Oleh: Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I
1. Sir Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir pada 1817 di Delhi dalam lingkungan keluarga
yang agamis di mana ia selalu mempelajari Al Quran dan bahasa Arab. Ia
putra seorang bangsawan dan pejabat pemerintah di Istana Sultan Mongol,
Mir Mir Muragjen yang juga seorang sufi. Karena merasa bosan dalam
pelajarannya, pada usia 21 tahun ia memutuskan untuk bekerja pada
pemerintahan Inggris, meskipun tidak diperkenankan oleh keluarganya.
Meskipun tidak menempuh pendidikan tinggi, Ahmad Khan sangat
memperhatikan keadaan di sekelilingnya, terutama umat Islam yang sedang
dalam kondisi buruk karena didominasi oleh sikap taqlid dan penuh
dengan kecurigaan, apalagi terhadap segala sesuatu yang berasal dari
Barat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa Inggeris pada masanya telah
menancapkan cakar penjajahan di India selama beberapa tahun lamanya.
Selain itu, ia juga aktif dalam menulis. Wilfred Cantwel Smith
menyatakan bahwa Ahmad Khan banyak sekali menulis, terutama tentang
sains abad pertengahan, teologi dan sejarah yang menunjukkan minatnya
pada masa-masa bahagia ketika peradaban Islam di India sedang mengalami
kemajuan.[1]
Pada 1857, ia menyaksikan betapa umat Islam India berada dalam suatu
kondisi yang sangat menyedihkan setelah terjadinya pemberontakan.
Kejadian ini sangat berpengaruh dalam dirinya yang kemudian menjadi
dasar dalam ide-ide pembaharuannya untuk memajukan umat muslim India.
Pada 1869 Ahmad Khan berkunjung ke London selam tujuh bulan dengan
tujuan melihat secara langsung kemajuan Barat dan menulisnya agar dapat
dimanfaatkan oleh umat Islam di India.
Didasari kedua peristiwa di atas, bebeda dengan pemikir pembaharuan
pendahulunya, Jamaluddin Al Afghani, yang memilih jalan perang, ia lebih
memilih jalan kerjasama dengan pihak Inggris. Ini ia lakukan karena
menurutnya, perbaikan kondisi umat Islam bukan dengan jalur politik tapi
melalui jalur pendidikan. Karena itulah ia pada 1878 mendirikan Muslim
Anglo Oriental College (M.A.O.C.) di Aligarh, suatu lembaga pendidikan
yang di dalamnya selain matapelajaran agama, dimasukkan pula
matapelajaran bahasa Inggeris dan matapelajaran-matapelajaran tentang
ilmu pengetahuan moderen. Usaha pembaruan di bidang pendidikan ini ia
lanjutkan dengan mengadakan Konferensi Pendidikan Islam tahun 1886, 12
tahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia pada 1898.
Pada perkembangannya kemudian, ide-ide pembaruan yang dicetuskan Sir
Sayyid Ahmad Khan ini terwujud dalam suatu gerakan yang disebut Gerakan
Aligarh. Dan karena kesuksesannya dalam pembaruannya di bidang
pendidikan, M.A.O.C. pun ditingkatkan menjadi universitas pada 1920 yang
hingga sekarang dikenal dengan nama Universitas Aligarh yang berfungsi
tidak hanya sebagai produsen ilmuwan-ilmuwan Muslim India tapi juga
sebagai pusat gerakan nasionalis Islam yang mencikalbakali berdirinya
negara Pakistan.[2]
Selain dalam bentuk lembaga pendidikan, ide-ide pembaharuan Ahmad khan dituangkan melalui tulisan-tulisannya seperti Tafsirul Quran dalam bahasa Urdu dan Essays on the life of Muhammad.
Dalam karya-karya tersebut, Wilfred melihat bahwa Ahmad Khan sangat
percaya kepada Al Quran sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak,
sedangkan Hadits berada pada urutan keduanya, bahkan ia menolak
hadits-hadits yang berisi tentang moralitas sosial Islam dalam
masyarakat Islam abad pertama dan kedua, dan menolak hukum fikih yng
berisi tentang pengembangan moralitas di masyarakat berikutnya sampai
zaman empat mazhab. Dengan demikian, tulis Wilfred kemudian, bahwa Ahmad
Khan menerima hanya Al Quran dan memberikan relevansinya dengan
masyarakat baru di zamannya sendiri dan menyangkal segala sesuatu selain
Al Quran seperti otoritas para ulama, yang dianggapnya paling
menentukan dalam agamanya.[3]
Selain itu, Ahmad Khan, sebagaimana diuraikan Wilfred sangat
mengedepankan akal dalam melakukan interpretasi Al Quran yang menurutnya
sangat mirip dengan pemikiran Mu’tazilah yang sering melakukan takwil.
Mu’jizat baginya tidak pernah terjadi dan mi’raj nabi Muhammad hanyalah
sekadar visi. Al Quran sendiri diartikan olehnya sebagai karya Allah
Swt.[4]
Perlu diuraikan di sini bahwa di India, pemikiran pembaruan telah muncul
pada abad ke-18, bersamaan waktunya dengan munculnya pemikiran
pembaruan di Turki. Perbedaannya adalah bahwa di Turki, pemikiran
pembaruan dalam kerangka pemerintahan di kesultanan Utsmaniyah yang
sedang mengalami kemunduran, sementara di India, pemikiran pembaruan ini
muncul dalam kerangka kerajaan Islam Mongol yang juga telah menurun
kekuasaannya di India karena pengaruh Inggris yang mulai menjajah pada
abad ke-17.[5]
Pemikir pembaruan di India pada abad ke-18 ini di antaranya adalah Syah
Waliyullah (1703-1762) pada awalnya dan dilanjutkan oleh Sayyid Ahmad
Syahid (1752-1831) pada akhirnya memasuki abad ke-19, di mana
pembaruannya dilanjutkan dengan Sayyid Ahmad Khan yang menjadi
pembahasan kita kali ini.
2. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab India (Pakistan sekarang) pada 9 Nopember 1877[6]
dalam keluarga Islam yang taat beragama di mana ayahnya adalah seorang
sufi. Ia menempuh pendidikan formalnya pertama kali di maktab yang
dilanjutkannya ke Scottish Mission School di mana ia bertemu salah
seorang yang kemudian berpengaruh kepada pemikiran keagamaannya, yaitu
Sayid Mir Hasan.
Pada 1895, ia ke Lahore dan belajar di Government College di mana ia
bertemu oleh Sir Thomas Arnold, guru besar Universitas Aligarh dan
berkenalan dengan filsafat Barat darinya yang kemudian
merekonmendasikannya untuk belajar ke Eropa. Pada tahun 1908 ia berhasil
meraih gelah doktor dari Universitas Munich Jerman dengan tesis
tentang mistisisme Persia setelah sebelumnya berhasil mencapai gelar MA
pada Universitas Cambridge di Inggeris. Ia pun sempat menggantikan
gurunya Sir Thomas Arnold sebagai pengajar di Universitas London yang
telah berusia lanjut.[7]
Pada tahun itu pula (1908) ia pulang ke Lahore dan bekerja sebagai
pengacara. Di samping itu ia juga aktif menggubah syair-syair sehingga
ia terkenal sebagai pujangga dengan syair-syair yang menggelorakan
semangat ajaran aktivismenya yang dinamis, ajaran tentang masa depan
yang didasari nilai-nilai Islam yang sangat mengagumkan. Karirinya pun
mulai menanjak sejak saat itu di mana pada 1922 Muhammad Iqbal diangkat
menjadi seorang bangsawan dan empat tahun kemudian menjadi anggota
dewan legislatif pusat. Pada 1930 ia menjadi Ketua Liga Muslim.[8]
Ia meninggal pada 21 April 1938 setelah menderita penyakit kencing batu
sejak 1935 sebelum ide negara Pakistan yang dicetuskannya menjadi
kenyataan.
Dalam pandangan keagamaan, Iqbal membangunkan umat Islam yang menurutnya
sedang terlelap dalam tidurnya dan menyerukan kepada mereka agar
bersikap aktif dan dinamis dengan meninggalkan paham fatalisme dan
mengambil paham kebebasan. Menurut Iqbal, sebagaimana ditulis Smith,
hidup itu bukan untuk dikontemplasikan, namun harus dijalani dengan
penuh semangat.[9]
Oleh karena itu, pintu ijtihad harus dibuka kembali seluas-luasnya,
termasuk dalam lapangan fikih. Hal itu, menurut Iqbal karena sejak
masa-masa yang sangat dini dalam sejarah Islam sampai masa Daulat
Abbasiyah telah bermunculan berbagai mazhab fikih sebagai bukti
diberlakukannya ijtihad.[10]
Dalam hal ini, Iqbal mengkritisi pandangan sebagian ulama yang
memberikan persyaratan ijtihad yang sangat ketat sehingga tidak mungkin
dipenuhi yang mengakibatkan hukum Islam menjadi stagnan dan tidak
berkembang. Umat Islam pun dilanda penyakit taqlid yang berkepanjangan.
Ia mengatakan bahwa sikap pemagaran ijtihad dengan syarat-syarat yang
sangat sulit ini merupakan sikap yang ganjil dalam sistem hukum yang
didasarkan pada Al Quran yang mengandung satu pandangan hidup yang
dinamis.[11]
Seruan untuk bergaya hidup yang dinamis dan meninggalkan sikap hidup
yang pasif kepada umat Islam ini begitu kerasnya dalam tulisan-tulisan
Iqbal sehingga dapatlah dikatakan bahwa inilah inti dari seluruh ide-ide
pembaharuannya yang diarahkan kepada umat Islam. Dalam suatu syairnya,
sebagaimana dikutip Smith, Iqbal, berkenaan dengan ide dinamismenya
sampai mengatakan bahwa seorang kafir yang dinamis adalah lebih baik
daripada seorang muslim yang pasif. Berikut ini syairnya:
Seorang kafir yang berada di hadapan berhalanya dengan
Hati yang hidup (punya semangat)
Adalah lebih baik daripada orang beragama (Islam)
Yang tertidur di masjid.[12]
Namun hal itu bukan berarti rasa solidaritas Iqbal terhadap sesama umat
Islam pudar, karena, sama dengan Jamaluddin Al Afghani, ia mengaku
sebagai seorang Pan Islamis. Selain itu, ia juga sangat menekankan
ukhuwah islamiyah dalam sya’ir-syairnya. Ia menghendaki adanya suatu
jamaah Islam di mana seluruh umat Islam hidup adil dan makmur dalam satu
persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, warna kulit dan etnik
kedaerahan. Itulah yang merupakan ide Iqbal tentang negara Pakistan.
Selain itu, Iqbal sangat kritis dalam menghadapi dan menanggapi nilai-nilai Barat. Pada
satu sisi ia menerima vitalitas dan dinamisme masyarakat dalam Barat
dalam kehidupannya karena tidak bertentangan dengan Islam. Tapi, di sisi
lain, ia mengecam nilai-nilai yang destruktif dan bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, ia tidak suka dan tidak rela
meniru-niru demokrasi ala Barat. Ia sangat mengecam demokrasi Barat dan
juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia juga menggambarkan peradaban
Barat sebagai peradaban yang gelap karena kering dari nilai-nilai agama.
Dalam suatu sya’irnya yang dikutip oleh Osman Raliby, Muhammad mengecam peradaban Barat dengan menulis:
“Wahai Bangsa Barat,
Bumi Tuhan ini bukanlah toko,
Emas yang kau sangka murni kini ternyata bernilai rendah.
Kebudayaan bakal bunuh diri dengan pedangnya sendiri,
Sangkar atas dahan yang lapuk tidaklah bisa menjadi aman”.[13]
3. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada 1869, dengan nama Muhammad Darwis
dalam keluarga yang taat beragama di Kauman Jogjakarta. Sebagaimana
kebanyakan umat Islam pada waktu itu, ia tidak belajar di
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda. Namun, hal itu tidak
berarti ia tidak mempelajari ilmu pengetahuan umum. Selain belajar ilmu
agama dari ayahnya, ia juga mempelajari ilmu falak dari gurunya Raden
Dahlan dan ilmu kedokteran dari gurunya Syekh Muhammad Jamil Jambek.
Pada 1890, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekah belajar
kepada Sayyid Santa sambil menunaikan ibadah haji. Kegiatan ini
dilanjutkannya pada 1903 di mana ia belajar berbagai ilmu pengetahuan
dari gurunya Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama besar dari Minangkabau
yang juga guru Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU). Di sini, ia
berkesempatan bertemu dengan Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh dan
mempelajari karyanya yang terkenal, yaitu Tafsir Al Manar. Dari
aktivitas haji yang kedua kalinya inilah Ahmad Dahlan mulai berpikir
secara lebih mendalam tentang ide-ide moderennya dalam Islam.
Sekembalinya dari Mekah, ia memulai transformasi ide-ide
moderennya, baik sebagai guru pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah,
maupun di organisasi-organisasi. Yunus Salam menyebutkan bahwa Ahmad
Dahlan selain sebagai pedagang, juga aktif di organisasi kebangsaan Budi
Utomo sebagai salah satu pemimpinnya dan organisasi sosial Syarekat
Dagang Islam (SDI) sebagai penasehat.[14]
Karena dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh melalui
muridnya Rasyid Ridha dan tafsirnya, ide-ide moderen Ahmad Dahlan yang
termanifestasikan dalam organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan pada 12
Nopember 1912, tidak jauh berbeda dengan ide-ide pembaruan Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridlo. Ia dalam bidang keagamaan sangat mengecam
praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap menyimpang dari
nilai-nilai Islam.
Dalam bidang pemikiran, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya menggunakan
akal dalam memahami Islam. Berbeda dengan kebanyakan umat Islam pada
masanya, ia memaknai makna tauhid sebagai teologi persaudaraan yang
meliputi persaudaraan sesama umat Islam, yaitu ukhuwah Islamiyah dan
persaudaraan sesama manusia, yaitu toleransi antar umat beragama. Ide
ini ia ungkapkan didasari oleh keadaan masyarakat Indonesia waktu itu
yang sedang berada dalam penjajahan dengan tujuan agar seluruh
masyarakat Indonesia mau saling membantu mewujudkan kepentingan bersama
terlepas dari agama, etnik, suku bangsa maupun golongan. [15]
Selain itu, karena umat Islam didominasi oleh sikap taklid yang
tidak produktif, dengan gerakan Muhammadiyahnya ia menyerukan kepada
umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an dan Hadis dan membuka kembali
pintu ijtihad karena fatwa para ulama yang selama ini menjadi sandaran
bukanlah kebenaran yang mutlak tanpa kemungkinan ada kesalahan di
dalamnya. [16]
Dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan memandang perlunya ilmu
pengetahuan umum dipelajari umat Islam agar mengejar ketertinggalannya
dari Barat. Menurutnya, ilmu pengetahuan umum yang berasal dari Barat
sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan agama. Oleh karena itu, ia pun
mendirikan sekolah-sekolah yang di dalamnya terdapat perpaduan antara
ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan dunia di samping
melengkapi sekolah-sekolah pemerintah yang hanya mempelajari ilmu
pengetahuan sekular dengan ilmu pengetahuan agama.[17]
Selain menekankan pentingnya ilmu pengetahuan Barat, Ahmad
Dahlan juga menerima sistem pendidikan Barat. Hal ini bisa dilihat dari
sekolah-sekolah yang ia dirikan di mana tidak lagi merupakan
sekolah-sekolah tradisional seperti pesantren yang dilakukan di dalam
masjid atau surau. Sekolah-sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan adalah
sekolah-sekolah moderen karena sudah merupakan bangunan tersendiri yang
terdiri dari kelas-kelas sebagaimana yang diterapkan terlebih dahulu
oleh pemerintah Belanda dalam sekolah-sekolahnya.
Sistem pendidikan Barat yang diadopsi Ahmad Dahlan, selain itu adalah
jelasnya waktu belajar di sekolah. Berbeda dengan pesantren tradisional
di mana waktunya yang tidak terikat, di sekolah-sekolah yang didirikan
oleh Ahmad Dahlan, telah diketahui dengan jelas kapan tahun ajaran baru
dimulai dan kapan berakhir.
Masalah hubungan antara guru dan murid juga menjadi salah satu sistem
pendidikan yang diadopsi oleh Ahmad Dahlan. Ia, dalam sekolah-sekolahnya
menekankan bahwa hubungan antara guru dan murid bukan hubungan antara
raja dan rakyatnya di mana guru merupakan kata akhir yang tidak dapat
dikritisi apalagi dibantah perkataannya.[18]
Dalam bidang sosial, pemikiran pembaharuan Ahmad Dahlan terwujud dalam
sikapnya mengangkat martabat wanita dengan mendirikan organisasi khusus
wanita, yaitu Aisiyah lima tahun setelah berdirinya Muhammadiyah. Ia
berpendapat bahwa kedudukan laki-laki sama dengan perempuan. Oleh karena
itu, wanita juga dapat berperan dalam masyarakat dan tidak terbatas
pada perannya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, ia pun merubah
praktek sebagian umat Islam dalam pengelolaan zakat yang mengangap bahwa
kyai mapun pejabat pemerintahan berhak menerima zakat karena hal ini
bertentangan dengan Al Quran tentang para penerima zakat. Pembaharuan
dalam pengelolaaan dana zakat dengan menjalankan manajemen yang moderen
dikatakan oleh Mitsuo Nakamura dimulai sejak 1920.[19]
Pembaharuan Ahmad Dahlan dalam bidang sosial ini tercermin juga dalam
sikapnya yang sangat peduli pada anak yatim yang ia demonstrasikan
kepada para muridnya dalam memberikan pelajaran tafsir surat Al Ma’un.
Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Yunan Yusuf, Mohammad Damami dan
Muhammad Yusran Asrafi, Ahmad Dahlan waktu itu langsung memerintahkan
kepada setiap satu orang dari muridnya untuk mencari seorang anak yatim
miskin dan memberikannya seperangkat pakaian dan alat-alat mandi serta
makanan. Setelah masing-masing melaksanakan perintahnya barulah
pelajaran tafsirnya dilanjutkan.[20]
4. Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada 23 September 1919 dari seorang ayah yang
berprofesi sebagai Penghulu dan Hakim Agama pada pemerintahan Belanda
Tapanuli Selatan. Oleh karenanya, ia hidup dalam keluarga yang
berkecukupan dalam ekonomi sehingga ia pun mendapatkan kesempatan
bersekolah di HIS selama tujuh tahun. Ia juga hidup dalam lingkungan
yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan yang ia nikmati di rumah di mana
tiap hari ia mengaji dari pukul 16.00 hingga 17.00 dilanjutkan dengan
setelah shalat maghrib. Pada pagi hari ia bangun untuk melakukan shalat
Subuh berjamaah. Pada bulan Ramadlan, ia bertadarrus Al Quran hingga
pukul 24.00.
Pada 1934 Harun menempuh pendidikan di MIK, suatu sekolah
swasta Islam moderen setingkat MULO di Bukittinggi. Di sini ia mulai
mendapatkan pengaruh pemikiran moderen. Tapi karena merasa kurang
nyaman, ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu
sekolah guru Muhammadiyah (HIK) di Solo, namun tidak jadi karena
ibundanya telah merencanakan kepergiannya ke Mekah dan menjadi guru di
sana. Setelah bertemu dan berkonsultasi dengan Mukhtar Yahya, seorang
alumnus Mesir, ia lebih tertarik mengikuti saran darinya setelah
sebelumnya ia juga telah mengetahui tentang keadaan Mesir dari majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka.
Agar tidak mengecewakan ibunya, ia pun ke Mekah dan
mendalami bahasa Arab dengan niat dari sana akan terus ke Mesir. Setelah
satu tahun setengah, ia pun tiba di Mesir pada 1938 setelah mendapat
ijin dan uang dari orangtuanya di tanah air dan masuk ke Fakultas
Ushuluddin di Universitas Al Azhar setelah lulus dalam ujian ahliyyah.
Namun, karena kurang puas dengan sistem pendidikan di Al Azhar meskipun
sudah lebih moderen dibanding di Majidil Haram, ia pun melanjutkan
studinya di Universitas Amerika di Kairo. Karena masalah keuangan,
kuliah di Universitas Amerikanya terbengkalai meskipun akhirnya selesai
juga hingga tahun 1953 ketika ia disuruh pulang setelah menjadi atase di
Kedutaan Indonesia di Mesir pada 1949. Pada 1955 setelah pemilu, Harun
diangkat menjadi sekretaris Duta Besar di Belgia. Pada 1960 kembali ke
Mesir setelah keluar dari kedutaan. Ia menekuni ilmu-ilmu keislaman
kembali dengan belajar di Ad dirasat al islamiyyah. Salah satu dosennya adalah Abu Zahrah yang menurutnya moderen setelah merekomendasikan mandi dengan niat wudlu.
Namun, ia tetap tidak betah di sana dan kuliah pun dilanjutkan ke
Universitas McGill setelah mendapat rekomendasi dari Abu Zahrah pada
1962 dengan beasiswa hingga meraih MA dan dilanjutkan dengan Ph. D
pada 1968. Di sinilah Harun banyak belajar tentang Islam dari Barat
yang moderen, baik dari kalangan orientalis maupun tidak. Ia berpendapat
bahwa pengajaran Islam di Timur yang kurang kaku dan kurang rasional
harus dirubah menjadi seperti di Barat yang sangat rasional. Karena
latar belakang pendidikan agamanya, baik selama di Indonesia maupun di
Mesir begitu kuat, ia lebih terpengaruh oleh filsafat Islam, tepatnya
ilmu kalam. Dan disertasinya tentang Muhammad Abduh sebagai pemikir
moderen sekaligus muktazilah adalah bukti perhatiannya pada filsafat
Islam dan sekaligus kemapanannya dalam pemikiran moderen.
Maka dari itu, sepulangnya dari Kanada,
Harun Nasution pun mencurahkan perhatiannya pada transformasi pemikiran
Islam moderennya di Indonesia, khususnya di kalangan akademik, terutama
di IAIN sebagai pusatnya. Dalam bidang pendidikan, meskipun ide-ide
pembaruannya mengalami banyak kendala, akhirnya berhasil juga. Yang ia
lakukan adalah modernisasi kurikulum. Pada aspek ini Harun menilai bahwa
matakuliah-matakuliah umum, terutama filsafat harus diajarkan karena
matakuliah inilah yang menurutnya dapat merubah keadaan umat Islam
menjadi maju. Titik tolaknya adalah bahwa pemikiran Mu’tazilah harus
menggantikan pemikiran Asy’ariyah yang sangat dominan, karena dalam
sejarah, umat Islam maju oleh kaum Mu’tazilah.[21]
Di sini Harun Nasution, sebagaimana para
pemikir moderen lainnya, menekankan pentingnya akal dalam memahami
Islam. Akal baginya merupakan lambang kekuatan manusia dibandingkan
dengan makhluk lainnya sehingga harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Namun, keinginan mengganti teologi Asy’ariyah dengan
teologi Mu’tazilah bagi Harun bukan berarti mengedepankan akal dari
wahyu sebagaimana disalahpahami sebagian orang karena Mu’tazilah juga
menggunakan ayat-ayat Al Quran dan Hadis dalam mempertahankan pendapat
mereka. Bahkan, dengan mengutip An Nasysyar, Guru Besar Filsafat Islam
Universitas Alexandria, Harun seakan ingin mengatakan bahwa Mu’tazilah
terkenal sebagai orang-orang zahid, bertakwa dan banyak ibadah.[22]
Pemikiran moderen Harun Nasution, salah satunya diuraikan dalam buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya
yang disusun untuk keperluan IAIN dan perguruan-perguruan tinggi lain
serta masyarakat umum. Pada kurikulum IAIN tahun 1975 buku ini merupakan
matakuliah Komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa,
apa pun jurusannya. Dalam buku ini Harun mengatakan bahwa dalam
masyarakat waktu itu ada pandangan yang menganggap bahwa Islam itu
sempit, padahal sebenarnya luas. Pandangan ini, menurut Harun keliru,
oleh karenanya harus dirubah. Karena dalam Islam sebenarnya terdapat
aspek-aspek lain seperti teologi, ajaran spirituil dan moral, sejarah,
kebudayaan, politik, hukum, lembaga kemasyarakatan, mistisisme dan
tarekat, filsafat, ilmu pengetahuan dan pemikiran serta usaha-usaha
pembaharuan dalam Islam.[23]
5. Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid
lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, Kiai Abdul
Madjid, yang dikenal sebagai pendukung Masyumi adalah seorang ulama
alumni pesantren Tebuireng dan sekaligus murid dari pendiri Nahdlatul
Ulama (NU) itu. Sedangkan ibunya adalah anak Kiai Abdullah Sadjad dari
Kediri yang juga teman dekat KH. Hasyim Asy’ari. Setelah melewati
pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Nurcholish
menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968)[24],
yang dilanjutkan dengan studi doktoralnya di Universitas Chicago,
Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam
Ibnu Taimiyah dengan Fazlurrahman sebagai pembimbingnya yang sekaligus
orang yang berpengaruh dalam pemikiran moderennya di Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa,
Nurkholish aktif di organisasi mana pada periode tahun 1966-1969 dan
1969-1971 ia menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI. Ia
juga menjadi Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia
Tenggara) pada tahun 1967-1969, dan menjadi Wakil Sekjen IIFSO
(International Islamic Federation of Students Organizations) pada tahun
1969-1971.
Selain di organisasi, Nurcholish Madjid juga
aktif dalam kegiatan ceramah dan tulis menulis. Yang terakhir ini ia
mulai sejak ia masih menjadi mahasiswa pada tahun 1963 di mana ia
mengirimkan hasil terjemahannya tentang fikih Umar bin Khattab ke
majalah Gema Islam pimpinan Hamka. Setelah itu tulisannya banyak mengisi kolom-kolom di berbagai media masa di tanah air.
Tiga tahun setelah lulus dari IAIN,
Nurcholish Madjid aktif dalam bidang pendidikan dengan mengajar sebagai
dosen di almamaternya IAIN Syarif Hidayatullah, dan kemudian sejak tahun
1985 menjadi dosen pascasarjana di kampus yang sama. Ia juga aktif
sebagai peneliti di LIPI sejak tahun 1978. Dan di luar negeri beliau
juga sempat menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas McGill, Montreal,
Canada, antara tahun 1991-1992.
Ide-ide moderen Nurcholish Madjid dikemukakan secara formal pertama kali
pada 2 Januari 1970 pada acara silaturrahmi Idul Fithri atau halal
bihalal yang diadakan bersama oleh empat organisasi pemuda dan mahasiswa
muslim terkemuka waktu itu, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GPI
(Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami
(Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) dalam suatu makalah berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Dalam makalah ini, Nurcholish menyatakan bahwa pembaharuan pemikiran
Islam adalah suatu persoalan yang mendesak, karena organisasi-organisasi
Islam moderen seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis dan lainnya telah
kehilangan elan mereka yang reformis dan dinamis dalam dunia moderen.[25]
Kemudian, de-ide moderen ini pada 30 Oktober 1972
diungkapkan kembali oleh Nurcholish Madjid di dalam sebuah ceramah di
Taman Ismail Marzuki yang dihadiri para cendikiawan-cendikiawan muslim
dengan judul Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Indonesia,
berupa penjelasan lebih lanjut dengan menguraikan masalah prinsip iman,
prinsip amal saleh dan cita-cita keadilan sosial. Muhammad Kamal
mengatakan dalam disertasinya tentang modernisasi di Indonesia dan
respon para cendekiawan muslim terhadapnya bahwa ia hadir dalam acara
tersebut dan Nurcholish waktu itu mengatakan dalam menjawab sebuah
pertanyaan, bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah ada negara Islam,
yang ada pada masa Nabi dan Khalifah pertama adalah negara-negara
kesukuan.[26]
Menurut Nurcholish, pembaharuan pemikiran Islam ini dimulai dengan dua
tindakan yang antara satu dengan yang lainnya erat hubungannya, yaitu
membebaskan umat dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai
yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia atau orientasi dan kerinduan
masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa
depan. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan proses yang disebut dengan
liberalisasi dengan menerapkan sekularisasi, kebebasan berpikir, Idea of
Progress dan sikap terbuka. [27]
Berbeda dengan sekularisme, sekularisasi menurut Nurcholish bukan
berarti penerapan sekularisme, karena ini sangat bertentangan dengan
Islam. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan nilai-nilai yang
sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Tujuannya adalah untuk
memantapkan tugas duniawi sebagai Khalifah Allah di bumi, karena,
menurut Nurcholish, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam
kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini. Jadi sekularisasi di
sini menurut Nurcholish adalah desakralisasi terhadap sesuatu yang lain
(dunia) daripada sesuatu yang benar-benar transendental (Tuhan) sebab
sakralisasi kepada selain Tuhan itulah pada hakekatnya apa yang
dinamakan “syirik” .
Dalam hal kebebasan berpikir, Nurcholish menyatakan bahwa hal ini
dilakukan oleh setiap gerakan pembaharuan, baik perorangan maupun
organisasi di mana pun di dunia ini dan kita harus mantap berkeyakinan
bahwa semua bentuk pikiran atau pun ide yang umumnya dikira salah dan
palsu, ternyata kemudian benar. Oleh karena itu, umat Islam diserukan
untuk tidak ragu dan aktif mengambil inisiatif dalam berpikir bebas di
dunia ini sehingga posisi-posisi strategis tidak diambil pihak lain yang
akan merugikan kepentingan umat Islam sendiri.
Tentang
idea of progress dan sikap terbuka, Nurcholish menyatakan bahwa sebagai
umat Islam harus optimis menghadapi kehidupan dan tidak perlu khawatir
akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata nilai-tata nilai
duniawi manusia. Yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi perubahan ini,
menurut Nurcholish adalah sikap mental yang terbuka, yaitu kesediaan
menerima dan mengambil nilai-nilai duniawi dari mana saja asalkan
mengandung kebenaran. Hal inilah yang menjadikan umat Islam dalam
sejarahnya dalam mengambil warisan-warisan manusiawi baik dari Barat
(Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persi), lanjut Nurcholish,
melahirkan suatu kebudayaan dan peradaban yang dibanggakan.
[1] Wilfred Canttwell Smith, Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 9.
[2] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Penerbit Pustaka, Cet. Ke-1, 1985, h. 87.
[3] Wilfred Canttwell Smith, Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 15-16.
[4] Wilfred Canttwell Smith, Islam modern di India, Penerbit PUSTAKA, cet. ke-1, 2004, h. 17.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 175.
[6]
Sebenarnya tentang kelahiran Iqbal terdapat beberapa perbedaan. Miss
Luce Claude Maitre, Osman Raliby dan Bachrum Rangkuti mencatat bahwa ia
lahir pada 22 Pebruari 1873, sedangkan Wilfred Cant’well Smith mencatat
kelahirannya tahun 1876. Namun yang terkuat adalah pada 9 Nopember 1877
di mana KBR Islam Pakistan memeringati 100 tahun kelahirannya pada
tanggal 9 Nopemmber 1977. Lihat Drs. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam, h. 44.
[7] Drs. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam, h. 47.
[8] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, tahun 2004, h. 112.
[9] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke-1, tahun 2004, h. 113.
[10] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, cet. ke-3, 1983, h.223.
[11] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang,cet. ke-3, 1983, h. 205.
[12] Wilfred Cantwell Smith, Islam Modern di India, Penerbit Pustaka, cet. ke 1, 2004, h.115.
[13] Osman Raliby dalam Sedikit Tentang Iqbal dalam Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, cet. ke-3, 1983, h. 15-16.
[14] Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, h. 10.
[15] Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Penerbit Fajar Pustaka Baru, Cet. ke-1, 2000, h. 62-63.
[16] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (1900-1942), LP3ES, Cet. ke-7, 1994.
[17] Lihat Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, h. 68-70 tentang pembaruan gerakan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
[18] Aip Aly Arfan, Perkembangan Gerakan Muhammadiyah, 1912-1945, h. 70-72.
[19] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Gajah Mada University Press, 1983.
[20] Lihat Muhammad Yunan Yusuf dalam Teologi Muhammadiyah : Cita Tajdid dan Realitas Sosial, h. 38-39, Mohammad Damami dalam Akar Gerakan Muhammadiyah, h. 93-94 dan Muhammad Yunan Asrofi dalam Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikirannya dan Kepemimpinannya, h. 50.
[21]
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam 70 Tahun Harun Nasution dan LSAF, Cet. Ke-1, 1989, h. 37.
[22] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Cet ke 2, 2002 h. 58.
[23] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, UI Press, Cet. 5, 1985, h. 4.
[24]
Sebelum belajr di IAIN, Nurcholish Madjid memiliki keinginan untuk
melanjutkan studinya di Universitas Al Azhar, Mesir. Namun karena
sesuatu hal ia tidak jadi ke sana. Ia pun akhirnya diberikan rekomendasi
ke IAIN oleh KH. Syukri Zarkasyi, pimpinan Gontor waktu itu melalui
salah seorang alumni Gontor karena Nurcholish tidak memiliki ijazah
negeri.
[25] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, PT Bina Ilmu, 1987, h. 117. Isi lengkap makalah ini bisa dilihat dalam lampiran buku ini.
[26] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, PT Bina Ilmu, 1987, h. 126.
[27] Lihat lampiran dalam buku Modernisasi Indonesia yang telah disebutkan di atas pada halaman 245.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar