Oleh Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I
Memahami Mayoritas Dunia Islam
Mainstream dunia Islam: Sunni, sebetulnya dalam realitas historis,
selamat dari faham fundamentalisme dan terrorisme. Ciri-ciri Sunni
dibawah diperoleh dari hasil studi historiografis penulis terhadap
pandangan sarjana Barat sejak abad sembilan belas sampai kini. Yakni
Dari Gibbon, Goldziher sampai ke contemporary scholars tahun 1990an.
Mereka berpandangan Sunni yang tidak fundamentalis dan tidak terroris
itu ditandai dengan:
- Tidak membrontak terhadap sistem pemerintahan yang mapan.
- Rigiditas, ketangguhannya dalam mempertahankan kesatuan melawan segala bentuk disintegrasi dan kekacauan.
- Lebih mengutamakan konsep jama`ah, majority, dan supremasi Sunnah hingga lebih pas disebut sebagai Ahlussunah wal Jama`ah.
- Memiliki sikap jalan tengah, tawassuth, middle of the road, antara teologi dan politik yang ekstrim ( khawarij) dan syi`ah.
- Lebih menampakkan diri sebagai "a normative society," kaum normatif, dengan berdiri tegak mempertahankan prinsip kebebasan spiritual dan menegakkan etika standar dan syari`ah.[1]
Generalisasi dan tipologi diatas tentunya bukanlah hal yang tak bisa
diperdebatkan. Unikum dan spesifikasi kaum Sunni Indonesia, tentunya
tidak sama persis dengan kaum Sunni di negara lain yang dibatasi dengan
ruang dan waktu. Bila ada yang tidak sama persis dengan tipologi
diatas, tentu ada pengecualian-pengecualian Betapapun, mainstream ini
agaknya sudah menjadi bagian dari sejarah, dimana there is no way to
return: tiada jalan kembali untuk merubah masa lampau.. Kita sendiri
sebagai bagian dari umat Sunni Indonesia yang terpelajar mengalami dan
merasakan secara jujur bahwa tipologi itu tidak jauh dari keberagamaan
kita.
Secara lughawi terrorisme berarti Instense fear and panic or a cause of
it. Yakni sebuah faham ideologi yang dipraktekkan dalam rangka membuat
ketakutan, kepanikan yang tentu biasanya berbentuk violence, atau bahkan
severe violence (kekerasan yang dahsyat berlebihan) seperti pembunuhan
terhadap Sayyidina Hussein di Karbala. Tapi sesungguhnya sampai saat
ini belum ada definisi yang baku tentang terrorisme
Ciri-ciri diatas merupakan antitesa tipologi Fundamentalisme dan
Terorisme dalam dunia Islam. Terorisme tentu tidak identik dengan
Fundamentalime dalam Islam maupun dalam agama lain. Tapi memang banyak
kasus mengindikasikan kekeresan dilakukan oleh oknum-oknum fundamentalis
agama-agama. Inilah yang mengahasilakan generalisasi yang berlebihan
atau overgeneralization yang salah. Dalam sejarah Islam klasik (baca:
salaf dalam bahasa pesantren) justru awal kekerasan terjadi oleh
penguasa (structural violence). Severe violence pembunuhan terhadap
Sayyidina Hussein beserta pengikut dan sanak familinya di Karbala
jelas-jelas bermotif politik yang lepas dari faham fundamentalisme
agama. Tapi sebaliknya pada masa yang tidak jauh berbeda apa yang
dilakukan kaum khawarij dalam bentuk kekerasan, terorisme adalah bagian
dari ideologi kekerasan kaum fundamentalis Khawarij. Bahwa khawarij
adalah biang keladi fundamentalisme Islam sesungguhnya merupakan
interpretasi historis dari penulis sendiri. Tipologi ini mengisyaratkan
bahwa jika terjadi kekerasan pada era moderen ini yang dilakukan oleh
oknum yang mengatasnamakan diri sebagai bagian dari umat Islam,
sesungguhnya kekerasan itu adalah kesinambungan fenomena Khawarij.
Dengan kata lain ia adalah cucunya cucu Khawarij atau Khawarij pada
era moderen.
Mendifinisikan Istilah Terrorisme
Dalam literatur sosiologi Barat, terrorisme adalah salah satu bentuk
aksi bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologis (seperti
mengancam: kondisi akibat diancam) dan fisik (aksi kekerasan) yang
dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan
pengajuan tuntutan teroris terpenuhi[2]
Definisi ini sama dengan pandangan seorang intelektual Muslim dari
India, bahwa segala bentuk kekerasan sesungguhnya tidak punya
justifikasi keagamaan. Kekerasan, terrorisme hanya merupakan fenomena
politik dan sosial saja yang dibatasi oleh ruang dan waktu:
It should be remembered that there is no relation between religion
and violence, neither in Islam, nor in any religion for that matter.
Violence is a social and political phenomenon. It is true that there is
mention of war in scriptures like Ramayana, Mahabharata and the Qura’n.
But this mention is not to establish any integral link between religion
and violence but to portray certain social and political situation that
prevailed at that time. It can be called integral only if these
scriptures mandate violence as a desirable solution.
It is important to distinguish between what is empirical and
ideological. The Twain do not always meet. While violence is empirical,
peace is ideological. All scriptures, particularly the Qur’an while
permitting violence in some inevitable situations, ordain peace as a
norm. The great religions of the world came to establish justice and
peace, not to perpetrate revenge and violence. Revenge and violence can
never become part of any religion, much less that of Islam. Allah has
created both in human beings – tendency for aggression and violence and
exalted feeling for serenity of peace. Allah, according to the Qur’an,
created human person in the best of mould (ahsan-i-taqwim) and then
rendered him lowest of the low (95:4-5) [3]
Definisi diatas memang tidak sempurna dan sampai saat ini belum ada
definisi baku dalam literatur Barat. Yang menarik dicermati adalah bahwa
istilah terrorisme tidak datang dari dunia Timur melainkan dari dunia
Barat sendiri. Sangatlah sah untuk dipertanyakan wacana ini mengingat
imperialisme Barat tidak pernah usai.
Kritik terhadap dunia Barat adalah bahwa issue terrorisme baru
berkembang di paruh kedua abad dua puluh, tidak jauh berbeda masanya
dengan issue HAM. Masa penjajahan dunia Barat terhadap dunia ketiga
selama berabad-abad kemudian luput dari issue terrorisme.
Eufimisme moderen agaknya tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga
melanda kebijakan politik AS. Salah satu contoh adalah lontaran Noam
Chomsky dalam Pirates and Emperors, yang menggambarkan standar ganda AS
dalam memperlakukan terorisme internasional. Sesungguhnya pencipta
teroris terbesar adalah Israel dan Amerika itu sendiri, saat memberi
dukungan terhadap Israel tanpa syarat. Pelanggaran hak-hak asasi
manusia Israel terhadap kaum Palestina serta pendudukannya yang tidak
legal sampai sekarang, telah memberi stimulus lahirnya kelompok keras
Hamas, Hizbullah, serta militan-militan lain.
Eufimisme moderen disini mengalami bias geografis, diskriminatif.
Amerika selalu melindungi nilai-nilai kemanusiaan karena paham
humanismenya, tapi tatkala politik luar negeri yang diterapkan, corak
humanisme itu menjadi hilang. Nyawa demikian mahalnya di dalam negeri,
termasuk nyawa binatang, hingga tumbuh subur organisasi-organisasi
penyayang binatang, dan pencinta lingkungan. Tetapi ingat saja apa yang
pernah dilakukan Amerika terhadap Irak dan embargonya, dengan dalih
membungkam Presiden Saddam Hussein. Yang terjadi adalah, hampir 1,5 juta
penduduk Irak (sesuai dengan laporan PBB) meninggal karena masalah
kesehatan seperti kurang nutrisi.
Dalam sejarah belum ada kisah terorisme Arab terhadap orang Barat
(apalagi istilah senjata pemusnah massa) sebelum Zionist mulai
melaksanakan kontrol terhadap Palestina. Maka dewasa ini reaksi
besar-besaran Arab terhadap terorisme Israil, anehnya malah memperkuat
kebencian Barat khususnya AS terhadap Islam, atau Arab. Dengan bantuan
non-stop propaganda pro-Israel, AS menyimpulkan bahwa Arab pada dasarnya
memang bangsa yang suka berbuat kekerasan dan tidak bisa dipercaya.
Arab, Islam, telah disalahpahami sebagai sebuah simptom sebab-sebab
pengacau moral. Sesungguhnya frekuensi kekerasan lebih kecil terjadi di
Arab ketimbang tingkah laku brutal AS terhadap dunia lainnya. Bahkan
mereka senang saat memiliki tetangga yang datang dari AS. Apa yang
mereka benci adalah aksi-aksi serta kebijakan-kebijakan Israel dan AS
yang selalu merugikan mereka. Bangsa Palestina berjuang untuk
kemerdekaannya terhadap kekejaman Israel yang telah melakukan invasi
secara tidak legal. Arab telah menderita yang teramat sangat ditangan
Israel. Apa yang dilakukan bangsa palestina dengan segala bentuk
kekerasannya terhadap Israel dan pendukungnya adalah sah menunrut moral.
Semakin jelasnya sutradara teroris dewasa ini juga bisa dilihat dari
sikap ilmuwan-ilmuwan AS yang lain serta kaum terdidik. Mereka yang
jujur sudah menampakkan ketidak puasannya bahkan kebenciannya terhadap
kebijakan politik luar negeri AS yang selalu menganak emaskan Israel.
Ron Lukens-Bull, ahli antropologi Islam Jawa (lebih spesifik komunitas
pesantren Jawa dalam disertasinya Peaceful Jihad) merasa malu sebagai
ilmuwan AS yang tidak bisa membendung pemerintahnya dalam merugikan
dunia Islam. Emailnya pada penulis beberapa waktu yang lalu berbunyi:
“apa yang dilakukan AS yang merugikan rakyat Palestina dewasa ini tidak
bisa dipertahankan dalam ukuran moral dan politik:”
It seems to me that US policy is morally and politically indefensible[4]
Mengamati hubungan Islam-Barat yang semakin meruncing ini, baik dunia
Barat maupun dunia Islam dituntut memahami makna Islam itu sendiri yang
berarti damai. Islam sebagai landasan ideologis, driving force umat
Islam untuk menyikapi dunianya pada era persaingan bebas dan
globalisasi ini, tidak bisa diganggu gugat memang menawarkan kedamaian.
Kedamaian ini berlaku universal bagi dunia Islam dan juga bagi dunia
Barat. Paradigma semacam inilah yang membuat seorang professor dari
Jerman, Prof Bassam Tibi meyakni bahwa Indonesia, a Model for the
Islamic Civilization in Transition to the 2lst Century.
Dialog penulis dengan dunia Barat saat mengajar di Universitas Katolik
Salve Regina University, New Port Rhode Island, USA, tahun 2004,
merupakan pengalaman yang meyakinkan bahwa akal sehat di dunia Islam dan
barat sama-sama mendambakan kedamaian, Pengalaman penulis berinteraksi
dengan dunia kampus AS di bulan Ramdan membuktikan bahwa potensi manusia
untuk damai semestinya harus lebih diberi ruang dan dilatih secara
berkesinambungan sebagaimana latihan dalam bulan Ramadan. Bukan
sebaliknya sisi-sisi konflik kemanusiaan dan peradaban yang ditonjolkan
sebagaimana tulisan Samueal Huntington. Salah seorang wartawati muda
Newport Daily, Nicole Chevrette, yang juga berpartisipasi dalam dialog
dengan penulis, dalam artikelnya menjadi saksi pentingnya dialog
kemanusiaan dan patut dikutip untuk mentup tulisan ini:
As Prof. Mas`ud learns about Westrern culture simply by being here,
he is also teaching students, many of whom never had any significant
interaction with the Islamic world, but who are likely to after
graduation. The fact is that Muslims desire peace as much as Westerner
do. We must learn to overcome culture devide
(Sementara Prof. Masud belajar budaya Barat dengan kehadirannya disini,
dia juga mengajar mahasiswa-I yang kebanyakan mereka belum pernah
berinteraksi dengan dunia Islam, tapi agaknya mereka akan mengalami
interkasi setelah wisuda. Kenyataannya adalah dunia Islam mendambakan
kedamaian, sama seperti orang Barat memimpikannya. Kita, orang Barat,
harus belajar untuk mengatasi benturan budaya)
Jihad yang disalah pahami
Tidak sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa “jihad” identik dengan
perang. Karena faham ini sering terlontarkan dari mimbar ke mimbar,
ilmuwan dan media Barat sering mengidentikkan “jihad” dengan kekerasan,
violence. Fenomena inilah yang mendorong pemerintah AS dewasa ini untuk
memasang spionasi kamera di beberapa masjid, dan Islamic center di AS.
Apalagi “Jihad” ini dihubungkan dengan upaya garis keras umat Islam
Timur Tengah melawan hegemoni Barat dan kebrutalan penguasa Israel.
Fenomena ini menjadikan imej Islam di mata dunia Barat menjadi sah untuk
dipandang sebagai “agama Jihad” atau “agama kekerasan.” Belum lagi
peristiwa-peristiwa kerusuhan dan kekerasan di Indonesia dimana-mana
yang menjadikan penduduk minoritas Indonesia tidak aman dan tidak
nyaman. Ini semua jelas telah membawa daftar panjang yang semakin
memperkuat kesan dan stereotype dunia Barat atas dunia Islam.
Sebetulnya kasus-kasus kekerasan di Indonesia dan di Timur Tengah jika
diteliti lebih cermat belum sebanding dengan warna Islam itu sendiri
yang penuh dengan kedamaian. Artinya wajah Islam dan dunia Islam secara
umum tetap lebih dominan menampakkan pemandangan peace dari pada
violence. Bahkan bisa diteorikan, jika sebuah negara berpenduduk
mayoritas Muslim maka non-Muslim di negara tersebut pasti aman,
terlindungi dan dijamin kedamaian kehidupan sosio-relijius mereka. Hal
ini bisa difahami karena Nabi Muhammad saw., sebagai role model memilih
jalan peace dari kekerasan. Dengan kata lain ajaran dasar Islam
menawarkan kedamaian dari peperangan. Tidak diragukan lagi pemimpin
Muslim in telah membentuk jalan pikiran dan prilaku pengikutnya dimana
saja dan sampai kapanpun. Di kalangan kaum Muslim, Muhammad dikenal luas
sebagai seorang pendidik. Untuk dapat dipahami secara lebih baik pada
poin ini, Dr. James E. Royster dari Cleveland State University, yang
telah melakukan riset intensif tentang peran Muhammad sebagai seorang
guru, teladan, dan manusia ideal, membahas kesan-kesan kaum Muslim
terhadap Nabi mereka. Pada pengantar hasil penelitiannya, ia menyatakan
bahwa mungkin tidak ada seorangpun dalam sejarah manusia yang lebih
banyak diikuti dari pada Nabi-nya umat Islam (Muhammad). Kenyataan yang
seringkali dilupakan oleh orang-orang non-Muslim ini, harus dipahami
dalam rangka menilai secara tepat pengaruh Muhammad di antara mereka
yang mengakuinya sebagai seorang Nabi. Bagi Royster, Muhammad telah
mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam
kehidupannya. Kesimpulannya yang tidak kalah penting perlu dicermati:
Muhammad as teacher, exemplar and ideal man fulfills in Islam a role
that can hardly be overestimated. From him hundreds of millions of
Muslim derive both meaning for personal existence and means for
character development and spiritual achievement. In terms of continuing
influence Muhammad, the prophet of Islam, must be placed high on the
list of those who have shaped the world. Surely it would be markedly
different had he not been.[5]
Kutipan Royster di sini menunjukkan bahwa Muhammad sebagai seorang guru
tidak hanya bagi generasi masanya saja namun juga bagi seluruh kaum
Muslim pada masa sekarang. Dengan kata lain, sang Guru itu adalah
Muhammad, dan murid-muridnya adalah seluruh kaum Muslim di dunia Islam.
Ketika itu Muhammad merupakan seorang guru yang aktual bagi para
Sahabatnya, bagi kaum Muslim berikutnya beliau menjadi seorang
“imaginary educator”. Betapapun, kaum Muslim seluruh dunia mempelajari
ajaran satu yang sama dari Qur’an dan sunna. Dua hal tersebut telah
terbukti pula menjadi pegangan dalam kehidupan kaum Muslim: “aku telah
meninggalkan kepada kamu sekalian (Muslim) dua perkara, kamu tidak akan
tersesat selama kamu sekalian berpegang kepada keduanya: Qur’an dan
hadith”.[6] Bahwa beliau adalah seorang guru juga telah dinyatakan dalam
beberapa ayat al-Qur’an. Di antaranya, “(Doa Ibrahim dan Isma’il:) Ya
Tuhan kami! Utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta
mensucikan mereka.”[7]
Jika Muhammad adalah sosok peaceful, al-Qur’an juga lebih mengedapankan
kedamaian. Kata Salam yang berarti peace bisa dijumpai 157 kali dalam
al-Quran. Islam sebagai universal religion of peace menekankan
kedamaian dengan diri sendiri, damai dengan keluarga, damai dengan
masyarakat, serta damai dengan alam yang meliputi seluruh makhluq
Allah: fissamawati wal ardl. Tradisi Assalamu`alaikum, peace be upon
you adalah universal greeting yang selalu terdengar ramah dan damai bagi
Muslim-Muslimah sejagat. Allah dan Malaikat menyampaikan salawat dan
salam pada Nabi-Nabi. Surga dinamakan oleh Allah darussalam: home of
peace. Dalam Islam damai bukanlah masalah international law dan
international relation antara negara-negara yang kemudian melahirkan
negara super power yang arrogan dan mengklaim diri sebagai polisi dunia,
tapi damai dalam Islam dimulai dari konsep diri kemudian meluas ke
keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia. Meminjam istilah Hassan Hanafi,
paling tidak ada dua damai: yakni peace in the soul (internal peace),
dan peace in the world (external peace).
Dengan memperhatikan normatif Islam sebagai landasan ideologis, kata
“jihad” dalam al-Qur’an lebih pas dimaknai lawan dari “qu`ud” dalam
al-Qur’an. Jika qu`ud artinya adalah kondisi passif sebaliknya jihad
merujuk pada keaktifan untuk agama Allah. Di dalam al-Qur’an pengertian
jihad fisabilillah lebih ditekankan pada upaya perjuangan meningkatkan
kegiatan ibadah dalam rangka mengabdi pada Allah, bukan untuk
kepentingan yang lain. Dari sekian banyak ayat yang menyebutkan jihad
misalnya al-Hajj 78, al-Taubah 19, 24, al-Mutmainnah l, al-Hujurat 15,
dan al-`Ankabut 6, tidak ada satupun ayat yang mengkonotasikan jihad
sebagai perang. Ayat-ayat yang berhubungan dengan perang pada umumnya
menggunakann istilah qital.
Back to basic
Berbagai masalah sosial budaya dan keagamaan diatas semakin memperjelas
dan meyakinkan kita bahwa masalah kemrosotan moral adalah sebuah
fenomena nyata di lingkungan kita. Dengan demikian budaya bangsa kita
disamping memiliki unsur-unsur positif harus diakui juga mengandung
unsur-unsur negatif. Mental agraris (meminjam istilah Umar Khayam) telah
mewarnai mentalitas manusia Indonesia. Cara pandang agraris
mencerminkan sikap statis, tidak produktif karena pasrah pada siklus
waktu. Melihat kondisi ini, "culture of poverty"[8] (kultur miskin) yang
masih menjadi ajang perdebatan para sosiolog, bisa jadi sah-sah saja
dialamatkan ke bangsa kita. Hal-hal tersebut mengundang pemikiran
mendalam untuk menata kembali kehidupan beragama yang lebih menyejukkan,
santun, damai, dan peduli terhadap masalah-masalah sosial.
Memang hampir dimana-mana di belahan dunia, persoalan pluralisme selalu
masih menjadi topik penting. Istilah pluralisme, kemajmukan, yang
digunakan dalam sosiologi moderen dan ilmu politik pada umumnya mengacu
pada tradisi Demokrasi Liberal Barat, dimana pluralitas group atau
kelompok elit saling berbagi kekuatan atau saling bersaing untuk
memenangkan kekuatan secara terus menerus. Dewasa ini ada kecendrungan
umum bahwa pluralisme yang ideal sebaiknya "berkiblat" pada dunia Barat
khususnya Amerika yang multi etnis, budaya, dan agama. Argumen ini pada
dasarnya menunjukkan sikap inferior kompleks dari dunia ketiga. Profesor
Cindy Jurisson dari Chicago, pernah mengingatkan, salah satu masalah
besar Amerika saat ini adalah absennya agama sebagai sumber utama nilai
atau primary value system. Agama besar yang ada memperoleh tantangan
berat dari popular spirituality dan agama sipil, yang keduanya tidak
lain adalah agama semu. Pluralisme yang telah mereka rumuskan sejak abad
lalu, khususnya oleh salah seorang pemikirnya, James Madison
(1751-1836), memang turut memberi andil besar dalam menyuburkan
kehidupan berdemokrasi di Barat, khususnya di AS. Tapi bukan berarti
pluralisme ini tidak meninggalkan masalah. Dominasi faham Liberalisme
itu sendiri merupakan masalah. Karena Liberalisme dalam masyarakat ini
tidak ditopang oleh nilai-nilai agama, hingga issue-issue moderen yang
berkembang dalam masyarakat sekuler hampir tidak pernah mencapai
harmoni.
Untuk itu umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas Indoinesia sudah
semstinya kembali ke ajaran dasar Islam, normativeness, dalam
memecahkan persoalan-persoalan ini. Dalam Islam setiap ibadah ritual
sarat dengan pesan moral yang bersifat vertikal dan horizontal. Ibadah
puasa misalnya bukan sekadar mengajarkan disiplin diri, atau juga ajakan
kesalehan diri, lebih dari itu puasa adalah ajakan peduli terhadap
lingkungan dan penegakan HAM. Sangat ironis jika puasa hanya diartikan
sebagai takwa pribadi dengan melupakan masalah-masalah sosial atau
kesalihan sosial. Budaya kekerasan, budaya menghakimi sendiri, agaknya
sudah melembaga dalam masyarakat kita. Istilah "kurang ajar'' (tidak ada
istilah "cukup atau berlebihan ajar'') yang biasanya digunakan
pendahuluan untuk memukul seseorang adalah ekspresi budaya yang haus
"menghajar'' orang lain. Peristiwa kerusuhan atau riot, meskipun para
sosiolog menganggap istilah ini kurang pas dan menggantikannya dengan
protes sosial, di beberapa tempat dewasa ini jelas melegitimasi bahwa
Indonesia sarat kehidupan kekerasan dengan pelbagai macam motifnya.
Agaknya di negara kepulauan ini, kekuatan tangan untuk memperingatkan
orang lain lebih sering ditempuh. Barangkali karena pengaruh budaya
collectivism, atau komunal "mangan ora mangan kumpul'', posisi individu
sering tidak terperhatikan dan nyawa nyaris murah dari hari ke hari.
Dengan kata lain, "pasrah dan rela dipukul asal kumpul.'' Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat ternyata masih menjadi masalah utama. Sungguh
puasa dan kepedulian sosial adalah bagaikan roh dan badan. Dengan
berpuasa manusia bukan hanya bersimpati terhadap kemiskinan, tapi lebih
dari itu secara empati merasakan haus dan lapar, sehingga dia memberi
apreasisi yang tepat dan fungsional terhadap kesengsaraan rakyat.
Penyakit bangsa yang melumpuhkan bangsa-bangsa terdahulu sebagaimana
diingatkan Rasul adalah fudlul al-ta'am, fudlul al-manam, fudlul
al-kalam; banyak makan, banyak tidur, dan banyak kata karena terjerat
dalam budaya seremoni yang mengalahkan substansi. Jelas penyakit ini
adalah cermin penyakit manusia yang tidak berpuasa atau berpuasa tanpa
roh dan makna. Pantaskah orang berbicara soal penderitaan rakyat,
kemiskinan, dan kelaparan, sedangkan dalam pikirannya belum pernah
terlintas apalagi mengalami pahitnya kehidupan. Pantaskah seseorang
mengembar-gemborkan demokrasi, sedangkan dia adalah bagian dari
masyarakat timokratik (meminjam istilah al-Farabi dalam al-Madinah
al-Fadilah) yang haus akan kekuasaan, popularitas dan kehormatan.
Sia-sialah mereka yang melakukan puasa, tapi tersenyum tatkala manusia
lain menderita, tertawa tatkala rakyat menangis, menimbun harta dan
dolar tatkala umat kelaparan dan kebingungan dengan pemenuhan
bahan-bahan pokok, serta memamerkan kekerasan tatkala rakyat
mengharapkan perlindungan.
Manusia beriman dalam arti yang sebenarnya semestinya mengikuti pola
kehidupan Nabi dan sahabatnya yang selalu menghormati orang lain. Umat
Islam perlu merenungkan kisah- kisah nyata masa salafussalih seperti
seorang Sahabat Nabi yang melakukan ikram al-duyuf, memberi penghormatan
terhadap seorang tamu. Sang Tuan rumah hanya punya persediaan makan
terbatas untuk anaknya, maka sang Ibu menyuruh anaknya untuk segera
tidur tanpa makan malam. Sang ayah mematikan lampu mempersilahkan makan
tamu dengan pura-pura ikut makan karena persediaan terbatas tersebut.
Malam berlalu satu keluarga berkorban tidak memenuhi kebutuhan makan
demi Sang Tamu. Inilah contoh orang-orang salih yang perlu kita
renungkan dalam kehidupan sekarang ini
Ajaran Islam yang humanis sebagaimana dipaparkan diatas adalah paradigma
utama untuk mendasari upaya membangun visi bersama di tengah
kemajmukan. “Indonesia tanpa pagar” (meminjam istilah budayawan Darmanto
Jatman) haruslah dijadikan sasaran bersama dan agenda utama pluralisme
umat beragama di Indonesia, yang merupakan sebuah bangsa yang hidup di
tengah-tengah masyarakat internasional yang sedang berada dalam global
trends and ethics. Indonesia harus menyesuaikan diri dengan etika global
ini seperti demokratisasi, pluralisme dan sebagainya. Relevan kita
pungkasi tulisan ini dengan syair-syair teolog dan filosuf Jerman
Hanskung:
[1] Hasil penelitian individual untuk mata kuliah historiografi Islam
dibawah bimbingan Prof. Michael Morony dengan topik paper pribadi
“Sunnism in the Eyes of Modern Scholars,” UCLA, AS 1993.
[2] David Jary, Sociology, (New York: 1991), halaman 518.
[3] Asghar Ali Engineer, ON DEVELOPING THEOLOGY OF PEACE IN ISLAM, Islam and Modern Age, October, 2001
[4] Email pribadi 22 April 2002 dari rlukens@unf.edu ke Walisongos@yahoo.com
[5] James E. Royster, “Muhammad as a Teacher and Exemplar”, The Muslim World, 68, no. 4 (1978), hlm. 235-258.
[6]Lihat Ibn Hanbal, Op.cit., III, hlm. 17.
[7] Qur’an, 2: 129. Beberapa ayat lain yang masih berhubungan dengan hal tersebut adalah surat 62: 2 dan 3: 164
[8] Istilah yang digunakan pertama kali oleh Oscar Lewis (1961) ini
menekankan fatalisme sebagai ciri utama masyarakat ini. Sosiolog
tersebut berargumen bahwa cycle of deprivation (lingkaran kefakiran)
terus berlangsung dalam masyarakat ini hingga anak-anak dalam lingkungan
ini mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan sikap-sikap untuk
menjadi manusia miskin. Meskipun demikian argumen ini oleh para sosiolog
dianggap lemah dan banyak dibantah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar