Oleh: Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I.
Ibn Rusyd adalah salah seorang sosok ilmuwan muslim abad ke-12 M yang memiliki jasa yang besar bagi peradaban Islam dan juga bagi orang-orang Barat. Karena dari terjemahan karya-karyanyalah dinamika berpikir mereka terbuka sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan era pencerahan (renasissance) sebagai manifestasi peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi dunia. Maka dari itu, tak heran jika tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peradaban Islam, khususnya dalam bidang pemikiran Islam, terasa tidak lengkap tanpa kehadiran Ibn Rusyd.
Dari
segi filsafat, Ibn Rusyd dapat dikatakan telah mendapatkan haknya untuk
dikaji dan diteliti. Begitu banyak tulisan, baik berupa makalah,
jurnal, maupun buku-buku ilmiah yang mengangkat masalah filsafat Ibn
Rusyd baik secara historis, metodologis maupun ontologis.
Tapi,
sebagai ilmuwan yang juga aktif dalam bidang Fikih, Ibn Rusyd tampaknya
belum mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Riwayat hidupnya yang
penuh dengan warna-warni fikih, baik sebagai pencari ilmu maupun sebagai
hakim dan juga penulis buku-buku fikih berkualitas adalah tiga hal yang
dapat dijadikan pintu masuk bagi para peminat studi keislaman untuk
mengkaji pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd di bidang ini.[1] Sebagaimana kita ketahui, buku Bidâyatul mujtahid,
karya Ibn Rusyd ini telah dikenal oleh seluruh umat Islam di dunia,
termasuk di Indonesia, terutama di pesantren-pesantren dari dahulu
hingga sekarang. Namun, sangat disayangkan, tulisan tentang kepiawaian
Ibn Rusyd dalam bidang ini hampir tidak ada.
Bertitik
tolak dari hal tersebut di atas, penulis melihat bahwa kecemerlangan
Ibn Rusyd dalam bidang Fikih nampak terabaikan, suatu hal yang disebut
ironi oleh Nurcholish Madjid.[2]
Ibn Rusyd dan Bidâyatul mujtahid
Ibn
Rusyd adalah salah seorang ilmuwan muslim yang cukup produktif dalam
menulis. Selain mengarang buku-buku filsafat, Ibn Rusyd yang juga
seorang dokter ini, banyak mengarang buku-buku fikih. Di antara
buku-buku fikih karangannya, sebagaimana ditulis oleh El Abidi adalah
buku ad-Da’âwî, Mukhtashar al mustashfâ fil ushul, Ad dars al kâmil fi al Fikih, Risâlatun fi ad dlahaya, Al kharaj[3]
Dan buku Bidâyatul mujtahid yang judul lengkapnya adalah Bidâyatul mujtahid wa nihâyatul muqtashid adalah
karya Ibn Rusyd dalam bidang Fikih yang paling terkenal sekaligus
paling berkualitas jika dibandingkan dengan buku-buku Fikihnya yang
lain. Buku Ibn Rusyd ini selesai ditulis oleh Ibn Rusyd pada tahun 1188
M. ketika menjabat sebagai Hakim Agung di Cordoba, atau pada saat
usianya sekitar 62 tahun. Buku ini memuat pandangan dan argumentasi
seluruh aliran Fikih, baik mereka yang beraliran Tekstualis maupun yang
beraliran Rasionalis sejak jaman sahabat hingga abad ke-11 M.[4]
Pada era kita sekarang ini, buku ini dikategorikan sebagai buku yang
mengandung Ilmu Fikih Perbandingan atau Ilmu Perbandingan Mazhab.
Secara
historis, tepatnya sejak akhir abad ke-11 M. Ilmu Fikih Perbandingan
dikenal dengan sebutan Ilmu Khilaf, yaitu ilmu yang membahas pendapat
dan atau pandangan para ulama yang berbeda dengan membandingkan
dalil-dalil yang mereka gunakan dalam menetapkan suatu hukum. Dalam
pengantar buku sejarahnya yang sangat terkenal “Al Muqaddimah”, Ibn Khaldun menegaskan bahwa Ilmu Khilaf (Al Khilâfiyyât)
adalah ilmu yang sangat berguna untuk mengetahui pendapat para Imam
beserta argumentasi-argumentasi mereka dan memudahkan orang lain yang
ingin menggunakannya dalam menentukan suatu hukum[5].
Karena pentingnya ilmu ini, maka sangatlah wajar jika para ulama Islam
seperti Imam Ghazali, Imam Hanafi, Imam Syafi’, Imam Maliki dan
imam-imam yang lainnya dengan kadar yang berbeda antara yang satu dan
yang lainnya menaruh perhatian besar terhadap ilmu ini.
Dan
sebagaimana para ulama Islam di atas, Ibn Rusyd pun tidak ketinggalan.
Dengan metode penulisan yang cukup berbeda dari para penulis sebelumnya
yang dijadikan referensi olehnya seperti kakeknya sendiri, Ibn Rusyd
melihat bahwa Ilmu Khilaf berbeda dengan Fikih. Jika Fikih hanya
menerangkan suatu hukum tanpa disertai dengan dalil-dalil, atau jika pun
dengan dalil, itu terbatas pada satu pendapat saja, Ilmu Khilaf
mendeskripsikan suatu hukum dengan berbagai pandangan dan pendapat
yang berbeda disertai dengan argumentasi dan dalil-dalilnya.
Karena alasan inilah mengapa Ibn Rusyd mengarang buku Bidâyatul mujtahid, suatu alasan yang bertitik tolak dari pemikirannya tentang pentingnya pintu ijtihad dibuka kembali.
Seruan Ijtihad Ibn Rusyd
Sebagai sebuah karya ilmiah, buku Bidâyatul mujtahid
tidak lahir begitu saja tanpa dilatarbelakangi keadaan-keadaan dan
situasi yang menyertainya. Dan jika kita kembali ke sejarah menjelang
kehadirannya, yaitu akhir abad ke-11 M., maka akan kita temukan bahwa
dunia Islam pada waktu itu berada dalam kondisi yang sangat buruk di
mana konflik politik melanda seluruh wilayah Islam. Pada masa kemunduran
Islam yang sejatinya telah dimulai sejak akhir pemerintahan Bani Umayah
dan disebut sebagai masa disintegrasi oleh Harun Nasution ini,
daerah-daerah yang berada jauh dari pusat pemerintahan di Damaskus dan
kemudian di Baghdad melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah yang
mengakibatkan timbulnya dinasti-dinasti kecil.[6]
Tentunya,
kondisi politik yang tidak kondusif ini sangat berpengaruh pada
bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial dan budaya serta keilmuan.
Dalam bidang yang terakhir ini, mereka tidak lagi memiliki
ilmuwan-ilmuwan produktif sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Secara
khusus di bidang Fikih, para ulama Islam tidak lagi menghasilkan
karya-karya ilmiahnya dan merasa cukup dengan yang telah ada sebelumnya.
Yang dilakukan mereka tidak lebih dari sekadar meringkas atau membuat
penjelasan-penjelasan dari karya-karya pendahululnya Dalam kondisi yang
demikian, umat Islam dilanda penyakit yang disebut dengan taqlîd, yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa disertai dengan ilmu, alasan, argumentasi atau dalil apa pun.[7]
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, secara lebih detail, Dr. Hammadi el Abidi[8] menulis empat fenomena hilangnya spirit ijtihad di kalangan ahli fikih ini. Keempat fenomena tersebut adalah:
1. Peringkasan.
Pada
satu sisi, peringkasan merupakan suatu karya ilmiah yang tentunya
memiliki nilai positifnya sendiri. Tapi di sisi lain, karena ini adalah
fikih, maka suatu peringkasan terhadap fikih akan menghilangkan
substansi fikih itu sendiri. Menurut El Abidi, peringkasan adalah suatu
penyakit karena kebosanan dan kepenatan jiwa.[9]
2. Perhatian lebih kepada cabang dibanding ke fundamen.
Pada
saat merebaknya karya-karya peringkasan, ditemukan kesulitan memahami
isinya, lahirlah karya-karya berupa penjelasan-penjelasan terhadap
peringkasan tersebut yang pada akhirnya perhatian ditujukan hanya kepada
masalah-masalah yang itu-itu saja dan tidak menyentuh permasalahan baru
yang lebih sesuai dengan kondisi jaman.
3. Debat kusir.
Para
ahli fikih sangat intens dalam beradu argumentasi dan dalil-dalil dalam
mengutarakan pendapat dan pandangan mereka dalam suatu hukum.. Namun,
adu argumentasi tersebut tak lebih dari sekadar debat yang tujuannya
bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk memenangkan pertarungan dan
mempertahankan pendapat mereka masing-masing.
4. Asumsi-asumsi Fikih yang tidak logis.
Para
ahli fikih banyak mengeluarkan asumsi-asumsi yang mustahil dan
mengatakan bahwa inilah ilmu. Contoh asumsi yang mereka ajukan adalah
bagaimana jika manusia berubah menjadi hewan, apakah ia tetap terbebani
oleh kewajiban atau tidak lagi terbebani? Kemudian, bagaimana jika
manusia ingin menikah dengan jin apakah diberlakukan syarat-syarat nikah
yang biasa berlaku pada pernikahan antara manusia dengan manusia
lainnya?[10]
Di
samping keempat fenomena di atas, El Abidi juga menambahkan, bahwa
hilangnya spirit ijtihad diperparah oleh kondisi para pengikut mazhab
fikihnya yang terlalu mengagungkan para Imamnya. Inilah yang disebut
dengan fanatisme mazhab. Sebagai contoh, sebagaimana ditulis El Abidi,
adalah Abulmazhfar As Sam’ani yang pindah dari mazhab Syafi’i ke mazhab
Hanafi, kemudian kembali lagi ke mazhab sebelumnya. Ketika ditanya
mengapa ia melakukan hal demikian, ia menjawab bahwa pada suatu malam ia
bermimpi bertemu Tuhannya dan mengatakan: “Kembalilah kepada Kami wahai
Abulmazhfar”.
Selain
itu, Sebagian para pengikut mazhab Hanafi menyatakan bahwa nabi Isa
ketika hadir kembali ke dunia pada akhir jaman nanti akan mengikuti
mazhab Hanafi.[11]
Kondisi
demikianlah yang dialami oleh Ibn Rusyd, suatu kondisi yang membawanya
menjadi salah seorang ilmuwan muslim yang mewajibkan dibukanya kembali
pintu ijtihad sebagaimana yang ditulisnya dalam Bidâyatul mujtahid: “Kami tulis buku ini, tidak lain adalah agar para ahli fikih mencapai derajat mujtahid”.[12]
Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengeluarkan segala kemampuan
yang ada untuk menggali nilai-nilai Islam dan menerapkannya sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada. Derajat mujtahid sendiri tidak akan
dapat diperoleh seseorang hanya dengan menghapal hukum-hukum dari
berbagai permasalahan saja tanpa dibarengi dengan kapasitas yang cukup
di bidang Ushul fikih, bahasa Arab, dan Filologi, meskipun ia memiliki
kualitas hapalan yang sangat tinggi.
Dalam
hal pemahaman terhadap Islam yang sering dipersempit oleh sebagian umat
Islam dengan fikih, Ibn Rusyd sangat menentang taqlid dan fanatisme
mazhab, suatu pandangan yang juga disuarakan oleh para reformer dan
pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh di Mesir dan KH. Ahmad Dahlan di
Indonesia dengan tujuan memberikan penyadaran dan demi kemajuan bagi
umat Islam yang seakan larut dalam pandangan keislamannya yang sempit.
Dengan demikian, Ibn Rusyd melalui Bidâyatul mujtahid-nya
sangat memperhatikan masalah-masalah keislaman dan peduli dengan umat
Islam. Karena kepeduliannya tersebut, ia menyerukan dibukanya kembali
pintu ijtihad yang sebelumnya ditutup dengan harapan dapat membuka
pikiran umat Islam bahwa para Imam Mazhab bukanlah Nabi atau pun Rasul
yang diutus oleh Allah Swt yang tidak mungkin melakukan suatu kesalahan.
Mereka adalah manusia biasa sehingga kita bisa saja berbeda pendapat
dengan mereka.
Syariat Islam dan Kemaslahatan dalam Pandangan Ibn Rusyd
Siapa
pun yang melakukan pengkajian dan penelitian terhadap syariat Islam
(fikih), akan mendapatkan bahwa syariat Islam memiliki tujuan moral dan
sosial yang sangat tinggi. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari
realita ini, bahkan oleh orang yang berusaha mengingkarinya.
Pernyataan yang bukan hanya isapan jempol belaka ini juga dianut oleh Ibn Rusyd dalam Bidâyatul mujtahid.
Dan pandangan-pandangan Ibn Rusyd dalam hal hubungan antara syariat
Islam dan kemaslahatan ini terkait dengan suatu ilmu yang disebut dengan
Ilmu al maqâshid atau Maqâshidus syarî’ah, yaitu suatu
ilmu yang didasari oleh suatu prinsip bahwa segala perbuatan dan atau
hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt pasti memiliki arti dan hikmah
serta tujuannya sendiri yang tidak mungkin sia-sia. Arti dan hikmah
inilah yang disebut dengan kemaslahatan.[13]
Dalam
Al Quran banyak disebutkan secara eksplisit bahwa syariat yang
diturunkan oleh Allah Swt tidak luput dari kemaslahatan sebagai
tujuannya, seperti pada ayat tentang wudlu. Allah Swt berfirman:
Dalam ayat di atas Allah Swt menegaskan bahwa perintah wudlu bukan
untuk menyulitkan manusia tapi untuk kemaslahatan dirinya yaitu berupa
kesucian diri dan kesempurnaan nikmat dari Allah Swt.
Kemudian ayat tentang shalat. Allah Swt berfirman:
(إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر)[15]
Dalam
ayat ini Allah Swt menandaskan bahwa perintah shalat ditetapkan untuk
kemaslahatan manusia yaitu agar dirinya terjaga dari segala tindak
kejahatan yang mungkin dilakukannya.
Begitu pula dengan ayat tentang qishas. Allah Swt.
(ولكم في القصاص حياة)[16]
Allah
Swt adalah pencipta manusia yang tentunya Maha Mengetahui apa yang
dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Ia
menetapkan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan adalah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri, yaitu berupa kehidupan di mana ketika
seseorang yang membunuh diberi hukuman mati, akan berdampak besar bagi
orang lain sehingga tindak pidana pembunuhan yang sangat merugikan
manusia dapat ditekan seminimal mungkin.
Berdasarkan
kajian terhadap ayat-ayat di atas, As Syathibi dengan tegas mengatakan
bahwa hal ini (adanya kemaslahatan manusia di dalam hukum yang
ditetapkan oleh Allah Swt berlaku bagi semua hukum-hukum-Nya yang lain
meskipun tidak secara eksplisit diungkapkan di dalam Al- Quran.[17]
Para ulama Fikih yang menulis tentang maqâshidussyari’ah atau ilmu al maqâshid membagi tujuan syariat baik dalam peribadatan, hubungan antar manusia, maupun adat istiadat menjadi tiga, Pertama:
untuk kepentingan yang mendesak (primer). Tujuan ini mencakup lima hal
yaitu untuk memelihara agama, memelihara akal, memelihara jiwa,
memelihara harta dan memelihara keturunan. Tujuan ini menjadi suatu hal
yang sangat mendesak karena tanpa kelima hal tersebut, kehidupan manusia
di dunia dan akhirat akan rusak. Kedua: untuk kepentingan
sekunder. Contohnya adalah makan, minum, melakukan akad persewaan, jual
beli, dan lain-lain. Meskipun tujuan ini sangat dibutuhkan oleh manusia
dalam kehidupannya, namun derajatnya masih di bawah tujuan primer karena
pada saat kebutuhan ini tidak terpenuhi, kerusakan yang diakibatkannya
tidak separah kerusakan yang ditimbulkan pada saat kebutuhan yang
pertama tidak terpenuhi. Yang ketiga: untuk kepentingan tersier,
yaitu segala hal yang berkaitan dengan adat istiadat dan etika yang
baik, seperti selalu menjaga kebersihan, menjaga kerapihan dalam
berpakaian, menjalankan amalan-amalan sunnah, menjalankan etika
kesopanan dalam makan dan lain sebagainya.[18]
Pada dasarnya Ibn Rusyd tidak berbeda dengan para ulama fikih
sebelumnya dalam hal hubungan antara syariat dengan kemaslahatan. Yang
membedakan antara Ibn Rusyd dan yang lainnya adalah penekanannya saja.
Jika para ahli fikih menekankan sisi kemaslahatan dan kepentingan, Ibn
Rusyd menekankan pandangannya pada sisi moral. Ia berpendapat bahwa
syariat itu lahir untuk memperbaiki akhlak manusia. Dalam hal ini El
Abidi menyatakan bahwa Ibn Rusyd adalah satu-satunya ahli fikih yang
membangun tujuan syariat di atas fondasi moral (akhlak).[19]
Berikut ini penulis uraikan contoh pemikiran Ibn Rusyd tentang hubungan
antara syariat dan kemaslahatan yang dibangunnya di atas fondasi akhlak
dalam Bidâyatul mujtahid:
1. Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan seseorang kepada orang lain.
Apakah hukum mengambil kembali hadiah yang telah kita berikan kepada
oranglain? Sebagian ahli Fikih mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja
dan sebagian yang lainnya mengatakan tidak boleh. Dalam hal ini, Imam
Maliki mengatakan bahwa hal itu tidak boleh kecuali yang dilakukan orang
tua terhadap anaknya. Itu pun dengan syarat barang yang dihadiahkan
tidak berpindah tangan, misalnya dengan adanya pernikahan dan lain-lain.
Sedangkan Ibn Rusyd menyatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan
karena alasan akhlak. Ia mengatakan: “Mengambil kembali hadiah yang
telah diberikan kepada orang lain bukanlah akhlak yang terpuji, padahal
nabi Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.[20]
2. Masalah anak yang dilahirkan oleh seorang hamba sahaya.
Dalam masalah anak yang dilahirkan oleh seorang hamba sahaya, para ahli
Fikih sependapat tentang hukumnya bahwa anak itu adalah anak wanita
tersebut jika ia dinikahi oleh tuannya dalam keadaan belum hamil darinya
di mana setelah kematiannya ibu tersebut menjadi bebas (bukan hamba
sahaya lagi). Tapi jika ia dinikahi oleh tuannya pada saat ia hamil,
para ahli Fikih berbeda pendapat. Imam Malik mengatakan bahwa ia
bukanlah anaknya sehingga ia tetaplah hamba sahaya meskipun tuannya
telah meninggal. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah anaknya secara
mutlak.
Ibn Rusyd dalam masalah ini menolak pendapat Imam Malik. Ia mengatakan
bahwa ia adalah anak wanita tersebut dalam kondisi apa pun dan bukanlah
suatu akhlak yang terpuji seandainya tuannya menjual wanita tersebut
padahal Rasulullah Saw bersabda bahwa ia diutus untuk menyempurnakan
akhlak.[21]
Penutup
Demikianlah
deskripsi pemikiran Ibn Rusyd dalam bidang Fikih yang memiliki
perbedaan dengan kebanyakan para ulama pada jamannya. Namun satu hal
yang kiranya perlu ditekankan di sini yaitu bahwa yang dilakukan oleh
Ibn Rusyd adalah suatu ijtihad yang memiliki kemungkinan benar dan salah
sekaligus sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama Fikih lainnya. Dan
yang namanya ijtihad-sebagaimana kita ketahui- jika benar akan
mendapatkan pahala dua kali dan jika salah akan mendapatkan pahala satu
kali.
Adalah
suatu hal yang sangat manusia jika terjadi perbedaan pendapat di antara
manusia karena dalam posisi itulah manusia diciptakan. Maka dari itu,
perbedaan bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan. Yang jadi
permasalahan adalah bagaimana menyikapi perbedaan itu. Jika Islam
mengajarkan umatnya untuk bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, maka
toleransi intern umat Islam yang lebih dikenal dengan istilah ukhuwah
Islamiyah itu lebih dianjurkan lagi.
Oleh
karena itu, sangat disayangkan sekali kejadian yang menimpa Ibn Rusyd
ketika buku-bukunya tentang filsafat dibakar, jabatannya sebagai Hakim
Agung dicopot, bahkan dicap sebagai kafir oleh Khalifah Ya’qub Ibn Yusuf
pada tahun 1195 M. hanya karena pemikiran-pemikiran filsafatnya yang
berbeda dengan mayoritas umat Islam waktu itu.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari sejarah.
[1]
Ibn Rusyd lahir di Cordova pada 520 H./1125 M. Ia lahir dari keluarga
yang sangat relijius dan memiliki aktivitas keilmuan yang tinggi.
Kakeknya adalah seorang Hakim di Cordova dan seorang penulis berpengaruh
di Spanyol, begitu juga ayahnya.
[2] Nurkholish,Madjid Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 93.
[3] El Abidi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm as syarî’ah, hal: 32
[4]
Dari kalangan Sahabat, Ibn Rusyd banyak menguraikan pendapat Ali, Umar,
Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Ibn Umar dan Aisyah. Dari
kalangan Tabi’in dan Tabi’ittabi’in, ia banyak mendeskripsikan pandangan
Ikrimah, Nafi’, Sa’id ibn al Musayyab, Ibn Syihâb az zuhrî, Ibrahim an
nakh’i, Hammad ibn abî sulaimân, Mujâhid, Thâwus dll. Dari kalangan Imam
Mazhab, selain Imam mazhab yang empat, ia banyak mengulas pandangan
Imam Abi Lailâ, Sufyan ats tsauri, Laits ibn sa’d, Auzâ’i, Sufyan ibn
Uyainah, Hasan al bashri, Ibn Jarîr at Thabarî, Daud azh zhâhir dll.
[5]Abdurrahman ibn khaldûn, AlmMuqaddimah, h. 251.
[6]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid I, Jakarta, UI Press, 1985 h. 75.
[7] Muhammad bin Ali As Syaukani, Al qaul al muîid îi adillat all ijtihâd wa at taqlîd, hal: 101.
[8] Ia adalah salah seorang Dosen pada mata kuliah Ilmu Perbandingan Mazhab di Universitas Zaitunah, Tunis-Tunisia.
[9] EL Abidi, Hammadi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm assyarî’ah, Beirut, Darul fikr al ‘arabî, Cet. ke 1, 1991, h. 158.
[10] EL Abidi, Hammadi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm assyarî’ah h. 160.
[11] EL Abidi, Hammadi, Ibn Rusyd wa ‘ulûm assyarî’ah h. 160.
[12] Ibn Rusyd, Bidâyatul mujtahid, Darul fikr, Beirut, 2005, jilid 2 h. 157.
[13] Berkenaan dengan ilmu al maqâshid
ini - sebagaimana diuraikan oleh El Abidi-, ilmuwan muslim yang pertama
menaruh perhatian terhadapnya - adalah Ibrahim an nakh’i (w:96 H) dari
kalangan Tabi’in dan Syekh Hammad ibn Abi Sulaiman, salah seorang guru
Abu Hanifah. Kemudian Al ‘Izz ibn Abdissalam yang mengarang buku al Qawâ’id . Setelah itu muncul Najmuddin At Thufi yang mengarang buku berjudul al mashâlih al mursalah.
Setelah At Thufi, datang Abu Ishaq As Syatibi pada abad ke-8 H.,
seorang keturunan Granada, Spanyol. Yang terakhir ini adalah ilmuwan
Muslim yang pertama kali mengkhususkan pembahasan tentang al maqâshid dalam bukunya yang berjudul al Muwâfaqât.
[14] QS Al Mâidah [5]: 6.
[15] QS Al-‘Ankabut [29]: 45.
[16] QS Al Baqarah [2]:179.
[17] As Syathibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqat, jilid 2,Beirut, Darul ma’rifah, t.t. hal: 7.
[18]
Lihat penjelasan yang lebih detail tentang tiga tujuan syariat ini
dalam buku Al Muwâfaqât karya Imam Abu Ishaq As Syathibi, jilid 2 hal:
8-12.
[19] El Abidi, Ibn Rusyd Wa ‘ulûm a-ssyarî’ah, h. 107.
[20] Ibn Rusyd, Bidâyatul mujtahid, jilid 2 h. 271.
[21] Ibn Rusyd, Bidâyatul mujtahid, jilid 2 h. 321.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar