Adalah
barang tentu menjadi pertanyaan kembali, mengingat pemikiran
kontemporer Islam yang bersifat islami itu dihubungkan dengan modern
yang identik dengan Barat. Pemikiran merupakan wacana yang berkembang
secara dialektik, yakni dalam periodisasi waktu, atau pada tempat atau
kawasan tertentu. Setidaknya kita menyegarkan kembali akan pemahaman
yang dimaksud dengan modern, dan juga yang dimaksud dengan islami.
Pembahasan ini meliputi dua arus besar pemikiran yang selalu dihadapkan
sebagai dua buah ideologi besar, yakni Islam dan Barat.
Dalam wacana pemikiran modern,
antara Islam dan Barat, titik utama kajiannya terletak pada tataran
epistemologis, yakni sumber pengetahuan. Corak pemikiran Islam, sesuai
dengan sumber pengetahuannya selalu mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah
yang menjadi ciri kahasnya. Keduanya sebagai epistemologi merupakan
pembeda dengan corak pemikiran lainnya. Bergitu pun berbagai kajian yang
notabene melingkupi berbagai keilmuan Islam. Maka, berbagai kerangka
pemikiran yang mengabsenkan Al Qur’an dan Sunnah -yang menjadi khasnya-
barang tentu tidak dikatakan sebagai pemikiran Islam. Adapun pada
tataran aksiologis, pemikiran Islam ataupun Barat akan membias dan
hilang corak khasnya karena disesuaikan dengan world view yang ada.
Renessains yang terjadi di Eropa
pada abad-16, merupakan dasar tombak bagi Barat dalam kemajuannya,
terutama dalam lini pemikiran. Kebebasan akal yang menjadi prioritas
diusung oleh beberapa tokoh seperti Rene Descartes, August Comte,
Imanuel Kant, dan Fancis Bacon, mampu menjelma seketika pemikirannya
sebagai sebuah hegemoni pemikiran yang sangat terasa gaungnya.
Renessains menjadikan Eropa bergerak pesat meninggalkan peradaban yang
lainnya, khususnya Islam. Inilah dimana Barat memulai kemodernan yang
menjadi pengaruh di seluruh dunia, sehingga tak pelak bahwa modern kerap
identik dengan Barat. Basis epistemologis yang dipakai dalam pemikiran
Barat, setelah dipaparkan di atas, menjadi jelas akan kebebasan akal
yang dipakai sebagai pijakan sumber pengetahuan.
Yang kemudian menjadi
pertanyaan, dengan tidak menafikan fakta sejarah, akan banyaknya pemikir
Islam yang menggunakan metodologi Barat sebagai kacamata dalam melihat
Islam. begitupun para pemikir Barat yang menggunakan kacamata Islam
dalam melihat Barat. Seperti yang dilakukan oleh beberapa pemikir Islam
yang pernah mengenyam pendidikan di Barat, seperti Seyyed Hosein Nasr,
Ali Syariati, Imam Khomeini, dsb, membuat kita bertanya kembali sebagai
umat Islam, apakah modernitas merupakan sesuatu yang ‘haram’ karena
ke-Baratannya, dan apakah modern hanya melulu dikalaim sebagai milik
Barat?
Kembali pada pengartian modern
dan islami yang dikaitkan pada pemikiran kontemporer Islam. Modern
secara bahasa berarti kekinian. Terminologi modern juga dikaitkan dengan
istilah kontemporer. Keduanya sama-sama memilik arti kekinian, ini akan
menjadi pembahasan kita kemudian. Namun pada wacana ini yang dimaksud
adalah modern yang identik dengan Barat, istilah yang timbul setelah
rennesains di Eropa. Pengaruh pemikiran Barat (modern) sangat besar
dalam pemikiran Islam, sehingga kerap metodologi menjadi perdebatan.
Penggunaan istilah modern atau islami pada para pemikir Islam keduanya
mempunyai persinggungan yang kemudian harus disikapi.
Tidak bisa dielakkan bahwa pengaruh modernisasi yang terjadi pada tubuh Islam merupakan pengaruh Barat.
Hal tersebut dapat dilihat pada
pembaharu-pembaharu Islam awal seperti misalnya Khairuddin dan
Thahtahawi yang bersinggungan langsung dengan dunia Eropa. Seperti
dikatakan Albert Hourani, mereka lebih melihat ide-ide pencerahan
tersebut sebagai penemuan baru yang bisa diadopsi ke dalam Islam.
Sebelumnya, pemikiran Islam pramodern telah melewati masa dimana corak
pemikiran sekuler berkembang.
Secara umum keadaan tersebut
diakibatkan karena pemikiran Islam yang sempat stagnan. khususnya
permasalahan-permasalahan baru yang tidak mampu lagi di selesaikan oleh
syari’ah menjadi batu sandungan yang cukup signifikan. Syari’ah tidak
lagi mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah.
Pemikiran islam pada awal kali berkembang merupakan pemikiran yang
ortodoks. Pemikiran ini mengacu pada era khalifah hingga dinasti-dinasti
Islam yang melakukan perluasan daerah Islam di kawasan Arab. Terakhir
perjalanan Islam ortodoks yakni kejayaan imperium Usmani berdiri. Atas
dasar itulah mengapa kemudian Islam memasuki masa modern, yakni
pengadopsian kemodernan yang dibawa oleh Barat.
Ada pun islami, merupakan sikap
yang didasari pada ajaran islam. Disikapi dan diaktualisasikan sesuai
ajaran Islam. Semisal pada bentuk gaya hidup yang dilakukan berdasarkan
ajaran Islam, maka gaya hidup tersebut akan disebut islami. Begitu pula
dalam berpakaian, cara berpakaian tersebut kemudian akan dikatakan
islami. Berkenaan dengan pemikiran, maka pemikiran tersebut tidak
terlepas seputar berbagai bidang kajian Islam. Pemikiran kontemporer
Islam bersifat islami dan bukan modern lebih dikarenakan penafsiran
ulang yang dilakukan pada berbagai bidang kajian Islam. Seperti
penafsiran ulang terhadap Al Qur’an, misalnya. Begitu juga Juga
pengkonstrksian ulang pemikiran Islam yang dilakukan. Semuanya
menjadikan pemikiran kontemporer Islam disebut islami, dan tidak modern.
Pembaharuan dalam Islam bukanlah
sesuatu yang menyebabkan kemudian, para pemikir Islam disebut modern,
terlepas dari rennesains yang terjadi di Eropa. Dalam Islam pembaharuan
akan tetap selalu ada, mengingat Islam itu selalu sesuai pada setiap
zaman dan tempat (shahih fi kulli zaman wa makan). Dengan menerima
pembaharuan yang datang demi merespon tuntutan zaman bukanlah sesuatu
yang menyebabkan Islam kehilangan keotentikannya. Nahdhah yang terjadi
di Mesir sejatinya merupakan konstruksi atas pelbagai pemikiran Islam
yang dianggap sudah tidak relevan. Adapun metodologi Barat yang datang
dan diadopsi tetap menjadi barang baru dalam Islam –tidak dapat
dinafikan-, namun kekhasan Islam tetap tidak ditinggalkan. Maka
metodologi barat yang dianggap liberal waktu itu direkonstruksi kembali
dengan tidak meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah.
Pemikiran kontemporer pra-60 dan
pasca-60 juga kembali menjadi pertanyaan apa yang menandakan zaman itu
disebut dengan kontemporer. Sebelum menjawab pertanyaan ini kiranya
harus dijelaskan terlebih dahulu modern dan kontemporer berdasarkan
terminologinya. Keduanya sama menurut terminologi, namun tidak secara
maknanya. Menurut Seyyed Hosein Nasr, ia membedakan antara modern dengan
kontemporer. Modern lebih bersifat pada arus pemikiran yang tentunya
tidak terkait dengan penandaan waktu, sedangkan kontemporer jelas
mengarah pada periodisasi zaman yang bersifat temporal.
Modern merupakan corak pemikiran
yang tentu tidak berdasarkan periodisasi waktu tertentu. Maka setiap
corak pemikiran dapat dikatakan sebagai modern. Ciri akan rasionalitas
dan humanisme tidak diklaim pada periodisasi waktu tertentu. Sejak zaman
Yunani, mereka tentu akan mengaku sebagai masyarakat yang telah
rasional dalam berpikir. Hanya saja rasionalitas yang mereka katakan
berdasarkan pemahaman rasionalitas yang mereka pahami. Meskipun pada
masanya masih akrab pada pengetahuan yang bersifat mitos, bukan logos,
namun mereka telah menganggap pengetahuan telah cukup rasional pada
zamannya. Maka modern bukan suatu bentuk pemikiran yang dibatasi oleh
waktu melainkan suatu gerak pemikiran yang beyond time and space. Lain
halnya ketika modern dipahami sebagai pembaharuan dalam tubuh Islam yang
terjadi saat persentuhan Islam dengan Barat, sehingga merubah pemikiran
Islam menjadi ke-Barat-an. Maka modern -yang dimaksud tersebut- adalah
corak pemikiran yang lahir dari rennesains di Eropa .
Adapun kontemporer dibatasi pada
periodisasi waktu. Disebut sebagai kontemporer, sesuai kebahasaannya,
berarti kekinian, yakni zaman yang masih baru atau zaman yang belum lama
berlalu. Istilah kontemporer dipahami sebagai zaman peralihan dari
zaman sebelumnya, yakni klasik. Maka klasik dipahami sebagai masa yang
telah lalu atau masa dimana belum tersentuh oleh pembaharuan. Oleh sebab
itu, masa yang disebut sebagai kontemporer dimulai pasca-60. Dengan
mengacu kembali pada sejarah pemikiran Islam, dimana persinggungan awal
kali Islam dengan Barat di Mesir yang kemudian menjadi batas antara
klasik dan kontemporer.
Dalam konteks pemikiran
kontemporer, corak pemikiran ini dimulai pasca-60. sedangkan pra-60
disebut kemudian sebagai pemikiran klasik. Pemikiran klasik, dalam studi
sejarah dapat dipetakan sebagai perode yang masih sangat menutup diri
dari adanya pengaruh luar yang bersifat pembaharuan. Dalam Islam, masa
klasik ditandai dengan masa yang identik menjaga tradisi sunnah nabi dan
menghindarkannya dari pemikiran-pemikiran baru yang datang. Dengan
perangkat qiyas mereka menyikapi setiap permasalahan baru yang datang
dikemudian hari.
Melalui sejarah, Pra-60 ditandai
malalui gerakan nahdhah (kebangkitan), yakni penentangan terhadap
Barat. Gerakan ini sudah dimulai sejak Eropa mendarat di Mesir dan
menggulingkan kekuasaan imperium ‘Usmani Dimulai dari politik Islamnya
Tahtahawi, kemudian beralih menjadi Pan Islamenya Jamaluddin Al Afgahani
dan terus dikembangkan melalui jurnal Urwah Al Wutsqa yang dilanjutkan
oleh muridnya Afghani, yakni ‘Abduh dan Rasyid Ridha. Semua itu
dilakukan sebagai reaksi terhadap Barat yang dianggap membawa
pembaharuan, terutama pemikiran yang dianggap dapat merusak keotentikan
Islam. Meskipun penentangan yang mereka lakukan berbeda antara satu
dengan yang lain, seperti Tahthawi dengan politiknya, Afghani dengan
orasi-orasinya, dan ‘Abduh yang melalui jalur pendidikan, namun
mengusung tujuan yang sama akan penentangan terhadap Barat (Eropa).
Sebenarnya penekanan masa pra-60 lebih disoroti pada Maududi yang
menyongsong dan menandai masa pra-60
Sedangkan corak pemikiran yang
terjadi pasca-60 telah merubah haluannya. Tidak lagi seperti yang
dilakukan oleh pemikir Islam awal saat bersentuhan dengan Eropa. Corak
pemikiran kontemporer lebih pada pengkonstruksian dalam berbagai bidang
keislaman. Pemikiran kontemporer yang merupakan warisan kolonialisme
pada dasarnya memang telah membawa perubahan yang signifikan. Tidak
hanya militerisasi yang diusung, melainkan juga pencerahan. Pencerahan
yang berdampak pada dunia muslim mengejawantah dalam berbagai pemikiran
para pemikir muslim kemudian.
Pasca-60 dimulai oleh Sayyid
Qutub di Mesir. Ia mengusung upaya kebangkitan, dan juga universalitas
Islam. Ia juga mengkonstruksi kembali corak pemikiran kalam Qodariyah
yang sangat bersebrangan dengan kepercaayaannya sebagai seorang
Asy’ariyyah. Setelah itu muncul Imam khomeini dengan Wilayah Al
Faqihnya, dan pemikirannya yang berkenaan denan konsep Imamah.
Lalu dilanjutkan kemudian oleh
Ali Syari’ati yang bermain dalam ranah politik, yang mengusung Islam
sebagai ideologi negara. Filsafat Barat yang ia geluti, dan yang
terakhir ia berusaha mensintesakan pemikiran Sunni dan Syi’ah. Begitu
pula Fazlur Rahman yang pemikirannya masih hanat diperbincangkan. Ia
banyak disebut oleh kaum cendekia sebagai neomodernis. Ia berkonsentrasi
pada Islam dan kesejarahan. Lalu permasalahan yang berkenaan dengan
Hermeneutika Al Qur’an dan juga pedagogi Islam.
Sederet tokoh kontemporer
tersebut membuat kesimpulan akan tradisi yang berbeda dibanding pada
masa pra-60. Mereka secara berkala intens dalam mengkonstruksi pemikiran
Islam dalam berbagai isu yang lebih relevan.
Corak pemikiran yang kentara
antara pemikiran Sunni dan Syiah, dalam hal ini lebih pada bidang kajian
Islam itu sendiri. Secara sederhana, kecenderungan antara keduanya
sudah dapat dipetakan. Seperti Sunni yang lebih pada tekstualis dalam
menyikapi segala permasalahan agama dengan menafikan rasionalitas.
Mereka meyakini akan Al-Qur’an dan Sunnah yang ditinggalkan Nabi sebagai
pedoman hidup dan menerima apa adanya tanpa harus dilakukan perubahan
yang bagi mereka hanya akan menghilangkan makna agama yang sebenarnya.
Sedangkan Syi’ah yang mendasarkan agama pada rasionalitas lebih mengacu
pada nalar yang dimiliki manusia, yang pasti tidak meninggalkan Al
Qur’an dan Sunnah sebagai dasar hukum. Kaum Syi’ah meyakini bahwa rasio
–dalam arti yang sebenarnya- mampu membimbing manusia tanpa adanya
doktrin sebelumnya.
Secara umum, para pemikir
kontemporer Islam yang dilakukan oleh pemikir Sunni lebih mengena pada
pemurnian aqidah, yakni pengembalian keotentikan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi. Arus modernisasi yang diadopsi ke tubuh Islam diyakini telah
menghilangkan keotentikan Islam itu sendiri. Meskipun mereka menjadi
wacana kekinian, tetapi pemikiran mereka tetap menentang pembaharuan
yang ada dalam tubuh Islam seperti yang dilakukan pada masa
prakontemporer. Pengklaiman bid’ah bagi segala yang dianggap melenceng
dari agama.
Apa yang dilakukan oleh Al
Ghazali terhadap penggunaan rasionalitas dalam berbagai bidang keilmuan
telah menyebabkan keterpurukan di sunia sunni hampir satu abad lamanya
-800 tahun-. Penyeranganya akan filsafat sebagai bidang keilmuan
rasional yang dapat menggoyangkan aqidah seseorang telah mematikan
perkembangan ilmu pengetahuan yang ada dalam dunia Sunni. Meskipun
dikemudian hari Ibn Rusyd berusaha mengembalikan filsafat kembali ke
permukaan, namun sepertinya tidak membawa pengaruh yang signifikan dalam
dunia Sunni.
Selain itu, pemikiran yang
banyak menjadi perdebatan adalah seputar khilafah. keyakinan akan
masalah kepemimpinan yang dianggap telah diserahkan penuh pada manusia,
menjadi keidentikan dalam pemikiran Sunni. Di sini jelas terlihat
penafian sisi sakralitas akan kepemimpinan. Bidang tersebut dalam agama
hanya dipertegas pada tataran praksis. Begitu pula dalam beberapa
masalah lainnya yang berhubungan langsung dengan masalah sosial,
sakralitanya kerap dinafikan.
Sedangkan
dalam Syi’ah yang lebih mengandalkan rasio sebagai anugerah yang paling
besar kepada manusia, pada corak pemikirannya lebih mengarah pada
pendekonstruksian agama. Pendekonstruksian di sini bukan sekedar
melakukan perubahan, melainkan demi menjawab tantangan zaman. Agama yang
diyakini shahih fi kulli zaman wal makan menjadi pijakan dasar akan
pengkajian Islam yang kontinuitas, yakni disesuaikan dengan tuntutan
zaman.
Hukum normatif yang tidak sesuai
dengan zamannya dikonstruksi kembali. Setidaknya ini dilakukan oleh
orang yang capable pada bidangnya, yakni legislatif. Legislatif yang
berada dalam ranah pemerintahan, yang melakukan dekonstruksi dalam ranah
keagamaan, maka menjadikan pemerintahan bersifat Ilahi. Itulah mengapa
keyakinan mereka akan masalah kepemimpinan yang berstatus Ilahi
ditekankan –diperjelas-. Lagi-lagi tidak melenceng dari sejarah yang ada
bahwa kepemimpinan pascaNabi telah diwarisi pada yang kemudian diakui
sebagai Imam-imam dalam Syi’ah.
Begitupula dalam perkembangan
pemikiran yang bertolak belakang dari dunia Sunni. Saat penyerangan Al
Ghazali terhadap filsafat, sehingga menyebabkan kejumudan di dunia
Sunni, maka tidak di dunia Syi’ah. Perkembangan filsafat dan ilmu-ilmu
rasional lainnya berkembang pesat. Begitupula tasawuf yang tidak lepas
dari sisi rasinalitasnya sehingga muncul kemudian apa yang disebut
sebagai tasawaf falsafi, yang berbeda dari tasawuf sunnni.
Hal ini dapat dibuktikan ketika
Shadr Muta’allihin mensintesakan tradisi filsafat yang ada sebelumnya
menjadi sebuah karya monumental Asfar Al ‘Arba’ah, yakni penyatuan
antara tradisi masya’iyyah, isyraqiyyah, dan harakah jawhariyahnya.
Begitu pula yang dilakukan oleh berbagai pemikir kontemporer syi’ah di
kemudian hari. Seperti Sayyed Hosein Nasr yang intens dalam bidang
filsafat dan tasawuf.
Mengenai penglaiman terhadap
para pemikir kontemporer sebagai pemikir liberal tidak sertamerta bisa
dijustifikasi begitu saja. Liberal merupakan istilah yang tidak pernah
jelas, dalam artian tidak pernah ada kesepakatan pada arti liberal yang
sebenarnya. Setiap orang punya penafsiran berbeda tentang definisi
liberal. Kalaulah kita melihat fenomena JIL yang sedang mencuat di
Indonesia, tentu mereka akan mempubnyai pengklaiman yang berbeda pula
tentang apa sebenarnya liberal.
Pembahasan mengenai liberal
setidaknya harus dilihat melalui basis epistemologis yang akhirnya baru
dapat diklaim apakah seseorang disebut sebagi liberal atau tidak.
Liberal merupakan ciri kahas dimana kebebasan akal dipacu dengan
sebebas-bebasnya. Kalulah ini yang dimaksud sebagai liberal, maka hampir
semua pemikir kontemporer Islam seperti Ali Syari’ati, Nasr Hammid Abu
Zaid, Mohammad Arkoun, dan bahkan para filsuf klasik masuk dalam
kategori pemikir liberal.
Dalam pemikiran Islam, Al Qur’an
dan Sunnah menjadi ciri khas akan corak pemikiran tersebut. Disini
menjadi jelas bahwa selama corak pemikirannya masih berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah, maka tidak ada penyebutan liberal. Lebih jelas lagi
ketika predikat Islam telah disandangkan pada para pemikir kontemporer,
sudah berarti ia tidak lagi dikatakan liberal. Mengingat pemikirannya
masih berdasarkan pada dua ajaran normatif Islam tersebut, maka yang
dimaksud liberal adalah tokoh yang pemikirannya melencenga jauh dari Al
Qur’an dan Sunnah.
Kalaulah pemikir Islam seperti
Ulil Abshar sebagai tokoh yang mengemuka pada JIL, dalam berbagai
pemikirannya tidak lagi berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah, ia baru
bisa disebut sebagai liberal. Namun nyatanya, dalam berbagai kajian
pemikirannya tetap pada seputar kajian keislaman dan masih bersandar
pada Al Qur’an dan Sunnah. Menjadi jelas bahwa ia tidak bisa dikatakan
sebagai pemikir liberal.
Di sini
saya berpendapat bahwa tidak ada pemikir kontemporer Islam yang liberal.
Sebelum menjustifikasi haruslah dahulu kita mengerti akan liberal dalam
pemaknaan sesungguhya. Islam merupakan tubuh yang satu. Secara umum,
dengan dua sumber ajaran Tuhan –Al Qur’an dan Sunnah- menjadi jelas
bahwa kita bukan dari bagian yang berbeda-beda. Perbedaan yang terjadi
bukan menjadikan kita ‘ummat mutafarriqah’ melainkan menjadi kekayaan
dalam tubuh Islam sendiri. Selama Islam masih berpegang pada Al Qur’an
dan Sunnah maka ia merupakan Ummah Wahidah. Maka janganlah mudah
mengklaim terhadap sesuatu yang menyebabkan kita “masuk dalam
rumusan-rumusan kotak yang menyusahkan”.
Pembahasan yang terakhir ini,
saya akan mengangkat seorang tokoh yang diklai sebagai muslim liberal
Iran, yakni Abdul Karim Soroush.
Biografi
Ia lahir di Tehran selatan pada
1945. sejak dini, Abdul Kari Soroush –pemikir kita ini- sudah
mendapatkan pendidikan keagamaan bersamaan dengan pendidikan umum. Ia
memulai pendidikan sekolah menegehnya di sekolah menenganh Murtazawi dan
juga di sekolah menengah ‘alawi. Di sekolah menengah ‘alawi inilah ia
memeroleh pelajaran-pelajaran di bidang syari’at dan taf sir Al Qur’an.
Dia beruntung sekolah di sekolah menengah ‘alawi karena sekolah ini
didirikan oleh dua orang ulama yang memang memiliki concern untuk bisa
melahirkan orang-orang yang ,enguasai bidang ilmu-ilmu modern maupun
bidang ilmu-ilmu keaagamaan, termasuk kesalehan dan komitmen kepada
masyarakat. Salah seorang diantaranya, Reza Rouzbeh, memeng adalah
lulusan universitas sekaligus juga madrasah di Khum
Lepas dari sekolah menengah,
Soroush pun memasuki unversitas Tehran. Ia sempat mencari Murtadha
Muthahhari untuk mengajarinya Filsafat Islam. Namun karena keterbatasan
waktu, Muthahari merekomendasikan seorang ulama unutk mengajari Soroush.
Ia banyak mengikuti berbagai seminar yang dilakukan oleh berbagai tokoh
prarevolusi seperti Murtadha Muthahhari dan Ali Syariati.
Sebelum akhirnya kegiatan ini
dihgentikan oleh Syah karena dikhawatirkan pada kemampuannya untuk
menggerakan kaum muda Iran. Setelah menjalani karier di berbagai bidang
yang profan seerti fisika dan farmasi, Soroush melanjutkan studinya
Chelsea College di London untuk belajar filsafat sejarah dan Sains
selama lima tahun eropa ketika itu sedang berejolak perlawanan terhadap
Syah. Ia aktif pada suatu kegiatan keagamaan (Imam Barah) di London
Barat.
Pascarevolusi, Soroush kembali
ke Iran. Ia kemudian bergabung dengan college pelatihan guru di Teheran
yang di dalamnya dia ditunjuk sebagai direktur. Karena perbedaan dengan
pihak College ia minta dipendahkan ke lembaga riset dan kajian
kebudayaan yang di dalamnya ia menjadi seorang anggota peneliti, hingga
hari ini. Hingga saat ini, selain terpusat di lembaga kajiannya ia
banyak mengisi kuliah kuliah di berbagai tempat.
Telah banyak karya-karya Soroush
yang dihasilkan kemudian, diantaranya Sifat Dinamis Alam Semesta, yang
isinya adalah tentang Al Harakah Al Jawhariyah atau gerak subtansial. Di
dalamnya ia banyak berbicara tentang Filsafat Islam. Ilmu Pengetahuan
dan Nilai Selain pada Mulla Shadra, ia banyak terpengaruh pada Syaikh
Kasyani, Hafiz, dan Rumi –yang terakhir ini kelak menjadi minat lestari
Soroush
Pemikiran
Banyak pemikiran yang dilahirkan
oleh Soroush. Di sini saya akan mengambil satu ide Soroush yang
berkenaan dengan teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama
yang menjadi kontribusi besar bagi pemikiran Islam.
Dalam penjelasannya mengenai
teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama, ia menjelaskan
bahwa teori ini mendasar pada interpretasi epistemologi yang ada pada
tiga bidang keilmuan, yakni kalam (teologi Islam), ushul fiqh (logika
terapan dalam yurisprudensi agama), dan ‘irfan (dimensi esoteris Islam).
Pertama, teori ini adalah bagian
dari ilmu kalam sebab berhubungan dengan teologi dan juga karena teori
ini menjelaskan kadar sejauh mana asumsi dan espektasi dari agama
–Islam-.
Kedua, teori ini adalah bagian
dari ilmu ushul fiqh karena secara terperinci menjelaskan ilmu-ilmu yang
dibutuhkan oleh hukum agama -fiqh- untuk menarik kesimpulan secara
metodis. Teori ini menjelaskan pengaruh asumsi implist dan eksplisit
faqih mengenai bentukl dan proses pengeluaran fakta agama dan pemahaman
yurisprudensi. Disamping itu, teori ini juga menjelaskan anggapan
tentang konsep ‘teks yang jelas’ dan alasan mengapa putusan khusus
menyaratkan adanya putusan umum. Dan tingkat pengaruh teologi pada hukum
fiqh.
Ketiga, teori ini adalah bagian
dari ‘irfan, sebab teori ini menjelaskan syari’at, tarekat, dan hakikat
sebagai tiga aspek agama, yang masing-masing pantas menjadi satu bidang
khusus dan mewarisi perspektif yang unik.
Menurut interpretasi teori ini,
kategori muhkam dan mutasyabih –baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun
sejarah - tidak akan selamanya ambivalen, yakni selalu berubah
kedudukannya. Dalam masalah ini, dikemukakan bahwa setiap berdirinya
yang jelas ataupun yang tersirat, selalu bergantung pada legitimasi yang
ada. Dengan begitu, teori interpretasi personala yang berubah-ubah
terhadap tradisi agama menjadi valid. Isu ini semakin suram ketika
ternyata diselidiki lebih dalam adalah karena ketiadaan teori
epistemologi. Sehingga pendapat pribadi yang terbatas mempuyai
legitimasi untuk bergerak menuju solusi problem.
Teori penyusutan dan
pengembangan interpretasi agama bukan saja menyelaraskan kategori
kebakaan dan perubahan temporal, tradisi dan modernitas, ukhrawi dan
duniawi, akal dan wahyu, melainkan juga menyelaraskan unsur-unsur murni
dan potensi dari ilmu agama –yang merupakan tujuan dari kaum revivalis
dan reformis- dan menyajikan interpretasi keduanya secara logis. Selain
memecahkan masalah di bidang teologi –kalam-, teori penyusutan dan
pengembangan aktif bekerja pada isu-isu epistemologi.
Sebenarnya masih banyak lagi
sumbangsih pemikiran yang diberikan oleh tokoh yang satu ini.
Diantaranya permasalahan Filasafat Islam dan Etika yang menjadi
sorotannya. Namun karena keterbatasan pemakalah untuk menyajikannya
secara komperhensif dikarenakan keterbatasan waktu, maka hanya ini yang
dapat saya tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar