Oleh Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I
A. Letak Geografis Negeri Arab
Negeri
Arab yang dinamakan Jazirah Arab oleh bangsa mereka sendiri, secara
geografis terletak di barat daya Asia yang merupakan semenanjung yang
dikelilingi laut dari tiga arah, yaitu Laut Merah, Samudera India
(Indonesia) dan Teluk Persia.
Berdasarkan pada tingkat kesuburannya, negeri ini pada umumnya adalah padang pasir (sahara/desert)
yang tidak ditumbuhi tanaman dan tidak berair. Jika dilihat pada
karakter permukaannya, sahara ini, sebagiannya ada yang berupa padang
pasir berdebu dan pasir halus, ada juga yang berupa pegunungan dan
perbukitan dan ada juga yang berupa dataran rendah dan tinggi.
Sahara-sahara
yang merupakan bagian terbesar Jazirah Arab ini menempati
kawasan-kawasan yang terletak di wilayah pesisir barat, barat daya
Sahara Syam dan wilayah Sahara Syam (Syria sekarang) itu sendiri dan
wilayah tengah. Sedangkan daerah yang bertanah subur dan hijau disebut
dengan Arabia Fellix yang membentang sepanjang pesisir Semenanjung
Jazirah Arab; pada bagian tenggara terletak negeri Yaman. Di lokasi
inilah peradaban Arab sebelum Islam yang dimanifestasikan oleh Kerajaan
Saba’ dan Ma’in tumbuh dan berdiri. Di bagian selatan terletak
Hadlramaut, penghasil kayu gaharu yang kini menjadi Ibu kota Negara
Yaman. Di bagian timur terletak negeri Al Ahsa’ yang subur yang terletak
di Teluk Persia dan di sebelah utara Yaman terletak negeri Hijaz,
lokasi kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah dan sebagai tempat
hijrahnya nabi Muhammad Saw.
Dari
kondisi alam negeri Arab di atas, para ahli Geografi Arab –sebagaimana
diringkaskan oleh Hasan Ibrahim Hasan—membagi jazirah Arab ini menjadi
lima wilayah besar:
- Tihamah, yaitu wilayah yang membentang sejajar dengan pantai Laut Merah mulai dari Yanbu’ sampai Najran di Yaman. Dinamakan Tihamah, karena udaranya yang sangat panas dan anginnya yang tenang.
- Hijaz, yaitu wilayah yang terletak di sebelah utara Yaman dan sebelah timur Tihamah. Wilayah ini memiliki banyak lembah yang membentang dari Syam sampai Najran.
- Najed, yaitu wilayah yang membentang di antara Yaman di sebelah selatan dan sahara As Samarah di sebelah utara, lalu dengan wilayah Al ‘Arudl dan dengan perbatasan Iraq. Dinamai Najed karena permukaan tanahnya yang tinggi.
- Yaman, yaitu wilayah yang membentang dari Najed sampai ke Samudera Indonesia di sebelah selatan dan Laut Merah di sebelah barat. Kemudian bersambung dengan Hadlramaut, As Syahr dan Oman dari sebelah timur.
- Al ‘Arudl, yaitu wilayah yang meliputi Al Yamamah, Oman dan Bahrain. Dinamai Al ‘Arudl karena wilayah tersebut melebar antara Yaman, Najed dan Iraq1.
B. Keadaan Sosial, Politik dan Pemerintahan Jazirah Arab
Secara
umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Arab terbagi menjadi dua, yaitu
mereka yang hidupnya nomaden, atau selalu berpindah-pindah tempat untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan mereka yang hidupnya
sudah menetap dengan mata pencahariannya secara mayoritas sebagai petani
atau pedagang. Tapi, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam
budaya yang sama, yaitu budaya kesukuan. Hubungan politik yang terjadi
di antara mereka sangat menekankan rasa kesukuan ini, di mana loyalitas
dan solidaritas kepada suatu suku merupakan sumber kekuatan bagi suku
tersebut. Oleh karena itu di antara mereka kerap terjadi peperangan.
Perang-perang
ini sering terjadi karena adanya perselisihan dalam memperebutkan
kepemimpinan dan persaingan dalam memperebutkan sumber mata air dan
rumput untuk binatang gembalaan. Di antara sekian banyak perang, Hasan
Ibrahim Hasan menyebut 3 (tiga) perang yang menurutnya sangat terkenal,
yaitu perang Al Basus, perang Dahis dan Ghubara’, dan perang Fijar2.
Peperangan
yang terjadi terus menerus ini secara tidak langsung berakibat pada
rendahnya kualitas kebudayaan dan peradaban mereka di mana mereka tidak
mengenal budaya tulis menulis yang pada akhirnya peristiwa-peristiwa
sejarah yang mereka alami pun tidak banyak diketahui.
Berkaitan
dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa kurang dikenalnya
sejarah kuno bangsa Arab disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
politik dan faktor budaya. Pada faktor sosial politik, sifat masyarakat
Arab yang secara mayoritasnya adalah nomaden ini pada umumnya tidak
memiliki kesatuan politik. Mereka hidup berpisah antara kabilah yang
satu dengan yang lainnya dan di antara mereka kerap terjadi permusuhan
dan tidak mempunyai raja yang kuat. Pada faktor budaya, mayoritas mereka
tidak mengenal budaya tulis menulis, sehingga peristiwa-peristiwa yang
mereka alami tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan3.
Dalam
kondisi politik seperti disebutkan di atas, bangsa Arab tidak memiliki
sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang ini, terutama dalam
bidang yudikatif dan pertahanan dan keamanan (hankam). Dalam bidang
yudikatif, mereka tidak memiliki peradilan, tempat memperoleh kepastian
hukum tentang suatu kasus atau memvonis suatu pelanggaran. Dalam tatanan
masyarakat Arab kuno, orang yang teraniaya secara langsung melakukan
pembalasan kepada orang yang menganiayanya dan kabilahnya jika tindakan
penganiayaan itu dianggap membahayakan, atau jika yang berbuat aniaya
telah membayar ganti rugi dengan kesepakatan kedua suku, pihak teraniaya
tidak berhak menuntut pembalasan atas tindakan aniasya yang
diterimanya. Sedangkan dalam bidang hankam, mereka tidak mengenal
sebutan polisi seperti yang kita kenal sekarang sebagai pelindung
masyarakat dan penjaga keamanan negeri dari bahaya dari luar. Kondisi
ini, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, tidak berbeda dengan yang
terjadi di lingkungan masyarakat Jerman pada abad pertengahan4
Namun,
hal ini tidak berarti bahwa bangsa Arab kuno sepanjang sejarahnya tidak
memiliki peradaban yang tinggi. Karena, selain keadaan politik yang
telah diuraikan di atas jazirah Arab juga mengalami masa-masa
kejayaannya sebelum kehadiran Islam. Hal ini ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan besar di jazirah Arab seperti kerajaan Saba’, kerajaan
Himyar, kerajaan Ghassan dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara
tentang keadaan politik jazirah Arab terasa tidak lengkap tanpa
deskripsi tentang kerajaan-kerajan bersejarah di atas.
Dalam
bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam versi Indonesia, Hasan Ibrahim
Hasan menguraikan 6 kerajaan yang ada pada masa Arab pra Islam. Uraian
singkat tentang kerajaan-kerajaan ini adalah sebagai berikut:
- Kerajaan Ma’in
- Kerajaan Saba’
- Kerajaan Himyar
- Kerajaan Hirah
- Kerajaan Ghassan
- Kerajaan Hijaz (Mekah)
- Kerajaan Ma’in
Berdasarkan
petunjuk yang dikemukakan dalam prasasti dan Taurat serta berita yang
ditulis oleh sebagian sejarawan Yunani, sebagaimana ditulis Hasan
Ibrahim Hasan, kerajaan Ma’in berdiri antara tahun 1200-600 SM yang
merupakan kerajaan yang kuat dan sangat kaya melebihi kerajaan Saba’
yang kisahnya lebih terkenal dalam sejarah. Para rajanya berasal dari Irak yang mencari tempat subur untuk dijadikan tempat tinggal di Yaman5.
Kerajaan ini berlokasi di wilayah yang disebut Al Jauf, sebelah tenggara
Shan’a’, Yaman Selatan, di antara Najran dan Hadlramaut. Ibukotanya
adalah Al Qarni yang kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah Quthban,
Hadlramaut dan Melukh hingga bagian utara Jazirah Arab. Ahmad Fuad Pasya
menulis bahwa kerajaan ini melakukan hubungan dagang dengan Mesir
dengan mengekspor kemenyan dan wewangian yang digunakan dalam
rumah-rumah peribadatan.6
- Kerajaan Saba’
Kerajaan
Saba’ berdiri di antara masa kerajaan Ma’in dan Quthban yang mulai
tampak kekuasaannya di akhir masa kerajaan Ma’in, ditandai dengan
berpindahnya kekuasaan kerajaan tersebut kepada penguasa Saba’. Wilayah
kekuasaannya meliputi pantai Teluk Persia di sebelah timur sampai ke
Laut Merah di sebelah barat. Dengan berpindahnya kekuasaan kepada
penguasa Saba’, maka secara otomatis wilayah bagian selatan Jazirah Arab
yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasan Ma’in menjadi wilayah kekuasan
Saba’. Usia kerajan ini diperkirakan mencapai 835 tahun sejak 950-115
SM7.
Kerajaan
Saba’ berakhir ditandai dengan jebolnya bendungan Ma’rib yang menjadi
tumpuan utama ekonomi pertanian masyarakat Saba’ dan sumbangan terbesar
kemajuan bangsanya. Peristiwa bobolnya bendungan Ma’rib ini bagi para
sejarawan, khususnya sejarawan Arab merupakan faktor utama penyebab
runtuhnya kerajaan Saba’. Sedangkan menurut sebagian orientalis,
sebagaimana dikutip Hasan Ibrahim Hasan, bobolnya bendungan Ma’rib
justeru merupakan akibat dari kelalaian suatu bangsa yang sedang
mengalami kemunduran. Tidak masuk di akal suatu peradaban yang begitu
besar akan lenyap dalam seketika hanya karena bobolnya suatu bendungan8.
Berkenaan
dengan bobolnya bendungan Ma’rib yang merupakan peristiwa bersejarah
yang terjadi pada kerajaan Saba’ ini, Al Quran mendeskripsikannya
sebagai siksa yang diturunkan Allah Swt kepada penduduk Saba’9.
- Kerajaan Himyar
Kerajaan
Himyar berdiri sekitar tahun 115 SM tepat pada saat runtuhnya kerajaan
Saba’ yang pada awalnya hanya menguasai wilayah Quthban yang terletak di
antara kerajaan Saba’ dan Laut Merah. Namun setelah itu, kerajaan ini
memperlebar wilayah kekuasaannya dengan menduduki wilayah kekuasaan
kerajaan Saba’. Dengan demikian, maka kerajaan Himyar menjadi pewaris peradaban bangsa Saba’ dan Ma’in yang hadir sebelumnya10.
Ahmad
Fuad Pasya mengatakan bahwa tentara kerajaan Himyar ini mencapai
wilayah Cina di bagian timur dan Qanstantinopel dan Roma di bagian
barat. 11
- Kerajaan Hirah
Kerajaan
Hirah terletak pada jarak tiga mil dari kota Koufah, di tepi danau
Najef, sebagai pusat kaum Syi’ah sampai hari ini. Daerah ini merupakan
tempat yang subur karena dialiri oleh anak sungai Euphrat. Penduduknya
sejak abad ketiga Masehi terdiri dari tiga bangsa, yaitu bangsa Tanukh
yang mendiami wilayah barat sungai Euphrat, bangsa Ibad yang mendiami
wilayah kota dan bangsa Ahlaf yang merupakan bangsa pendatang dan bukan
dari bangsa Tanukh maupun Ibad12.
Kerajaan
ini mengalami kemunduran setelah dilanda beragam bencana dan setelah
para kaisar dari keluarga Sasanid, penguasa imperium Persia juga
mengalami kemunduran. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah
terbunuhnya raja Al Munzir bin Maussama Al Lakhami yang disusul dengan
kematian puteranya di tangan Al Harits bin Abu Syamr Al Ghassani dalam
perang Murj Halimah pada tahu 570 M. Selain itu goncangan yang terjadi
dalam tubuh keluarga kerajaan yang memperebutkan kursi dan mahkota
kerajaan juga ikut menjadi faktor runtuhnya kerajaan Himyar13.
- Kerajaan Ghassan
Sejarah
kerajaan Ghassan dimulai ketika orang-orang Azad meninggalkan Yaman
setelah bendungan Ma’arib bobol, di mana di antara mereka ada yang
menuju Syam (Siria sekarang). Mereka menetap di sebuah daerah dekat mata
air yang bernama Ghassan, oleh karenanya mereka pun dipanggil dengan
sebutan Uzd Ghassan. Ketika orang-orang Adh Dhaja’ah sebagai penduduk
asli setempat dalam keadaan lemah, maka Uzd Ghassan pun berhasil
menancapkan kekuasaannya dengan mendirikan kerajaan yang dikenal dengan
kerajaan Ghassan14.
Setelah
berkuasa selama 85 tahun, akhirnya kerajaan ini berakhir setelah
diserang oleh kerajaan Persia sebagai musuh besarnya pada tahun 613 M
(waktu nabi Muhammad telah mendirikan negara Madinah) dan tidak
dibiarkannya Bani jafnah sebagai pemilik kekuasaan kerajaan Ghassan
untuk bertahan pada wilayah yang selama ini berada di bawah kendali
kekuasaannya15.
6. Kerajaan Hijaz (Mekah)
Dalam
sejarah, negeri Hijaz adalah suatu negeri yang bebas dari penaklukan
dan penjajahan bangsa asing, meskipun banyak raja, baik dari kerajaan
Persia maupun pada masa Iskandar Zulkarnaen yang berhasrat untuk
menaklukkannya. Sifat kemerdekaan dari bangsa asing ini oleh Sidillot
yang dikutip oleh Hasan Ibrahim Hasan menjadikan negeri Hijaz memiliki
karakteristiknya sendiri yaitu darah keturunan yang murni, nenek moyang
yang mulia dan tanah air yang suci16.
Kaum
Amaliq adalah orang-orang yang pertama menetap di Mekah, disusul dengan
kabilah Jurhum pada generasi keduanya. Pada masa Jurhum inilah ka’bah
(Baitullah) berada di bawah kekuasaan nabi Ismail yang tinggal bersama
ibunya Sarah dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan mereka.
Sepeninggalnya, Baitullah berada di bawah kekuasaan Tsabit putera
sulungnya. Pengawasan terhadap Baitullah berpindah ke tangan para
pemimpin Jurhum sepeninggal Tsabit dan berlanjut hingga tahun 307 M.
Namun karena kerusakan yang dibuat oleh para pemimpin Jurhum setelah
kekuasaannya meluas, kabilah Khuza’ah yang datang dari Yaman setelah
peristiwa banjir ‘Arim mengambil alih kekuasaan dan mengusir kabilah
Jurhum dari Mekah dengan dibantu anak cucu Kinanah.
Setelah
berkuasa selama kurang lebih 300 tahun, kekuasaan pun berpindah ke
tangan kabilah Quraisy di bawah kepemimpinan Qushay bin Kilab yang
perlahan-lahan menguat dan berhasil menguasai Mekah pada tahun 440 M
sehingga jabatan As-Siqayah, Al Hijabah, Ar Rifadah dan Al Liwa menjadi
wilayah kekuasaanya, padahal sebelumnya tidak pernah satu orang pun
penguasa Mekah yang menghimpun seluruh jabatan tersebut seorang diri.
Sepeninggal Qushay kepemimpinan terus bergulir di antara kabilah Quraisy
hingga Abdul Muthalib, kakek nabi Muhammad sebagai penggali sumur
Zamzam agar kembali berfungsi. Pada masanya Allah Swt telah menghinakan
Abrahah Al Asyram dari Habasyah (Ethiopia sekarang) ketika hendak
menghancurkan Ka’bah 17.
C. Keadaan Ekonomi Masyarakat Arab.
Bangsa
Arab kuno sebelum kelahiran Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan di bidang ekonomi yang didominasi oleh perdagangan.
Pada waktu itu penduduk Saba’ di bawah kendali kerajaan Saba’ dikenal
sebagai orang-orang sukses dalam meraih materi dan harta kekayaan
duniawi berkat keahlian mereka dalam berdagang, terutama dari hasil
berdagang wangi-wangian seperti kayu gaharu yang banyak dipergunakan di
tempat peribadatan di Mesir dan Habsyi serta di negeri-negeri lainnya.
Kafilah dagang kaum Saba’ membawa kayu gaharu dan hasil-hasil bumi Yaman
lainnya ke bagian utara Jazirah Arab. Selain Saba’, Yaman di bawah
kendali kerajaan Himyar juga merupakan daerah transit untuk perdagangan
yang menghubungkan satu negeri dengan yang lainnya.
Namun,
setelah negeri Yaman dijajah oleh bangsa Habasyah dan kemudian oleh
bangsa Persia, maka kaum penjajah itu dapat menguasai perdagangan di
laut. Akan tetapi, perdagangan dalam jazirah Arab berpindah tangan ke
penduduk Mekah karena kaum penjajah itu tidak dapat menguasai bahagian
dalam jazirah Arab.
Maka
dari itu, berbicara tentang perdagangan pada masa ini, selain Yaman
–sebagaimana telah disebutkan di atas-- salah satu kota penting yang
dapat disebut di sini adalah Mekah, yaitu suatu kota yang dilalui jalur
perdagangan ramai yang menghubungkan antara Yaman di Selatan dan Syria
di Utara terutama pada bulan-bulan Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram.
Kota Mekah menjadi pusat perdagangan antara Yaman dengan Syam dan
Habasyah. Ketika tanah Mekah hanya merupakan tanah gersang berbatu dan
tidak berair dan tidak ditumbuhi oleh tanaman, penduduknya dikaruniai
kelebihan dibanding bangsa lain yaitu aktivitasnya dalam bidang
perdagangan. Di samping itu, masyarakat Mekah disenangi atau memiliki
tempat khusus di hati bangsa Arab lainnya mengingat kedudukannya sebagai
pemelihara dan penjaga Ka’bah. Ditambah lagi dengan letak Mekah yang
strategis dari sisi geografis yaitu di tengah-tengah antara Yaman di
selatan dan Syam di utara.
Selain
faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada faktor lain yang
menjadikan Mekah memegang kendali peranan dalam perdagangan. Faktor
tersebut adalah banyaknya orang-orang Yaman yang telah berpindah ke
Mekah, sedang mereka memiliki pengalaman luas di bidang perdagangan.
Dari
penduduk Arab, kafilah dagang yang paling terkenal adalah kafilah
dagang Quraisy. Mengenai kafilah ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis:
Kafilah
dagang Mekah dapat menjelajahi berbagai penjuru jazirah Arab seperti
Bangsa Yaman. Mereka berhasil membawa barang dagangannya sampai ke
Ghaza, Baitul Maqdis, Damaskus bahkan sampai menyeberangi Laut Merah
menuju Habasyah. Pelabuhan Jeddah yang berjarak 40 mil dari Mekah
merupakan jembatan penghubung antara Mekah dan Habasyah. Selanjutnya
barang dagangan dari Mekah ini diperdagangkan pula melalui pelabuhan
Jeddah ke Al Qhatif di Bahrain dan sekembalinya dari sana perahu-perahu
niaga mereka dipergunakan untuk membawa permata yang ditambang di
sekitar Teluk Persia sampai ke muara sungai Euphra Kafilah-kafilah
dagang Quraisy ini membawa barang dagangan dari pasar-pasar di Shan’a’
dan dari pelabuhan Oman serta Yaman berupa minyak wangi dan kayu gaharu
yang banyak dipergunakan di rumah-rumah peribadatan, gereja-gereja dan
istana-istana di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut Putih (Laut
Tengah). Mereka juga membawa barang-barang seperti kain sutera, kulit,
senjata, logam mulia yang dibeli di pelabuhan-pelabuhan Yaman sebagai
barang yang berasal dari China, India dan negeri-negeri Timur lainnya.
Kemudian kafilah-kafilah tersebut dari pasar Bushra dan Damaskus membawa
gandum, benda-benda hasil kerajinan tangan, minyak zaitun, biji-bijian,
kayu dan barang-barang yang terbuat dari kaca. Sedang dari Habasyah,
kafilah-kafilah ini membawa rempah-rempah. Sedangkan dari Mesir mereka
membawa kain tenun yang sangat terkenal yaitu kain tenun Qibthi. .18
Dengan kalimat-kalimat yang berbeda, A. Syalabi, tentang perdagangan yang dilakukan kafilah dagang Arab ini menulis:
“Dari
San’a’ kota-kota pelabuhan di Oman dan Yaman, kafilah-kafilah bangsa
Arab membawa minyak wangi, kemenyan, kain sutera,barang logam, kulit,
senjata dan rempah-rempah. Barang-barang perniagaan yang disebutkan ini
ada yang dihasilkan di Yaman dan ada pula yang didatangkan ke kota-kota
pelabuhan itu dari Indonesia, India dan Tiongkok. Oleh kafilah-kafilah
itu barang-barang ini dibawa ke pasar-pasar di Syam. Minyak wangi dan
kemenyan amat diperlukan di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut
Tengah, dipakai di candi-candi, gereja-gereja, istana-istana raja dan
rumah orang-orang kaya. Di waktu kembali, kafilah-kafilah itu membawa
gandum, minyak zaitun, beras, jagung dan tekstil dari Mesir dan Syam.” 19
Secara
teratur kafilah dagang Arab ini mengadakan perjalanan dagang dua kali
dalam setahun, yaitu perjalanan di musim dingin ke Yaman dan di musim
panas ke Syam. Keempat anak Abdu Manaf dengan aktif melakukan perjalanan
niaga ke berbagai negeri; Hasyim selalu berdagang ke Syam; Abd Syams ke
Habasyah; Abdul muthalib ke Yaman dan Naufal ke Persia. Para pedagang
Quraisy di bawah lindungan keempat anak Abd Manaf ikut aktif mengikuti
jejak mereka dan berkat lindungan tersebut mereka tidak ada yang berani
mengganggu. Tentang aktivitas perdagangan ini, Allah Swt mengabadikannya
dalam Al Quran.20
Berkat
aktivitas dagang ini, banyak masyarakat Quraisy yang menjadi
orang-orang kaya, mereka di antaranya adalah Abu Sufyan, Walid ibn al
mughirah dan Abdullah ibn Jud’an. Yang terakhir ini, saking kayanya
telah mempersenjatai seratus tentara Quraisy secara lengkap dalam perang
Al fijar21.
D. Keadaan Ilmu Pengetahuan Arab
Aktivitas
perdagangan yang dilakukan bangsa Arab, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya berimbas ke aspek lain yang berhubungan dengan hal-hal yang
sifatnya nonmaterial, seperti aspek kerohanian kesusasteraan dan ilmu
pengetahuan. Hubungannya dengan Syam, Habasyah, Persia, Romawi sebagai
pemilik peradaban tinggi pada waktu itu telah membantu mereka menjadi
orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan dan wawasan tentang hal
ihwal bangsa-bangsa dalam aspek politik, sosial dan kesusasteraan yang
sangat berpengaruh dalam mencerdaskan akal pikiran dan kemajuan bagi
mereka. Kehidupan Intelektual Arab pun cukup tinggi ditandai dengan
adanya ilmu-ilmu seperti Ilmu Bintang, Ilmu Iklim dan Ilmu kedokteran
meskipun masih dalam taraf yang sederhana.
Dalam
bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab dapat dikatakan sebagai
bangsa yang sangat maju. Mereka memiliki bahasa yang indah dan kaya.
Berkenaan dengan kepandaian berbahasa bangsa Arab ini, A. Hasjmi
mengatakan:
Telah
menjadi kelaziman dari orang-orang Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan
majlis atau nadwah (klub) di tempat mana mereka mendeklamasikan sajak,
bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenallah
dalam kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di
samping Ka’bah.
Di
samping itu, mereka mengadakan Aswaq (Pekan) pada waktu tertentu, di
beberapa tempat dalam negeri Arab. Tiap-tiap ada sauq berkumpullah ke
sana para saudagar dengan barang dagangannya, penyair dengan
sajak-sajaknya, ahli pidato dengan khutbah-khutbahnya, dan sebagainya”.22
1 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1, h. 91-108, h. 7.
2 Untuk lebih jelas tentang peperangan ini lihat Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Terj.) jilid 1, Kalam Mulia, Jakarta, Cet. ke1, h. 91-108.
3 Ibid, h. 1.
4 Ibid, h. 89.
5 Ibid, h.36.
6
Ahmad Fuad Pasya, At Turats al ‘Ilmi lil hadlarah al Islamiyyah wa
makanatuha fi tarikhil ‘ilmi wal hadlarah, Darul Ma’arif, Shan’a’, Cet.
ke 2, 1997, h. 14.
7 Op. Cit, h. 37.
8 Ibid, h.. 43.
9 Lihat QS Saba’ [34] :16-17 tentang adzab yang diturunkan Allah Swt pada bangsa Saba’.
10 Op. Cit, h.. 44.
11 Ahmad Fuad Pasya, Op. Cit, h. 16.
12
Ibid, h. 17. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa berdirinya kerajaan
ini berkat bantuan imperium Romawi sebagai sekutunya yang mengangkat
salah seorang dari orang-orang Arab Ghassan menjadi raja, lihat h. 66.
13 Untuk lebih jelasnya, lihat, Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit, h. 52-66.
14 Ibid, h. 66.
15 Ibid, h. 72.
16 Ibid, h. 74.
17 Ibid, h. 75-77.
18 Ibid, h. 109-110.
20 Q.S. Quraisy [106] :1-4.
21 Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h.111.
22 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Cet, ke-5, tahun 1995, h. 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar