Oleh Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I
A. Pendahuluan
Sewaktu dunia Islam berada pada zaman keemasan dari abad VII sampai abad
XIII, Eropah masih berada pada zaman kegelapan ( The Dark Age). Bangsa Eropa
menyadari bahwa mereka bukanlah bangsa
yang lebih beradab daripada bangsa Timur ( Islam ). Hal ini mereka rasakan
tatkala berkecamuknya Perang Salib ( 1095 – 1193 ). Mereka
menyaksikan bahwa bangsa Arab Islam sudah memiliki ketinggian budaya
seperti pada jenis makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musik,
alat-alat perang,obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi,
pemerintahan, dan lain-lain. Satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa
bangsa Eropa menuntut ilmu pengetahuan dari peradaban Islam di Andalusia dan
Sicilia seperti pada Universitas Cordova,
Granada, Seville dan Toledo. Cordova sebagai kota terbesar dan ibukota
Spanyol selain memiliki Universitas dan perpustakaan yang besar juga memiliki
27 buah sekolah gratis sehingga program wajib belajar di sana benar-benar
terlaksana dan tidak ada satupun warganya yang buta aksara.[1]
Kegiatan pembelajaran di kota-kota tersebut dibarengi dengan kegiatan penerjemahan buku-buku
berbahasa arab ke dalam bahasa latin. Diantara sarjana-sarjana Eropa yang
berjasa dalam melakukan kegiatan
penerjemahan tersebut adalah : Faraj bin
Salim, Dominicius Gundissalimus, Michael Scott, Geral Cremona dan
lain-lain.[2]
Kegiatan yang sebagian besar mendapat stimulasinya dari adanya berbagai kontak
dengan dunia Islam itu ternyata melicinkan jalan bagi kebangkitan Eropa ( Renaissance ) pada abad XIV sampai XVI.
Disaat Eropa memasuki zaman renaissance yang
membawa kepada zaman modern, justru umat Islam mulai menurun dan mengalami
zaman kemunduran walaupun pada abad yang sama masih pula berdiri dinasti-dinasti
Islam di Andalusia, Turki Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di
India, tetapi dinasti-dinasti itu tidaklah begitu memperhatikan aspek peradaban
yang ditopang oleh ilmu pengetahuan. Kini
ilmu pengetahuan dan filsafat yang telah lama bertahta di pangkuan dunia Islam
berpindah ke bumi Eropa barat dan memperoleh lahan subur di sana. Fenomena
kemunduran peradaban Islam tersebut seolah menjadi bukti kebenaran Firman Allah sebagai berikut :
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa ( kejayaan dan kehancuran ) itu Kami pergilirkan
diantara manusia”[3]
Renaissance
Eropa pada gilirannya telah mendorong terjadinya dua revolusi besar yaitu Revolusi Industri di Inggeris dengan
implikasi material dan teknik serta Revolusi
Perancis di Perancis dengan implikasi kemanusiaannya. Dua peristiwa yang
amat menentukan dan menandai dimulainya abad modern itu terjadi pada
pertengahan abad XVIII dan berjalan seiring di Eropa. Sejak terjadinya dua
revolusi itu muncullah antusiasme Eropa untuk melakukan imperialisme dan
kolonialisme khususnya terhadap dunia Islam.
B. Pengertian Modern,
Modernisasi dan Pembaharuan
Istilah “modern” sebenarnya berasal dari bahasa latin
“modo’ atau “modernus” berarti masa kini; yang kini ; mutakhir.[4]
Begitupun dalam kosakata bahasa Indonesia modern diartikan : yang terbaru ;
cara baru ; mutakhir.[5]
Secara terminologi modern didefenisikan sebagai sikap dan
cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[6]
Oleh karena itu modernisasi dapat diartikan
sebagai proses menjadi modern,
terbaru, dan mutakhir atau juga proses
cara berpikir, bertindak dan bersikap sesuai dengan tuntutan zaman. Cak
Nur ( panggilan akrab bagi
almarhum Nurcholish Madjid ) merumuskan pengertian modernisasi identik atau hampir identik dengan pengertian
rasionalisasi yaitu proses perombakan pola bepikir dan tata kerja lama yang
tidak akliah ( rasional ) dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja
baru yang akliah.[7]
Kata “pembaharuan” secara etimologis berasal dari
kata “baharu” atau “baru” yang berarti proses membuat sesuatu yang lama menjadi
baru. Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa dalam konteks keislaman
pembaharuan berarti upaya intelektual
Islam untuk menyegarkan dan memperbarui pengertian dan pemahaman umat Islam
terhadap agamanya ( dalam ) berhadapan dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat.[8]
Dari
pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian modern adalah baru dan modernisasi juga
berarti pembaruan atau lebih populer disebut pembaharuan. Dalam kaitan
pengertian ini Harun Nasution mengatakan bahwa kosakata dalam bahasa arab yang
berarti pembaharuan adalah
“al-Tajdid” [9]
Hasan Asari kemudian mengidentikkan antara kata al-Tajdid dengan Ishlah. Keduanya ( al-Tajdid dan Ishlah ) adalah
konsep yang inheren dalam Islam sejak awal.[10]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah-istilah modernisasi, pembaharuan,
al-Tajdid dan Ishlah adalah istilah-istilah yang identik. Dalam konteks
pembahasan ini pemikiran modern dalam Islam dapat diartikan sebagai upaya-upaya
untuk memperbarui pemahaman keislaman yang didasarkan atas sikap rasional
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dengan perkembangan terbaru dan kekinian yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya yang
menjadi sasaran pembaharuan adalah ajaran-ajaran, pemikiran, pemahaman
maupun pengamalan agama yang merupakan hasil ijtihad para Ulama dan
pemimpin-pemimpin agama yang kebenarannya relatif dengan landasan dalil-dalil
yang zhanni pula. Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah menjadi sasaran
pembaruan karena keduanya bukanlah produk ijtihad.
C. Pembaharuan Dalam Islam :
Gagasan dan Gerakan
Pada dasarnya upaya-upaya dalam melakukan pembaharuan Islam dapat
ditinjau dari dua aspek yaitu aspek gagasan dan gerakan. Pada tataran gagasan,
pembaharuan Islam sebenarnya sudah dimulai sebelum era modern. Busthami Muhammad Sa’id mengutip Al-Suyuthi
menyebutkan nama-nama seperti : Umar bin
Abdul Aziz, Iman Asy-Syafii, Al-Asy’ari, Iman Al-Ghazali, Ar-Razi, Sirajuddin
al-Baqillani dan Al-Suyuthi sendiri sebagai tokoh pembaharu Islam masa awal
pra modern. Bahkan starting point gagasan bahkan gerakan
pembaharuan Islam pada esensinya sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw melalui ajaran Islam yang
dibawanya sebagai koreksi atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan uamt-umat sebelumnya.
Meskipun demikian secara legal-formal usaha-usaha pembaharuan secara
signifikan atas umat Islam baru terjadi pada masa Ibnu Taimiyah ( 1263-1328 ). Ibnu Taimiyah dianggap sebagai bapak
al-Tajdid atau reformis Islam
yang melakukan kritik tajam tidak saja kearah sufisme dan para filosof yang
mendewakan rasionalisme tetapi juga teologi Al-Asy’ari yang cenderung pasrah
kepada kehendak Tuhan dan cenderung totalistik. Kritik-kritik Ibnu Taimiyah itu
secara fenomenal dibarengi dengan anjuran agar umat Islam kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah serta memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan
landasan ijtihad dan pintu ijtihad tidak tertutup.
Gagasan-gagasan pembaharuan dalam Islam selanjutnya teraktualisasi dalam
bentuk gerakan modern yang dipelopori oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab atau populer disebut gerakan Wahabi yang
muncul pada awal abad ke 18. Dari segi
waktu gerakan Wahabi belumlah tergolong gerakan pada abad modern dan
latarbelakang munculnya pun bukan didasarkan atas respon terhadap kolonialisme
melainkan sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang menyimpang dari ajaran
Islam seperti bid’ah, takhyul dan khurafat, sehingga gerakan Wahabi ini
dikategorikan gerakan pemurnian ( puritanisme ) ajaran Islam.
D. Tokoh-Tokoh Penting dan
Ajaran-Ajarannya.
- Tokoh-Tokoh Pembaharuan Mesir
Pada tahun 1798 kota Alexandria,
Mesir berada dalam kekuasaan Perancis di bawah pimpimpinan Napoleon Bonaparte. Dalam tempo yang tidak lama seluruh wilayah
Mesir dapat dikuasainya. Napoleon ke Mesir bukan hanya membawa tentara untuk
menaklukkan Mesir tetapi juga untuk kegiatan ilmiah karena Napoleon membawa 167
orang ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ia juga membawa dua set alat
percetakan dengan huruf latin, arab dan yunani. Maka terbentuklah lembaga pendidikan
yang diberi nama : Institut d’Egypte yang terdiri dari beberapa jurusan : ilmu
pasti, ilmu alam, ekonomi – politik dan sastra seni.
Kemajuan yang dimiliki bangsa
Eropa saat itu dengan alat-alat ilmiahnya seperti : teleskop, mikroskop,
alat-alat percobaan kimia dan eksperimen-eksperimennya serta ketekunan mereka
pada ilmu pengetahuan membuat para Ulama Mesir merasa takjub dan menyadari akan
keterbelakangan umat Islam seperti yang diungkapkan M.Q.Al-Baqli mengutip Abd. Rahman Al-Jabarti : “Saya lihat
di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal
yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang pada diri kita”.[11]
Fenomena inilah yang membuat umat Islam terutama bangsa Mesir mulai
menyadari dan membuka mata untuk mengadakan pembaharuan sebagai respon terhadap
tekanan kolonial atau kolonialisme pada abad ke XIX.
Usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad Ali Pasya ( 1765-1848 ). Ia
adalah seorang perwira yang dikirim ke Mesir oleh Sultan Salim III ( 1789-1807
), Sulthan Dinasti Turki Usmani untuk melawan Napoleon yang mengusai Mesir.
Muhammad Ali Pasya berkeyakinan bahwa ketinggian dan kemajuan Eropa didasarkan
atas kekuatan militernya yang ditopang oleh kekuatan ekonomi. Tetapi untuk
mengadakan pembaruan dalam lapangan
militer dan ekonomi tersebut sangat diperlukan ahli-ahli. Untuk itu ia kemudian
mendatangkanahli-ahli dari Eropa dan selanjutnya mendirikan sekolah-sekolah :
sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran, sekolah pertambangan dan
sekolah pertanian. Disamping itu ia juga mengirim pemuda-pemuda Mesir belajar
ke Eropa.
Salah seorang pemikir pembaharuan yang dihasilkan zaman Muhammad Ali
Pasya adalah Rifa’ah Badawi Rafi’
Al-Tahtawi ( 1801-1837 ), seorang Ulama dari Al-Azhar yang pernah
dikirim Muhammad Ali Pasya ke Paris pada
tahun 1826 M untuk menadi Imam bagi pelajar-pelajar Mesir yang ada di Paris dan
ia juga belajar bahasa Perancis dan dapat dikuasainya.
Diantara ajaran-ajaran Al-Tahtawi adalah sebagai berikut :
1)
Raja atau Sulthan mempunyai
kekuasaan eksekutif yang mutlak tetapi kekuasaannya itu harus dibatasi oleh syariat dan Raja harus
bermusyawarah dengan Ulama dalam mengambil keputusan-keputusan.
2)
Kaum perempuan mesti memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum lelaki (
Emansipasi Wanita )
3)
Tujuan pendidikan bukan hanya
untuk mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi terutama untuk membentuk rasa
kepribadian dan untuk menanamkan rasa patriotisme.
4)
Kaum Ulama harus mengetahui
ilmu-ilmu modern sehingga mereka dapat menyesuaikan antara syariat dengan
kebutuhan-kebutuhan modern.
5)
Pintu Ijtihad adalah terbuka bukan
tertutup.[12]
6)
Ajaran Islam bukan hanya
mementingkan urusan-urusan akhirat. Tujuan hidup manusia ada dua macam :
menjalankan perintah Allah dan mencari
kesejahteraan dunia. Kesejahteraan dunia yang dimaksud adalah kesejahteraan
seperti bangsa Eropa. Kesejahteraan ekonomi akan tercapai dengan dua jalan :
berpegang pada agama serta budi pekerti yang baik dan kemajuan ekonomi.[13]
Selain kedua tokoh di atas muncul pula tokoh lainnya yaitu : Jamaluddin Al-Afghani ( 1839 – 1897 ). Ia lahir di Afganistan pada tahun 1839. Awalnya ia menjadi
pembantu Pengeran Dost Muhammad Khan di
Afganistan. Meskipun ia lahir dan dibesarkan di Afganistan tetapi gagasan dan
gerakan pembaharuannya berpegaruh di Mesir. Sebelum ia hijrah ke Mesir pada
tahun 1871 ia juga hijrah ke India pada
tahun1869. Sejak tahun 1871 Al-Afghani menetap di Kairo. Ketika ia berada di
Kairo ide-ide hasil kegiatan penerjemahan dan pemikiran pembaharuan Al-Tahtawi
meluas di Mesir. Hal ini mendorong Al-Afghani untuk menyumbangkan pula ide-ide
pembaharuannya. Akhirnya ia mendirikan partai politik di Mesir pada tahun 1879
dengan nama Hizb al Wathan (
Partai Nasional ). Slogan “Mesir untuk Mesir” pun mulai terdengar.[14]
Dari Mesir ia pindah ke Perancis. Di sini ia mendirikan perkumpulan Al-Urwah al-Wusqa dan juga sebagai nama
majalahnya. Majalah dengan edisi
berbahasa arab ini yang juga
berpengaruh sampai ke Indonesia. Dari Perancis ia hijrah lagi ke Persia dan
terakhir hijrah pula ke Istambul sampai akhir hayatnya pada tahun 1897.
Pemikiran pembaharuan Al-Afghani didasarkan atas keyakinannya bahwa Islam
adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan.
Pokok-pokok pemikiran pembaharuannya adalah :
1)
Umat Islam mundur bukan karena
Islam tidak sesuai dengan zaman yang terus berubah tetapi dikarenakan umat
Islam telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sejati. Ia mengambil contoh paham qada dan qadar. Keyakinan terhadap
qada dan qadar mestinya memunculkan
sifat dinamis dan bukan sikap statis.
Faham dinamisme Islam inilah yang telah menimbulkan peradaban tinggi pada masa
zaman klasik.[15] Lalu ia
menyeru untuk kembali kepada dasar Islam
yang sebenarnya : Al-Qur’an dan Sunnah.
2)
Sebab lain kemunduran umat Islam
adalah perpecahan di kalangan umat Islam dan lemahnya persaudaraan Islam.
Kemudian ia menyerukan Pan Islamisme
( Persatuan Umat Islam ).. Salah satu tujuan penggalangan umat Islam untuk
menentang kolonialisme barat yang telah memperburuk kondisi umat Islam.
Penggalangan tersebut mesti didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana iptek yang dimiliki barat.[16]
3)
Corak pemerintahan otokrasi harus
dirubah dengan pemerintahan demokrasi. Islam menurut Al-Afghani menghendaki
pemerintahan republik yang didalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat
dan kewajiban Kepala Negara tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[17]
Muhammad Abduh ( 1849-1905 ) adalah
tokoh pembaruan Mesir lainnya. Ia adalah murid Al-Afghani dilahirkan pada tahun
1849 di suatu desa di Mesir Hilir. Setelah hafal Al-Qur’an ia belajar agama di
Mesjid Syekh Ahmad tahun 1862. Sistem pembelajaran Syekh tersebut ternyata
membosankan karena metode belajarnya hafalan luar kepala sehingga ia mengatakan
: “satu setengah tahun saya belajar di Mesjid Syekh Ahmad dengan tak mengerti
suatu apapun”[18] Lalu ia
pergi berguru kepada Syekh Darwisy yang mengajarkan cara membersihkan hati cara
memahami agama Islam dengan mengikuti Al-Qur’andan Sunnah yang sahih, tidak
fanatik kepada pendapat Imam Mazhab, tafsir atau karangan umat Islam.. Setelah
belajar dari Syekh tersebut barulah ia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo
pada tahun 1866-1877. Sewaktu belajar di Al-Azhar terjadi persentuhan
intelektual antara Abduh dan Al-Afghani
yaitu ketika Al-Afghani pertama kali
datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Dan ketika Al-Afghani datang di
tahun 1871 untuk menetap di Mesir, Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Di
sini Abduh mendapatkan pencerahan ilmu yang tidak ia dapatkan di Al-Azhar.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar, ia mengabdikan di almamaternya itu,
ia juga mengajar di Dar al-Ulum, disamping itu ia juga membuka kelas-kelas
nonformal di rumahnya sendiri.
Gagasan dan gerakan pembaharuannya antara lain :
1)
Sebab kemunduran umat Islam adalah
faham jumud yang bersemayam di kalangan
umat Islam. Jumud berarti keadaan membeku, keadaan statis dan tak ada
perubahan.. Taqlid kepada Ulama juga dikatakannya sebagai penyebab kemunduran
di berbagai bidang seperti menghambat perkembangan bahasa arab, perkembangan
susunan masyarakat, syariat. sistem pendidikan dan sebagainya.[19].
Bahkan Abduh mengkritik Ulama-Ulama yang
menimbulkan faham taqid tersebut. Al-Qur’an dan Hadits melarang umat Islam
bersikap taqlid.
2)
Pembukaan pintu ijtihad, pintu
ijtihad tidak tertutup. Ia percaya pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya
mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman tidak sempurna kalau
tidak didasarkan pada akal. Dalam Islam agama dan akal buat pertama kali
mengikat tali persaudaraan.[20]
3)
Keyakinannya kepada kekuatan akal
memunculkan faham bahwa manusia memiliki kebebasan dalam berbuat ( free will and free act ) tetapijuga
tidak melupakan masih ada kekuasaan yang
lebih tinggi.[21]
H.A.R.
Gibb memformulasikan bahwa gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dapat dirangkum menjadi empat kegiatan utama :
1)
Pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar ( bid’ah dan khurafat ),
2)
Pembaharuan pendidikan tinggi
Islam,
3)
Perumusan kembali ajaran Islam sejalan denan pemikiran modern,
4)
Pembelaan Islam terhadap
pengaruh-pengaruh Eropa dan serangan-serangan Kristen.[22]
Rasyid Ridha
( 1865-1935 ) adalah tokoh lain dari gerakan pembaharuan di Mesir. Ia adalah
murid Muhammad Abduh yang terdekat.
Pertama kali ia bersentuhan dengan pemikiran Muhammad Abduh ketika ia membaca
majalah Al-Urwah Al-Wusqa yang
dikelola oleh Abduh dan Al-Afghani. Lebih-lebih ketika ia bertemu langsung
dengan Abduh sewaktu Abduh datang ke
Syiria pada tahun 1880-an dan dilanjutkan dengan pertemuan kedua pada tahun
1894.Akhirnya ia memutuskan untuk hijrah
ke Kairo bergabung dengan sang guru yang sebelumnya ia lahir dan
dibesarkan di Tripoli, Syiria. Pada tahun 1898 ia mulai menerbitkan majalah Al-Manar, suatu majalah yang dapat
dikatakan sebagai poros kegiatannya sampai wafat.Tafsir Al-Manar merupakan buah karyanya meskipun tafsirannya banyak dipengaruhi oleh Abduh
terutama tafsir sampai surah An-Nisa’
ayat 125 yang merupakan pemberian kuliah-kuliahnya di universitas Al-Azhar,
Mesir.
Gagasan-gagasan pembaruannya tidak jauh berbeda dengan
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh bahkan dapat dikatakan sebagai
pengulangan kembali ide-ide gurunya dan guru Abduh itu, tetapi dengan sedikit
tambahan dan perbedaan penekanan. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa
Rasyid Ridha dalam hal kontaknya dengan barat jauh lebih kecil daripada
Al-Afghani danAbduh. Secara ringkas, ide pembaharuannya mencakup penghidupan
kembali kejayaan pemerintahan Islam seperti di zaman salaf dengan sistem khilafah. Hal ini hanya mungkin
dilakukan dengan reformasi besar-besaran di bidang hukum dan pelaksanaan
ijtihad serta membersihkan pemahaman Islam yang tidak benar.
2.
Tokoh-Tokoh Pembaharuan Turki
Puncak
kejayaan Dinasti Turki Usmani dicapai
pada masa pemerintahan Sulaiman I (
1520-1566 ). Ia digelari Al-Qanuni (
Pembuat Undang-Undang ), sehingga namanya dikenal : Sulthan Sulaiman Al-Qanuni. Melemahnya kerajaan itu terjadi setelah
wafatnya Sulthan Sulaiman tersebut. Pada saat situasi dalam negeri semakin
memburuk, negara-negara Eropa melancarkan serangan ke wilayah-wilayah kekuasaan
Turki Usmani. Misalnya, pada masa Sulthan
Salim II ( 1566-1574 ), kerajaan Turki Usmani menderita
kekalahan dari tentara sekutu Kristen Eropa dalam perang Liponto . Lalu ketika pemerintahan dipegang oleh Sulthan Ahmad I ( 1603-1617 ), tentara
Austria mengalahkan Turki Usmani. Kekalahan ini memberi pukulan yang hebat bagi
kerajaan Turki Usmani dan membuat cahaya kebesaran Turki memudar di mata
bangsa-bangsa Eropa. Keadaan ini diperparah tatkala Napoleon mengusai Mesir pada tahun 1798 yang notabena adalah
wilayah kekuasaan Turki Usmani. Sejak itu Turki Usmani dijuluki The Sick Man of Europe ( Orang Sakit
dari Eropa ).
Akibat kekalahan-kekalahan yang dialami Dinasti Turki Usmani melawan
bangsa Eropa maka mendorong Sultan
Mahmud II ( 1808-1839 ), Sulthan ke 33 dari 39 Sulthan Turki Usmani untuk
mengadakan pembaharuan di Turki. Gerakan pembaharuan yang dilancarkannya adalah
sebagai berikut :
1)
Pembubaran pasukan Yenisari, yakni
merupakan pasukan elit kerajaan yang melakukan gerakan oposisi terhadap
Sulthan. Ini adalah langkah pertama dari gerakan pembaharuannya yang melicinkan
jalannya untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan selanjutnya,[23]
2)
Perombakan organisasi Kesulthanan
yang mana kekuasaan didistribusikan kepada berbagai jabatan, pada masa
Sulthan-Sulthan sebelumnya tidaklah demikian, [24]
3)
Mengeluarkan peraturan tentang
kehakiman, pegawai Negara dan tindak korupsi,[25]
4)
Mendirikan sekolah-sekolah modern
seperti Makteb-i Ma’arif ( Sekolah
Pengetahuan Umum ), Makteb-I Ulum-u
Edebiye ( Sekolah Sastra ), Sekolah Militer dan Sekolah Kedokteran.[26]
Mustafa Kemal adalah tokoh pembaharuan
Turki yang terkenal. Ia diberi gelar Attaturk
( Bapak Turki ) Kemunculannya di panggung pembaharuan Turki tatkala tentara
Sekutu dan Yunani hendak merampas kembali wilayah Turki karena Turki yang
berpihak kepada Jerman dalam Perang Dunia I keduanya mengalami kekalahan. Dalam
suasana seperti itulah Mustafa Kemal tampil dengan gagah berani berjuang
menyelamatkan Kerajaan Turki Usmani dari kehancuran total dan ekspansi Eropa.
Dalam
kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki Selatan,
Mustafa Kemal membentuk pemerintaan tandingan di Anatolia sebagai imbangan terhadap
kekuasaan Sulthan Abdul Majid II di Istambul.
Setalah dipecat dari semua jabatannya termasuk sebagai penglima tentara,
Mustafa Kemal membentuk Majlis Nasional Agung untuk menandingi parlemen
Istambul pada tahun 1920. Akhirnya pada tanggal 01 Nopember 1922 Majlis
Nasional Agung yang diketuai oleh Mustafa Kemal tersebut berhasil menghapuskan
jabatan Sulthan dikarenakan parlemen kerajaan Turki tidak berfungsi dalam
menjalankan tugasnya dan mendapat intervensi
dari sekutu. Dengan demikian, Sulthan Kerajaan Turki Usmani kehilangan
kekuasaan politik dan hanya mempunyai jabatan khalifah sebagai pemimpim
religius semata-mata. Ia kemudian memproklamirkan berdirinya Republik Turki
pada tanggal 29 Oktober 1923. Meskipun jabatan Sulthan sudah dihapuskan akan
tetapi pengaruh khalifah masih tetap besar. Maka akhirnya Mustafa Kemal
berdasarkan persetujuan Majlis Nasional Agung pula berhasil menghapuskan
jabatan khalifah pada tanggal 03 Maret 1924. Khalifah Abdul Madjid II, khalifah
terakhir Turki Usmani diperintahkan untuk meninggalkan Turki. Sejak saat ini
berakhirlah riwayat Dinasti Turki Usmani, dinasti muslim yang telah bertahan
selama hampir tujuh abad. Dengan menjadi republik dan hilangnya jabatan
khalifah secara drastis Turki terputus dari dunia Islam.
Gerakan
pembaharuananya dapat disebutkan antara lain :
1)
Sekularisari, dalam arti
pemerintahan haruas dipisahkan dari agama tetapi bukan berarti
menghilangkan agama. Pembentukan partai
yang berdasarkan agama dilarang seperti Partai Islam, Partai Kristen dan
lain-lain.
2)
Nasionalisme, yaitu faham kesetian kepada bangsa Turki berdasarkan
geografisnya bukan nasionalisme Turki yang luas. Faham ini dimaksudkan agar
kaum nasionalis dapat bekerja hanya dalam lingkungan territorial Turki untuk
kebahagiaan dan kesejahteraan Turki.
3)
Westernisasi, diartikan proses
pembaratan. Untuk menjadi negara modern jawabannya adalah dengan mencontoh
barat, baiknya maupun buruknya.[27]
3.
Tokoh-Tokoh Pembaharuan
India-Pakistan
Pemikiran modern Islam di India-Pakistan merupakan
kelanjutan pemikiran Syah Waliyullah pada abad ke 18. Syah Waliyullah, menurut Muhammad Iqbal, adalah Ulama besar Islam
yang terakhir ( the last great theologian
of Islam ).[28] Ide-ide
yang dicetuskan Syah Waliyullah pada abad ke 18 diteruskan ke generasi
selanjutnya oleh anaknya, Syah Abdul
Aziz ( 1746-1823 ). Salah seorang murid Syah Abdul Aziz adalah Sayid Ahmad Syahid ( 1786-1831 ). Bersama-sama murindnya ia
mengarang buku Sirat-i Mustaqim yang
sebagian besar berisikan ide-ide pembaruan Syah Waliyullah. Gagasan dan gerakan
pembaruan Syah Waliyullah yang ditonjolkan oleh Sayid Ahmad Syahid antara lain
:
1)
Umat Islam India mundur karena
tidak lagi menganut ajaran Islam yang murni yakni telah bercampur dengan paham
dan praktek yang berasal dari Persia dan India. Lalu ia menyerukan untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits,
2)
Penentangannya terhadap taqlid,
sekalipun terhadap pendapat empat Imam Mazhab,
3)
Dikarenakan wilayah India dikuasai
oleh kolonial Inggeris ( non
Islam ) sehingga tidak bisa lagi disebut Dar al-Islam melainkan telah menjadi Dar Al-Harb. Oleh karena itu cara menghadapinya ada dua pilihan :
melawan atau hijrah. Sayid Ahmad Syahid memilih untuk melawan. Maka dibentuklah
Gerakan Mujahidin. Setelah ia wafat
tokoh-tokoh Gerakan Mujahidin penerusnya berhasil mendirikan Madrasah Darul Ulum Deoband.[29]
Tokoh pembaruan India lainnya adalah Sayyid
Ahmad Khan ( 1817-1998 ).
Gagasan pembaruannya antara lain :
1)
Islam adalah agama rasional dan
hukum alam tidak bertentangan dengan Islam. Alam yang berfungsi berdasarkan
Sunnatullah tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dikarenakan
keduanya berasal dari Allah maka Islam berarti tidak bertentangan dengan sains
modern.[30]
2)
Untuk bisa maju umat Islam pelu
mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ini hanya akan diperoleh melalui
kerjasama dengan Inggeris.[31]
3)
Pendidikan adalah satu-satunya
jalan bagi umat Islam India untuk mencapai kemajuan. Oleh karena itu ia
kemudian mendirikan Sekolah Mohammadan
Anglo Oriental College ( MAOC ) pada tahun 1875 di Aligarh yang mana tempat
berdirinya ini sekaligus menjadi nama gerakannya yaitu Gerakan Aligarh ( belakangan sekolah tersebut pada tahun 1920
berganti nama menjadi Aligarh Muslim University.[32]
Universitas inilah yang menjadi penggerak utama terwujudnya pembaruan di
kalangan umat Islam India. Gerakan Aligarh ini pulalah yang kemudian melahirkan
tokoh-tokoh pembaruan penting lainnya seperti : Sayyid Amir Ali dan Muhammad
Iqbal.
Sayyid Amir Ali ( 1849-1928 )
terkenal sebagai seorang guru besar bidang
Hukum Islam di India. Ia juga terkenal karena ia menulis buku The Spirit of Islam dan A Short History of the Saracens. Pada
tahun 1877 ia membentuk National Mihammedan Association sebagai wadah persatuan
umat Islam India Wilfred Cantwell Smith
menggolongkan Amir Ali sebagai seorang ilmuan muslim liberal yang sangat banyak
dipengaruhi oleh ide-ide barat. Karena ia memang mendapatkan pendidikan di Inggeris dan banyak
dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang didalaminya dari karya-karya sastrawan dan
filosof Eropa semacam Gibbon, Milton, Keats, Shakespeare ataupun Shelley. [33]
Gagasan-gasasan pembaruannya dapat dicermati sebagai berikut :
1)
Kemunduran umat Islam disebabkan
oleh dua hal yaitu meninggalkan ijtihad dan menganut paham jabbariyah,
sementara yang membawa kepada kemajuan adalah paham qadariyah
2)
Kaum wanita harus mendapatkan
pendidikan yang sama dengan kaum lelaki.[34]
Muhammad Iqbal ( 1876-1938
) memperoleh pendidikan Islam
tradisional serta pendidikan barat modern di Cambrigde dan Munich. Gelar Doktor
ia peroleh dari Muncih, Jerman dalam bidang tasawuf dengan mempertahankan
sebuah disertasi tentang perkembangan
metafisika di Persia.
Berbeda dengan pemikir pembaruan yang lain, Iqbal adalah penyair dan
filosof. Karyanya yang terkenal adalah
The Reconstruction of Religious Thought in Islam ( Pembangunan Kembali Alam
Pikiran Islam ). Untuk memajukan umat Islam khususnya di India, Iqbal
mengemukakan gagasan-gagasannya pembaruannya antara lain :
Umat Islam harus mengembangkan paham dinamisme Islam. Hukum Islam tidak
bersifat statis. Islam pada
hakikatnya mengajarkan dinamisme. Pintu
Ijtihad tidak pernah tertutup. Ajaran zuhud menurut Iqbal menjadi penyebab
kemunduran umat Islam karena kurang mementingkan soal-soal kemasyarakatan,[35]
Pembentukan
Negara muslim yang berdiri sendiri yang
ditegakkan atas dasar pemberlakuan
syari’ah sebagai hukum tertinggi dan penegakan prinsip persamaan dan
persaudaraan.[36]
E. Penutup
Pemikiran
Modern atau Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam merupakan kajian yang sangat
menarik bukan saja karena aspek historisnya yang menantang para pengkaji untuk
menelusurinya dengan cermat tetapi juga aspek substansinya yang bisa dijadikan
sumber inspirasi bagi pemikiran-pemikiran kontemporer.
Pemikiran
modern sebagaimana telah penulis paparkan pengertiannya pada bagian terdahulu
yakni upaya-upaya untuk memperbarui pemahaman keislaman sebagai hasil ijtihad para Ulama dan
barangkali juga pemimpim-pemimpin muslim yang bersifat relatif untuk selalu
disesuaikan dengan perkembangan terbaru yang terus berubah didasarkan atas
sikap rasional berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Paradigma inilah yang dapat
menjadi sumber inspirasi itu. Makalah ini dipresentasikan pada Mahasiswa PPs IAIN Sumatera Utara Tahun 2008.
[2]
Harun Nasution, “Agama Yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam
Endang Basri Ananda (Peny.), 70 Tahun
Prof.DR.H.M.Rasyidi ( Jakarta : Pelita, 1985 ), h. 282.
[3]
Al-Qur’an surah Ali Imran/3 : 140. Lihat
Departemen Agama R.I.,
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Edisi Revisi
( Semarang : Kumudasmoro Grafindo, 1994 ), h. 99.
[4]
Lihat David B. Guralnik ( ed.), Webster’s
New World Dictionary of The American Language ( New York : Warner Books,
1987 ), h. 387. Lihat juga Affan
Ghaffar, “Modernitas dan Islam : Dua Kutub Yang Bertentangan” dalam Ahmad
Syafi’i Ma’arif dan Said Tuhuleley, Al-Qur’an
dan Tantangan Modernitas (
Yogyakarta : SI Press, 1993 ), h. 107.
[6]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
Edisi 3, Cet.3 (Jakarta
: Balai Pustaka, 2005 ), h. 751.
[7]
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan ( Bandung : Mizan, 1989 ), h. 172.
[8]
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an,
Realitas Sosial dan Limbo Sejarah ( Bandung : Pustaka, 1985 ), h. 96.
[9]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam
: Tokoh, Gagasan dan Gerakan ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985 ), h. 12.
[10]
Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh,
Gagasan dan Gerakan ( Bandung
: Ciptapustaka Media, 2007 ), h. 34.
[11]
M.Q. Al-Baqli (ed ), Al-Mukhtar Min Tarikh Al-Jabarti ( Kairo
: Matabi Al-Sya’b, 1958 ), h. 287.
[12]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939 ( London :
Oxford university Press, 1962 ), h. 49-78..
[13]
Nasution, Pembaharuan, h. 46.
[14]
Taufik Abdullah, dkk ( Ed.), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam ( Jakarta
: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002 ), jilid IV, h. 399.
[15] Majalah
Al-Urwah Al-Wusqa, edisi 4 Rajab 1301
H/1-5-1884, h. 161, dalam Nasution, Pembaharuan,
h. 55.
[16]Hourani, Arabic Thought, h. 114-115 dan 118-119.
[17]
Nasution , Pembaharuan, h. 56.
[18]
T. Al-Tanahi (Ed.), Muzakkirat Al-Imam
Muhammad Abduh ( Kairo : Dar Al-Hilal,
t.t ), h. 29.
[19]Muhammad
Abduh, Al-Islam Din Al-Ilm wa Al-Madaniah,(
Kairo : Dar Al-Hilal, 1963 ), h. 140.
Lihat juga T. Al-Tanahi, Al-Majlis
Al-A’la Li Al-Syu’un Al Islamiyah
( Kairo : Dar Al-Manar, 1964 ), h. 137.
[20]
Lihat Muhammad Abduh, Risalah Al-Tauhid
( Kairo : Dar Al-Manar, 1366 ), h. 7.
[21]
Ibid, h. 60.
[22]
H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (
Chicago, The University of Chicago, 1947
), h. 52.
[23]
Nasution, Pembaharuan, h. 91.
[24]
Asari, Modernisasi, h. 112.
[25] Ibid, h. 113.
[26] Departemen
Agama, Ensiklopedi, h. 63.
[27]
Nasution, Pembaharuann, h. 153.
[28]
Allama Muhammad Iqbal, The Reconstruction
of Religious Thought in Islam ( New
Delhi, Kitab Bhavan, 1981), h. 97.
[29]
Abdullah, , Ensiklopedi, h. 407-408.
[30]
John L. Esposito, Islam and Politics
( Syracuse, NY : Syracuse University Press,
1991 ), h. 133.
[31] Ibid.
[32]
John L. Esposito (ed.in chief), The
Oxford Encylopedia of the Modern Islamic World ( New York, Oxford University Press, 1995 ),
jilid I, h. 73.
[33]
W.C. Smith, Islam in Modern History (
Princeton : Princeton University Press, 1977 ), h. 61-62.
[34]
Nasution, Pembaharuan, h. 188.
[35]
Abdullah, Ensiklopedi, h. 409-410.
[36]
John L. Esposito (ed.), Voices of
Resurgent Islam ( New York : Oxford University Press, 1983 ), h. 139, 179.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh,
Muhammad, Risalah Al-Tauhid, Kairo : Dar Al-Manar, 1366
_________, Al-Islam
Din Al-Ilm wa Al-Madaniah, Kairo :
Dar Al-Hilal,1963
Abdullah, Taufik, dkk ( Ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT. I chtiar Baru Van Hoeve, 2002 , jilid IV
Amin,
Ahmad Zuhr al-Islam III, Beirut
: Dar al-Kitab al-Arabi, 1953
Arkoun,
Mohammed, Rethinking Islam : Common
Question, Uncommon Answers,
United Kingdom : Westview, 1994
Asari,
Hasan, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan, Bandung
: Ciptapustaka Media, 2007
Al-Baqli,
M.Q, (ed ), Al-Mukhtar Min Tarikh Al-Jabarti,
Kairo : Matabi Al-Sya’b, 1958
Departemen
Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Edisi
Revisi, Semarang
: Kumudasmoro Grafindo, 1994
________, Ensiklopedi Islam, Jakarta
: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, jilid III.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet.3, Jakarta : Balai Pustaka, 2005
Esposito,
John L., Islam and Politics, Syracuse, NY : Syracuse University Press, 1991
________, (ed.in chief), The Oxford Encylopedia of the Modern Islamic World , New York, Oxford
University Press, 1995, jilid I
________.,
(ed.), Voices of Resurgent Islam,
New York
: Oxford University Press, 1983
Guralnik,
David B., ( ed.), Webster’s New World Dictionary of The American Language, New York : Warner Books,
1987
Ghaffar,
Affan, “Modernitas dan Islam : Dua Kutub
Yang Bertentangan” dalam Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Said Tuhuleley, Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas, Yogyakarta : SI Press, 1993
Gibb,
H.A.R, Modern Trends in Islam, Chicago, The University of Chicago,
1947
Harahap,
Syahrin, Al-Qur’an Dan Sekularisasi : Kajian Terhadap Pemikiran Thaha Husein,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994
Hourani,
Albert, Arabic Thought in the Liberal
Age, 1798-1939, London : Oxford university Press, 1962
Hudson, Marshall G.S., The Venture of Islam, Vol.3, Chicago : The University
of Chicago Press, 1974
Iqbal,
Allama Muhammad, The Reconstruction
of Religious Thought in Islam, New Delhi, Kitab Bhavan, 1981
Lapidus,
Ira M, A. History of Islamic Societies
, Cambrigde : Cambigde University
Press , 1988
Madjid, Nurcholish, Khaszanah
Intelektual Islam ( Jakarta
: Bulan Bintang, 1994
________,
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1989
Ma’arif, Ahmad Syafii, Al-Qur’an,
Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Bandung : Pustaka, 1985
Majalah
Al-Urwah Al-Wusqa, edisi 4 Rajab 1301
H/1-5-1884
Mansfield, Peter, A History of the Middle
East, Harmondsworth : Penguin Books, 1992
Nata, Abduddin, Metodologi
Studi Islam, Jakarta
: PT.RajaGrafindo Persada, 2004 , Cet. 9
Nasution,
Harun, “Agama Yang Diperlukan Manusia
Abad XXI dan Seterusnya” dalam Endang Basri Ananda (Peny.), 70 Tahun Prof.DR.H.M.Rasyidi, Jakarta
: Pelita, 1985
_______ , Pembaharuan Dalam Islam : Tokoh, Gagasan dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang,
1985
_______,
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Cet.5, Jakarta : UI-Press, 1985 , jilid I
_______, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : UI-Press, 1984 ,
jilid II
Purwadarminta,
W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta
: Balai Pustaka 1982
Rais, Amin, “Kata Pengantar”, dalam John J.
Donohue dan John L Esposito, Islam dan Pembaharuan ; Ensiklopedi Masalah-Masalah, Edisi 1, cet. 5, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995
Sa’id,
Busthami Muhammad, Gerakan Pembaharuan Agama, terj. Ibn Marjan dan Ibadurrahman, Bekasi : Wala Press, 1995
Smith,
W.C., Islam in Modern History, Princeton : Princeton University
Press, 1977.
Al-Tanahi
, T, (Ed.), Muzakkirat Al-Imam Muhammad
Abduh, Kairo : Dar Al-Hilal, t.t
Al-Tanahi,
T, Al-Majlis
Al-A’la Li Al-Syu’un Al Islamiyah,
Kairo : Dar Al-Manar, 1964
Tidak ada komentar:
Posting Komentar