengan modernitas dan demokrasi.
“dan Demokrasi sebagaimana yang diteorikan dan dipraktekkan diseluruh
dunia adalah bersifat sekuler, di mana negara mengambil jarak yang sama
atas pluralitas agama ataupun pluralitas interpretasi agama,” lebih
lanjut ia menyatakan, mengutip William Liddle (1995), bahwa kaum Islam
Liberal bisa diberikan label Islam subtansial. Menurut Liddle, ada empat
ciri kaum subtansialis ini di Indonesia.
1. Mereka percaya bahwa isi dan subtansi ajaran agama Islam jauh lebih penting daripada bentuk dan lebelnya
2. Mereka
percaya, walau Islam (Al-Qur’an) itu bersifat universal dan abadi,
namun ia tetap harus terus menerus di interpretasi ulang untuk merespon
zaman yang terus berubah dan berbeda
3. Mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia, mustahil mereka mampu tahu setepat-tepatnya kehendak tuhan
4. Mereka menerima bahwa bentuk negara Indonesia sekarang yang bukan merupakan negara Islam adalah bentuk final.[14]
C. Pemikiran Islam Moderat Di Indonesia
Moderat[15]
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertengahan atau mudah
diterima di semua kalangan.[16] Kata moderat yang dimaksud dalam istilah
ini di-claim sebagai penafsiran dari kata al-wasatiyah’. Kata ini
terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Islam itu adalah
al-wasatiyah atau Islam itu adalah pertengahan.[17] Namun, ternyata
makna pertengahan antara kedua bahasa ini sebenarnya sangat berbeda.
Tidak seperti yang dimaknai secara biasa, yaitu pertengahan.
Memaknai kata
pertengan dari kata moderat dan makna kata pertengahan dari bahasa agama
sangatlah berbeda. Al-Wasatiyah atau petengahan dalam bahasa agama
berarti mengambil jalan tengah yaitu mempertimbangkan segala sesuatunya
tanpa ada kehendak mengikuti hawa nafsu disana. Jadi, Islam adalah agama
pertengahan yaitu agama yang terbebas daripada mengikuti kehendak hawa
nafsu lawwamah, tetapi Islam adalah agama yang dituntun oleh ketentuan
Allah dan Rasul-Nya.
Tarmizi Taher
(Mantan Menteri Agama Republik Indonesia tahun 1993-1998 M), memberikan
ciri-ciri ummatan wasathan sebagai berikut:
1. Adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi dengan kewajiban
2. Adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta material dan spritual
3. Keseimbangan yang terwujud pada pentingnya kemampuan akal dan moral.[18]
Dalam
menghadapi kelompok Islam Fundamentalis dan Islam Liberal yang sama-sama
ekstrim itu, di Indonesia terdapat dua kelompok besar yaitu NU dan
Muhamadiyah yang menjadi panutan dari sisi doktrin organisasinya dan
menjadi pijakan kehidupan sosial keagamaan, khususnya kehidupan
keislaman. Doktrin inilah yang dijadikan parameter dalam merespons kedua
kelompok yang berseberangan itu, bukan pada tokoh-tokoh tertentu secara
parsial yang tidak bisa mewakili umatnya sendiri. M. Syafi’i Anwar
menegaskan, “secara umum, NU maupun Muhamadiyah sangat menekankan
pendekatan dakwah yang inklusif dan moderat.”
Menurut Anwar,
teologi Nu bersumber pada doktrin tawashut (moderat) dan tasamuh
(toleran) dalam pandangan dan sikap keagamaan. Sementara itu basis
sosial NU adalah pesantren yang sejak awal mendakwahkan Islam yang ramah
dan akomodatif terhadap tradisi lokal dan watak budaya Nusantara.
Bahkan dalam bermasyarakat, NU memiliki sikap atau doktrin yang lebih
terperinci lagi, yaitu tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar
ma’ruf nahi munkar.[19]
Adapun penjaga
gawang moderasi berikutnya adalah muhamadiyah. Muhamadiyah sebagai
organisasi sosial kegamaan, meskipun banyak dipengaruhi Wahabi dan lebih
jauh lagi Ibnu Taimiyah dalam menghadapi takhayul, bid’ah, dan
khurafat sehingga menentangnya, penentangan muhamadiyah itu masih
diimbangi oleh semangat rasional dan modernisasi dari pengaruh Muhamad
Abduh, sehingga tidak sampai bertindak radikal yang dapat mengakibatkan
kerusakan-kerusakan. Apalagi organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad
Dahlan ini dikenal gigih sekali mengatur strategi untuk melakukan
pemberdayaan umat, baik melalui pendidikan, ekonomi, maupun sosial, maka
kecenderungan kearah radikalisme semakin sirna. Jadi, perimbangan
antara pengaruh wahabi dan Ibnu Taimiyah di satu sisi dengan pengaruh
Muhamad Abduh serta konsentrasi pembaruan strategi pemberdayaan di sisi
lain mengantarkan Muhamadiyah bersikap relatif moderat.[20]
[1] Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah Al-Aql Al Muslim, Terj oleh Rifyal Ka’bah, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hlm 161.
[2] Abdul
Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 235.
[3] Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape ofIdeas to Came, terj oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 1
[4] Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: Akbar Media, 2002), hlm. 76.
[5]
Fundamentalisme adalah paham yg cenderung untuk memperjuangkan sesuatu
secara radikal, dalam literatur lain diistilahkan sebagai kaum
konservatif dan tradisionalis. Fundamentalisme memiliki kesamaan dengan
berbagai istilah, yaitu fanatisme, Islam garis keras, revivalisme
ekstrim (Roxanne L. Euben: 2002), ekstremisme (Gilles Kepel),
radikalisme (Emmanuel Sivan: 1990), bahkan yang paling menyudutkan
adalah terorisme. Konsekuensi dari istilah-istilah itu tidak selalu
sama, tatapi memiliki kemiripan-kemiripan karakter, yaitu kekerasan,
baik kekerasan pemikiran maupun kekerasan tindakan atau gerakan.
[6] Adalah
suatu istilah Inggris kuno kalangan protestan yang secara kusus
diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-kitab harus
diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Istilah sepadan yang paling
dekat dalam bahasa perancis adalah integrisme yang merujuk kepada
kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian kecenderungan yang
sama dikalangan kaum katolik Romawi. Dalam Islam, kaum fundamentalis
Sunni menerima Al-Qur’an secara harfiah, sekalipun dalam beberapa kasus
dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga memilki sisi lain yang
berbeda. Kaum Syiah Iran, yang dalam suatu pengertian umum adalah para
Fundamentalis, tidak terikat kepada penafsiran harfiah. Lihat William
Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, Terj oleh Taufik
Adnan Amal, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 3-4.
[7] Muhamad Amin Rais, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 85.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 122.
[9] Qodri Azizy dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 191-192.
[10] Sumanto
Al-Qurtuby dkk, Dekonstruksi Islam Madzhab Ngaliyan: Pergulatan
Pemikiran Keagamaan Anak-anak Muda Semarang, (Semarang: Rasail, 2005),
hlm. 15-16.
[11] Mukhsin Jamil, Revitalisasi Islam Kultrural: Arus Baru Relasi Agama dan Negara, (Semarang: Walisongo Prees, 2009), hlm. 97.
[12] Mujamil
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah
dan Dinamika Intelektuaal Islam Nusantara, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2012), hlm. 132-136.
[13] Zuly
Qodir, Islam Liberal: Varian-varian Liberalisme Islam di Indonesia
1991-2002, (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2010), hlm. 116.
[14] Adian
Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: sejarah, Konsepsi, Penyimpangan
dan Jawaban, Cet ke V, (Depok: Gema Insani, 2006), hlm. 8-9.
[15] H. Luthfi
Bashori (Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kab. Malang) lebih senang
mengistilahkan dengan Kelompok Konsisten Karena jika disebut dengan
istilah kaum Moderat dewasa ini, maka akan dipahami oleh masyarakat
awam, lebih berorientasi kepada kelompok liberal, karena arti MODERAT,
kini sudah bergeser kepada arti kelompok yang dapat menerima hal-hal di
luar konteks syariat, termasuk dapat menerima segala macam aliran
pemikiran bahkan menerima perilaku dan ritual non muslim. Kelompok
Konsisten ini adalah mayoritas umat Islam yang masih mengikuti ajaran
syariat yang telah diterima secara estafet dengan panduan kitab yg
standar yang diterima secara estafet pula dari para ulama dan orang tua,
dari generasi pendahulunya yang lebih tua lagi hingga sampai kepada
para pembawa dan penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke
Indonesia, yaitu para Walisongo dan ulama sejamannya. Kelompok Konsisten
ini, selalu berupaya untuk menerapkan syariat Islam secara utuh, namun
tetap disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang secara riil dihadapi.
[16] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm..178.
[17] Meminjam
pemikiran yang dikemukakan oleh Yusuf Qordawy bahwa Wasatiyah (pemahaman
moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh
Ideologi-ideologi lain. Dalam alquran di jelaskan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً
“Dan demikianlah aku jadikan kalian sebagai Umat yang pertengahan”. (QS. Al Baqarah: 143).
Ayat diatas
menyeru kepada dakwah Islam yang moderat dan menentang segala bentuk
pemikiran yang liberal dan Radikal. Liberal dalam arti memahami Islam
dengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari
pembenaran yang tidak ilmiah. Radikal dalam arti memaknai Islam dalam
tataran tekstual yang menghilangkan fleksibilitas ajarannya. Sehingga
terkesan kaku dan tidak mampu membaca realitas hidup. Padahal Rasulullah
menegaskan :
إياكم والغلو في الدين ؛ فإنما أهلك الذين من قبلكم غلوهم في دينهم. رواه البخاري
“Hindarilah sifat berlebihan dalam agama. Karena Umat sebelum kalian hancur hanya karena sifat tersebut.” (HR. Bukhari)
[18] Tarmizi Taher, Berislam Secara Moderat, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), hlm. 144-146.
[19] Mujamil
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah
dan Dinamika Intelektuaal Islam Nusantara, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2012), hlm. 155-156.
[20] Ibid...hlm. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar