Oleh Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I.
Peradaban Islam masa Bani Umayah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi
Thalib oleh kaum Khawarij yang tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah terakhir dari Khulafaurrasyidin yang melakukan
perdamaian (tahkim/arbitrase) dalam perang Shiffin dengan pihak Muawiyah yang kemudian menjadi khalifah pertama bani Umayah pada 661 M./41 H.
Peradaban Islam pada masa bani Umayah, tulis Hasan Ibrahim Hasan,
berjalan selama kurang lebih 90 tahun dengan 14 orang khalifah. Mereka
adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid,
Marwan bin Al Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Al Walid bin Muhammad,
Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Marwan, Hisyam
bin Abdul Malik, Al Walid bin Muhammad, Yazid bin Muhammad, Ibrahim bin
Muhammad dan Marwan bin Muhammad. 1
Namun dari keempat belas khalifah di atas, hanya lima saja yang
merupakan khalifah-khalifah besar menurut Harun Nasution. Mereka adalah
Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680M.), Abdul Malik bin Marwan (685-705M.),
Al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720M.), dan Hisyam
bin Abdul Malik (724-743 M.).2
A. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM
1. Dari Sistem Syura ke Sistem Kerajaan
Dari kacamata politik, terutama pada penetapan kepala pemerintahan,
Peradaban Islam bani Umayah ditandai dengan adanya perubahan mendasar
yang membedakannya dari peradaban Islam masa Rasul dan
Khulafaurrasyidin, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem syura
ke sistem kerajaan di mana sang khalifah sebelum meninggal dunia berhak
menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya kelak tanpa ada seorang
pun yang berhak menghalanginya. Jadi, meskipun sang kepala negara tetap
menggunakan istilah khalifah, namun artinya sudah berbeda dengan
istilah khalifah pada masa Khulafaurrasyidin di mana seorang khalifah
tidak memiliki otoritas penuh terhadap penentuan pemimpin pemerintahan
yang akan menggantinya.
Pewarisan kekhilafahan ini dimulai sejak khalifah bani Umayah yang
pertama yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah mengangkat anaknya
sendiri, Yazid sebagai putera mahkota berdasarkan saran yang dilontarkan
oleh Al Mughirah bin Syu’bah, Gubernur Kufah. Menurut Hasan Ibrahim
Hasan, Al Mughirah bin Syu’bah menyarankan kepada Muawiyah agar
mewariskan kekhalifahan ini ke Yazid setelah mendengar berita bahwa ia
akan dipecat dan jabatannya sebagai Gubernur pada tahun 49 H. dan
digantikan oleh Sa’id bin Al Ash yang diterima oleh Muawiyah dan
penobatan Yazid sebagai putera mahkota pun dilakukan meskipun masyarakat
di Madinah secara mayoritas tidak menyetujui hal ini.3
Menurut penulis, meskipun pewarisan kekhalifahan ini atas saran dari Al
Mughirah bin Syu’bah, namun sejatinya telah menjadi keinginan kuat
Muawiyah sebagai seorang politikus ulung. Hal ini bisa dilihat dari
begitu kuatnya ia mempertahankan keputusannya tersebut meskipun tidak
mendapat persetujuan dari mayoritas penduduk Madinah. Bahkan, Muawiyah
pun mengancam akan membunuh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan
Al Husain bin Ali sebagai para pemuka masyarakat Madinah jika mereka
menolak keputusannya.4
2. Perluasan Wilayah Kekuasaan
Pada masa bani Umayah, ekspansi Islam yang terhenti pada masa Usman dan
Ali karena konflik internal, dilanjutkan. Diawali dengan Mu’awiyah bin
Abu Sufyan (661-680 M.) sebagai khalifah pertama, di bagian Barat,
Tunisia dapat ditaklukkannya dengan mengirim Uqbah Ibn Nafi’ sebagai
panglima tentaranya. Sedangkan di bagian Timur, sebagaimana disimpulkan
oleh Badri Yatim, ia menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan
Afghanistan sampai ke Kabul.5
Pada masa Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M.), ekspansi ke Timur di
bawah pimpinan Al Hajjaj Ibn Yusuf dilanjutkan dengan menguasai Balkh,
Bukhara, Khawariz, Ferghana dan Samarqand melalui sungai Oxus yang
dilanjutkan dengan menaklukkan Balukhistan, Sind dan Punjab dan Multan.
Sedangkan ke Barat, ekspansi secara besar-besaran dilakukan oleh al
Walid Ibn Abdul Malik (705-715 M.) dengan mengirim Musa Ibn Nushair
sebagai pimpinan tentaranya yang dimulai dari Afrika Utara dengan
menaklukkan Al Jazair dan Maroko hingga hingga ke Spanyol di Barat Daya
benua Eropa dengan pengiriman Thariq bin Ziyad sebagai panglima perang
melalui selat Gibraltar (jabal Thariq) sehingga kota Toledo
sebagai ibukota Spanyol pun dapat dikuasai. Begitu juga kota Seville,
Malaga, Elvira dan Cordoba yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam.
Ekspansi Islam di Spanyol ini dilanjutkan oleh Musa Ibn Nushair yang
sebelumnya telah menguasai Al Jazair dan Maroko. 6
Sebenarnya perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa bani Umayah
telah sampai ke Perancis melalui pegunungan Piranee yang dilakukan oleh
Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi pada jaman Umar bin Abdul Aziz
(717-720 M.). Namun ekspansi ini gagal dan Al Ghafiqi pun terbunuh.
Wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa bani Umayah ini, tulis Harun,
telah membuat Islam menjadi negara yang sangat besar. Hal ini tidak
dapat dipungkiri karena wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa ini
telah meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Semenanjung
Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Daerah
yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek dan Kirgis (di Asia
Tengah).7
3. Tumbuhnya Gerakan Politik dan Keagamaan
Pada masa Utsman dan Ali pertumbuhan gerakan politik maupun keagamaan
masih terbatas pada individu-individu tertentu, pada masa bani Umayah
gerakan-gerakan ini berkembang menjadi kelompok-kelompok.
Berkenaan dengan hal ini dapat dijelaskan di sini bahwa sebelum dinasti
Umayah berdiri, yaitu pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, karena
kebijakan-kebijakannya yang banyak menguntungkan pihak keluarganya saja,
sebagian umat Islam kecewa dengan kepemimpinan Utsman. Kekecewaan ini
berakhir dengan terbunuhnya Utsman dan berpindahnya kekhalifahan ke
tangan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib pun akhirnya dibunuh oleh
para pengikutnya sendiri karena kecewa atas keputusannya menerima
arbitrase yang diajukan Muawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Kekecewaan-kekecewaan inilah yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan
pemberontakan menentang pemerintah di masa Utsman dengan munculnya
oposisi Abu Dzar Al ghiffari dan Ibn Abi Hudzaifah dan oposisi Thalhah,
Az Zubair dan Aisyah di masa Ali yang mengakibatkan terjadinya perang
Jamal dilanjutkan dengan mengkristalnya gerakan-gerakan politik dan
keagamaan pada masa bani Umayah. 8
Adapun gerakan-gerakan politik dan keagamaan yang berkembang pada masa bani Umayah adalah sebagai berikut:
- Syi’ah,
Syi’ah adalah kelompok pendukung Ali bin Thalib sebagai khalifah
keempat yang menggantikan Utsman bin Affan. Kelompok yang sejatinya
telah muncul sejak masa Rasul ini semakin menguat terutama karena pihak
Muawiyah dan para pengikutnya menolak untuk membaiat Ali sebagai
khalifah. Pihak Muawiyah sendiri menganggap Ali terlibat dalam pembunuh
Utsman yang membuatnya berkeras untuk memeranginya jika tidak segera
menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman. Akibatnya perang Shiffin pun
terjadi antara Syi’ah yang dipimpin oleh Ali dan pihak Muawiyah pada 37
H. yang diakhiri dengan penobatan Muawiyah sebagai khalifah pengganti
Ali setelah diadakan tahkim di Daumatul Jandal di mana pada tahkim
tersebut Muawiyah mengirim Amr bin Ash, seorang ahli politik Arab dan
Ali mengutus Abu Musa yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam tahkim
tersebut, baik Abu Musa maupun Amr bin Ash sepakat untuk mengganti
khalifah Ali, namun mereka berbeda tentang siapa penggantinya. Abu Musa
memilih Abdullah bin Umar sedangkan Amr bin Ash belum menyebutkan
siapa-siapa dan dengan kecerdikannya ia pun mengukuhkan Muawiyah sebagai
pengganti Ali.9
Pada masa bani Umayah, kaum Syi’ah meningkat rasa kebenciannya kepada
pemerintahan bani Umayah, sejak masa Muawiyah yang telah memerintahkan
Al Mughirah bin Syu’bah sebagai Gubernur Kufah untuk mengutuk Ali pada
setiap khutbahnya, pemberontakan-pemberontakan, hingga masa-masa
kehancuran bani Umayah.
2. Khawarij
Khawarij adalah kelompok penentang Ali yang sebelumnya menjadi
pengikutnya yang setia. Mereka memisahkan diri dan keluar dari barisan
pendukung Ali karena tidak setuju dengan kebijakan Ali yang bersedia
melakukan tahkim dengan pihak Muawiyah yang mereka anggap pembangkang
dan harus dibunuh. Kelompok ini dianggap musuh oleh kalangan Syi’ah
maupun Muawiyah karena telah menganggap keduanya telah keluar dari Islam
dan halal darahnya. Sebaliknya kaum Khawarij, sebagaimana dijelaskan
oleh Hasan Ibrahim Hasan, lebih membenci kelompok Muawiyah dari kelompok
Ali karena menurut keyakinan mereka, Muawiyah adalah orang yang
menghambur-hamburkan harta kekayaan kaum muslimin di samping statusnya
sebagai khalifah yang bukan berdasarkan konsensus dan kerelaan kaum
muslimin.10
3. Kelompok Ibn Zubair
Sebelumnya telah disebutkan bahwa kelompok ini telah muncul pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dan pada masa bani Umayah, meskipun
selama jangka waktu yang cukup lama dalam pemerintahan Muawiyah nampak
hilang dari peredaran, setelah penobatan Yazid bin Muawiyah sebagai
putera mahkota, Abdullah bin Zubair pun bangkit kembali dan menentang
langkah yang ditempuh Muawiyah dan berusaha untuk menggagalkan ketetapan
penobatan tersebut yang didukung sebagian kaum muslimin. Menurut Hasan
Ibrahim Hasan, dukungan kaum muslimin kepada Abdullah bin Zubair ini
disebabkan oleh empat faktor, yaitu perpindahan kekhilafahan dari sistem
syura ke sistem pewarisan, terbunuhnya Husein bin Ali, kejamnya para
pejabat pemerintahan terhadap penduduk wilayah pemerintahan bani Umayah
dan kesalehan serta ketakwaan Abdullah bin Zubair dalam beragama.11
Abdullah bin Zubair pun akhirnya menetapkan dirinya sebagai khalifah
dan menjadikan Hijaz sebagai pusat pemerintahannya. Namun, gerakan
politik yang dilakukan kelompok Ibn Zubair ini berhasil ditumpas dan ia
pun mati terbunuh dalam suatu serangan pada masa Abdul Malik bin Marwan
pada 73 H.
4. Murjiah
Murjiah adalah suatu kelompok yang lahir di Damaskus, ibukota
pemerintahan bani Umayah. Mereka adalah kelompok yang menangguhkan
hukuman atas dosa yang dilakukan oleh umat Islam. Berbanding terbalik
dari pandangan Khawarij, kelompok ini tidak mengkafirkan siapa pun dan
mereka menyerahkan ketentuan hukum yang bersangkutan kepada Allah Swt.
Secara politis, mereka adalah kelompok yang menerima pemerintahan bani
Umayah. Oleh karena itu, menurut Hasan Ibrahim Hasan, cahaya kelompok
ini pun redup bersamaan dengan runtuhnya kekhilafahan bani Umayah.12
5. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah suatu kelompok keagamaan yang banyak menggunakan
akal. Pada perkembangannya kemudian, kelompok ini juga terlibat dalam
pembicaraan tentang politik. Dalam bidang terakhir ini, kelompok ini
nampak sebagai pendukung Ali bin Thalib (Syi’ah) yang mereka sebut
sebagai Imam Pertama Mereka. Tapi sebenarnya antara Syi’ah dan
Mu’tazilah terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, terutama
terutama yang berkaitan dengan teori syi’ah yang menyatakan bahwa
seorang Imam itu terpelihara dari dosa.
4. Diwan
Perkataan diwan, sebagaimana ditulis Ibn Khaldun, berasal dari bahasa Persia “diwanah”
yang berarti catatan atau daftar. Nama ini kemudian berkembang menjadi
untuk digunakan sebagai tempat di mana diwan disimpan. Agar lebih
praktis, nama ini disingkat menjadi diwan.13
Diwan ini, di kalangan orang Arab didirikan pertama kali didirikan oleh
Umar bin Khattab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada masa bani Umayah, menurut Hasan Ibrahim Hasan, diwan yang
didirikan terbatas pada empat diwan penting, yaitu Diwan Pajak, Diwan
Persuratan, Diwan Penerimaan dan Diwan Stempel di samping ada juga diwan
lain yang posisinya berada di bawah keempat di atas seperti diwan yang
mengatur keperluan polisi dan tentara.14
5. Barid
Karena luasnya wilayah kekuasaan Islam sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, pada masa bani Umayah sejak khalifah Mu’awiyah telah
dibentuk suatu badan atau lembaga yang pada masa sekarang dikenal dengan
nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat maupun
dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam
pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan Barid yang telah
dijalankan oleh para kaisar Persia dan Romawi pada waktu itu. Oleh
karena itu, mengenai sebutan Barid ini ada yang mengatakan bahwa ia
berasal dari bahasa Persia, baridah yang berarti yang dipotong
ekornya, karena orang-orang Persia biasa memotong ekor kuda yang
dipergunakan sebagai barid agar bisa dibedakan dengan hewan tunggangan
lainnya. Dalam bahasa Arab sendiri, barid mengandung arti jarak yang ditempuh sejauh 12 mil yang kemudian berkembang dan dipergunakan untuk nama utusan.15
Abdul Malik bin Marwan, khalifah ketiga bani Umayah (685-705 M.),
karena pentingnya Barid ini dalam jalannya roda pemerintahan, berpesan
agar tidak menahan petugas Barid yang datang untuk menemuinya baik siang
maupun malam, karena jika hal itu terjadi, berarti pekerjaan suatu
wilayah telah hancur selama satu tahun lamanya.16
5. Kepolisian
Pada masa Bani umayah kepolisian mengalami perkembangan. Berbeda dari
masa-masa sebelumnya, pada masa ini terutama pada pemerintahan Hisyam
bin Abdul Malik (102-125H.) ketika dimasukkan seorang kepala yang
berwewenang meneliti tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai
penengah antara wewenang kepala polisi dan komandan militer.17
Pada masa ini markas kepolisian bertambah menjadi dua setelah Shalih bin Ali Al Abbasi mendirikan Darussyurthah Al ‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di Al Mu’askar pada 132 H. setelah sebelumnya telah didirikan pula Darussyurthah As Sufla, yang berlokasi di Fusthat.18
6. Angkatan Perang
Dalam masalah angkatan perang, bani Umayah melanjutkan apa yang telah
dilakukan Umar bin Khattab yang telah membentuk Diwan Tentara yang
bertugas megidentifikasi nama-nama, sifat-sifat, gaji dan pekerjaan
mereka dan mengembangkannya dengan mengadopsi sistem Ta’biah dari
orang-orang Persia, yaitu membagi para tentara menjadi lima kesatuan.
Lima kesatuan ini, sebagaimana diuraikan Hasan Ibrahim Hasan terdiri
dari Jantung Tentara karena berada di bagian tengah kesatuan, Kesatuan
Kanan karena di sebelah kanan, Kesatuan Kiri karena posisinya di
sebelah kiri, Kesatuan Pendahuluan, yaitu para penunggang kuda yang
berada di depan dan Kesatuan Pengiring yang berada di belakang kesatuan.19
Salah satu perkembangan dalam bidang angkatan perang ini adalah
dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun 54 H. setelah serangan yang
dilancarkan oleh tentara Romawi yang menyebabkan banyak kaum muslimin
yang gugur. Berkenaan dengan angkatan laut Islam ini, Hasan Ibrahim
Hasan menyatakan bahwa bangsa Arab dalam cara berperang di laut pada
mulanya meniru bangsa Byzantium. Namun, pada perkembangannya kemudian
merekalah yang menjadi guru bangsa Eropa dalam bidang ini. Kenyataan ini
seperti ditunjukkan dalam istilah-istilah kelautan yang berasal dari
bahasa Arab dan masih dipergunakan hingga sekarang.20
7. Peradilan
Pada masa bani Umayah, sebagaimana sebelumnya, para hakim yang diangkat
adalah orang-orang pilihan yang sangat takut kepada Allah Swt dan adil
dalam menetapkan suatu keputusan. Perkembangan yang terjadi adalah bahwa
pada masa ini keputusan-keputusan hakim sudah mulai dicatat. Hasan
Ibrahim Hasan mengatakan bahwa Salim bin Anas adalah hakim pertama pada
masa bani Umayah yang melakukan pencatatan ketetapan hukum.21
Selain itu, peradilan pada masa bani Umayah dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Al Qadla’, yaitu peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah, yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim,
yaitu lembaga tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan
hakim-hakim. Yang terakhir ini juga dipergunakan untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang belum tuntaspada pengadilan Al Qadla’ dan Al Hisbah (pengajuan
banding). Pengadilan pada Al Mazhalim ini memiliki tingkat kepentingan
yang sangat tinggi sehingga, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan,
setiap persidangan pada Al Mazhalim harus dihadiri oleh lima kelompok
persidangan, mereka adalah para pembela dan pembantunya, para hakim
penasehat, para ahli fikih, para sekretaris dan para saksi.22
B. Ekonomi Islam
Tidak banyak dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam peradaban
Islam khususnya dalam bidang ekonomi Islam pada masa bani Umayah. Namun,
jika dibandingkan dengan ekonomi pada masa Khulafaurrasyidin, pada masa
ini terjadi peningkatan pemasukan keuangan seiring dengan meluasnya
ekspansi Islam di berbagai belahan dunia pada waktu itu.
Baitul Mal yang telah didirikan pada masa Umar bin Khattab, pada masa
bani Umayah juga merupakan lembaga penting yang menentukan keuangan
pemerintahan, sehingga keberadaannya menjadi kebutuhan yang sangat
penting, terutama setelah mencapai tingkat ekonomi yang lebih maju
dibanding dengan masa sebelumnya.
Dari bidang pajak, terutama sebelum masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz, pemasukan Baitul Mal yang diperoleh mencapai 186.000.000 dirham.
Jumlah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan berasal dari Irak sebanyak
130.000.000 dirham, dari Mesir 36.000.000 dirham dan Syam 20.000.000
dirham.23
Jika dibandingkan dengan hasil pajak pada jaman khulafaurrasyidin, pada
masa bani Umayah lebih tinggi yang disebabkan terutama oleh kebijakan
pemerintah yang menaikkan tarif pajak. Berkenaan dengan hal ini, Hasan
Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Muawiyah menyuruh Wardan, Gubernurnya di
Mesir untuk menaikkan pajak bagi setiap orang Qibthi sebesar satu qirat
dan pada masa Abdul Malik bin Marwan pajak bagi setiap individu ini
dinaikkan tiga kali lipat menjadi 3 dinar.24
Pada masa Umar bin Abdul Aziz, tarif pajak yang telah dinaikkan sejak
masa Muawiyah diturunkan kembali dan setiap individu hanya harus
membayar lebih kurang 14 Qirat saja sebagaimana yang ditetapkan oleh
Umar bin Khattab.25
C. Ilmu Pengetahuan Islam
Dengan kacamata filsafat ilmu, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada
masa bani Umayah ini sudah lebih ilmiah dibandingkan dengan masa
sebelumnya dengan dituliskannya suatu ilmu berdasarkan sistematika dan
metodologinya masing-masing. Kemajuan yang dicapai pada masa bani Umayah
ini terkait erat dengan perkembangan yang terjadi di mana terjadi
interaksi antara peradaban Islam dengan peradaban lainnya yang telah
hadir sebelum kehadiran Islam di daerah kekuasaannya seperti peradaban
Yunani di Mesir dan lain-lain.
Interaksi dengan peradaban Yunani nampak pada adanya usaha penerjemahan
buku-buku berbahasa Yunani oleh sarjana-sarjana muslim atas perintah
sang Khalifah. Musyrifah Sunanto menjelaskan bahwa Khalid bin Yazid,
cucu Muawiyah pada masa kekhilafahannya, karena tertarik dengan ilmu
kimia dan kedokteran menyediakan sejumlah dana untuk penerjemahan
buku-buku tersebut kedalam bahasa Arab.26
Sedangkan dengan peradaban Kristen, interaksi ini terjadi ketika
ilmuwan-ilmuwan Kristen di antara mereka ada yang menjadi pejabat di
pemerintahan Islam seperti Yahya ad Dimasyqi pada masa kekhilafahan
Abdul Malik bin Marwan yang teguh mempertahankan agamanya. Sebagaimana
ditulis Musyrifah, keteguhan sikap ini mendorong umat Islam untuk
mempelajari logika agar dapat mempertahankan aqidah Islam sekaligus
mematahkan hujjah mereka.27
Selain karena interaksi di atas, keilmuan Islam pada masa ini mengalami
kemajuan karena luasnya daerah kekuasaan Islam di mana umat Islam
banyak yang berbahasa selain Arab dan tidak memahaminya. Ditemukannya
titik dalam bahasa Arab pada masa Hajjaj Ibn Yusuf Ats Tsaqafi oleh Abul
Aswad Ad Duwali adalah contoh yang dapat dikemukan pada kasus ini.
Perkembangan bahasa Arab selanjutnya adalah pada aspek tata bahasa Arab
yang terjadi pada masa khalifah Harun Ar Rasyid oleh Al Khalil Ibn
Ahmad yang mengarang kitab Al ‘Ain sebagai kamus bahasa Arab
pertama dan Sibawaih. Tokoh terakhir ini menulis bukunya yang sangat
terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Sibawaih, suatu
karya yang sangat baik sehingga menjadi acuan bagi para ahli bahasa Arab
yang sesudahnya seperti Al Kisa’I, Al ‘Ashmu’I, Al Akhfas Ash-shagir
dan Az Zujazi.
Selain karena perluasan wilayah kekuasaan Islam, kefanatikan bani
Umayah terhadap bangsa Arab, juga menjadi faktor kemajuan bahasa Arab,
terutama dalam bidang sya’ir.. Oleh karena itu sya’ir-sya’ir Jahili pada
masa ini pun tumbuh dengan pesat, sehingga muncullah para ahli dalam
bidang ini, seperti Umar bin Abi Rabi’ah (w.719 M.), Jamil Al ‘Udhri (w.
701 M.), Qays bin Al Mulawwah (w. 699 M.). Al Farazdaq (w. 732 M.),
Jarir (w. 792 M.) dan Al Akhtal (w. 710 M.).28
Keilmuan Islam pada masa bani Umayah juga terjadi secara alami karena
perkembangan jaman di mana ilmu-ilmu yang telah dipelajari berdasarkan
Al-Quran dan Hadis perlu dibukukan sehingga memudahkan umat Islam untuk
mempelajari agamanya melalui buku-buku tersebut. Ilmu-ilmu agama tumbuh
berkembang, seperti ilmu Tafsir, ilmu Hadits, Ilmu Qiraat, Ilmu Fiqh,
Ilmu Kalam dan sebagainya, sehingga muncullah para ahli di bidang ini,
seperti Ibn Jarir At-Thabari, Hasan Al Bahshri, Ibn Syihab Az Zuhri dan
Washil bin ‘Atha’ dengan tulisan-tulisan mereka. Begitu juga dengan ilmu
sejarah yang berkembang dengan munculnya para penulis sejarah seperti
Musa bin ‘Uqbah (w.131 H.) , Ibn Syihab Az Zuhri (w. 124 H.) dan Ibn
Ishaq (w.151 H.), meskipun menurut Hasan Ibrahim Hasan kegiatan
penulisan sejarah ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah karena
para khalifah bani Umayah lebih menyukai membaca Al-Quran daripada
membaca sejarah.29
Faktor
ekonomi juga mempengaruhi perkembangan ilmu Islam pada masa ini.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa wilayah kekuasaan pada masa
ini sudah sangat luas sehingga tingkat perekonomian Islam pun
meningkat. Ketika perekonomian meningkat timbullah kebutuhan akan seni
yang diwujudkan dalam usaha menghiasi pembangunan kota-kota berikut
gedung-gedungnya, baik gedung pemerintahan maupun masjid di mana setiap
pembangunan masjid maupun gedung pemerintahan dengan seni kaligrafi dan
arsitektur.
Pada masa bani Umayah ini
telah banyak tulisan-tulisan kaligrafi yang menghiasi gedung-gedung
dengan arsitekturnya yang indah, seperti yang terdapat di Qashr ‘Umrah,
yaitu suatu istana kecil tempat berburu yang terletak sekitar 50 mil
dari kota Amman yang dibangun pada masa Al Walid bin Abdul Malik.30
1 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 1.
3 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 12.
4 Ibid., h. 14.
5 Badri Yatim, Op. Cit., h. 43.
6 Harun Nasution, Op. Cit., h. 62.
8 Lihat cerita oposisi Abu Dzar dan Ibn Abi Hudzaifah selengkapnya dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam karangan Hasan Ibrahim Hasan, jilid 2. h. 153-158.
9 Lihat kisah ini selengkapnya dalam buku Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 175-180.
10 Ibid., h. 190.
11 Ibid., h.247
12 Ibid., jilid 2, h. .259.
14 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 311-312.
15 Ibid., h. 328.
16 Ibid., h. 329.
17 Ibid., h. 330.
18 Ibid., h. 330.
19 Ibid., h. 364.
20 Ibid., h. 369.
21 Ibid., h. 377.
22 Ibid., h. 382.
23 Ibid., h. 341.
24 Ibid., h. 351.
25 Ibid., h. 353.
26 Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 39.
27 Ibid., h. 40.
29 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 418.
30 Ibid., h. 421.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar