Oleh: Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I
Sejarah Peradaban Islam adalah sebuah sejarah yang sangat panjang yang
telah berlangsung selama kurang lebih 14 (empat belas) abad lamanya. Dan
untuk menyusun perjalanan panjang umat Islam dalam sebuah tulisan
memerlukan tidak hanya referensi yang bermacam-macam, tetapi juga waktu
yang sangat panjang.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa upaya penyusunan sejarah peradaban
Islam ini menjadi hal yang mustahil dilakukan. Pada kenyataannya pun,
upaya ke arah itu telah dilakukan, baik oleh akademisi dalam maupun luar
negeri, terutama mereka yang menggeluti bidang ini.
Diktat ini dibuat bukan untuk memberikan gambaran peradaban Islam
sepanjang sejarah secara utuh, lengkap dan terperinci. Karena selain
masih banyak aspek-aspek peradaban yang kurang tergali, diktat ini pun
hanya memfokuskan pembahasannya pada sejarah peradaban Islam periode
klasiknya, yaitu sejak jaman nabi Muhammad Saw hingga periode pertama
kekhilafahan bani Abbasiyah yang dapat dikatakan sebagai masa keemasan
peradaban Islam.
Dengan segala kekurangannya, alhamdulillah
penulisan diktat ini telah selesai dengan sebaik-baiknya dan kepada
segala pihak yang telah membantu penyelesaiannya penulis sampaikan
ucapan terima kasih, semoga segala kebaikannya mendapat ganjaran
kebaikan dari Allah Swt.
Penulis
berharap diktat ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi para pembaca
yang menaruh perhatian lebih kepada sejarah Islam, terutama para
mahasiswa yang menekuni bidang sejarah peradaban Islam.
Agar penyusunan sejarah peradaban Islam dalam bentuk diktat ini dapat
menjadi lebih baik sehingga dapat dikembangkan menjadi Buku Ajar,
penulis memohon segala masukan baik berupa kritik maupun saran dari
pembaca semua.
PENDAHULUAN
A. DARI SKI KE SPI
Salah
satu matakuliah yang diajarkan secara formal di perguruan-perguruan
tinggi Islam di Indonesia adalah Sejarah Islam atau Sejarah Umat Islam.
Seiring dengan perkembangan jaman, matakuliah yang sebelumnya dikenal
dengan nama SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) ini dirubah menjadi SPI
(Sejarah Peradaban Islam). Menurut Dr. H. Jaih Mubarok, M. Ag.,
perubahan ini disebabkan oleh adanya “kegelisahan” di antara para pemikir Islam mengenai istilah teknis kebudayaan dan peradaban[1].
Kegelisahan
ini, tidak terlepas dari Ilmu Antropologi dan Sosiologi yang pada
perkembangannya telah membedakan antara kebudayaan dan peradaban.
Kebudayaan telah didefinisikan sebagai suatu tradisi historis yang
mencerminkan keimanan dan nilai-nilai keruhanian yang mendalam dan
transedental. Sedangkan peradaban didefinisikan sebagai tradisi
pengetahuan praktis yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manusia
dalam menaklukkan alam[2].Jadi,
kebudayaan adalah wujud ideal manusia, sedangkan peradaban adalah
manifestasi fisik perkembangan akal manusia berupa ilmu pengetahuan,
sistim ekonomi, sosial politik dan perkembangan teknologi.
B. KEBUDAYAAN ISLAM DAN PERADABAN ISLAM
Jika
kebudayaan didefinisikan sebagai nilai-nilai keruhanian yang mendalam,
maka kebudayaan Islam adalah nilai-nilai keruhanian transedental yang
dimiliki oleh umat Islam yang terefleksikan dalam aqidah Islam, hukum
Islam, moral Islam, pengetahuan Islam dan seni Islam.
Dan
jika peradaban adalah manifestasi fisik perkembangan akal manusia dalam
bidang ilmu pengetahuan, sistim ekonomi, politik dan perkembangan
teknologi, -sebagaimana disebutkan di atas- maka peradaban Islam adalah
manifestasi fisik perkembangan akal umat Islam berupa ilmu pengetahuan
Islam, sistim ekonomi Islam, sistim sosial politik dan kenegaraan Islam
dan teknologi Islam.
C. ISI MATAKULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
Berdasarkan
definisi di atas, dapat diuraikan di sini bahwa dalam matakuliah
Sejarah Peradaban Islam yang dipelajari adalah sejarah Islam yang
berkaitan dengan iptek Islam, institusi-institusi sosial politik dan
ekonomi Islam sejak jaman Nabi Muhammad Saw dengan segala dinamika yang
terjadi di dalamnya.
D. SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA KLASIK
Yang
dimaksud dengan sejarah peradaban Islam masa klasik di sini adalah
sejarah peradaban Islam yang dimulai sejak transformasi nilai-nilai
Islam oleh Muhammad Rasulullah Saw sebagai fondasi peradaban Islam
dilanjutkan dengan masa pembangunan peradaban Islam yang dimulai pada
masa Bani Umayah dan disempurnakan sebagai bangunan peradaban yang megah
dan kokoh pada jaman Bani Abbasiyah.
Oleh
karena itu tulisan ini akan membahas sejarah peradaban Islam sejak
agama Islam lahir melalui perantara Muhammad Saw pada tahun 612 M.
hingga masa kejayaan peradaban Islam pada jaman Bani Abbasiyah dengan
membahas terlebih dahulu peradaban Arab pra-Islam sebagai konsekuensi
logis yang harus dilakukan karena peradaban Islam lahir dan tumbuh di
negeri Arab dan agar dapat dijadikan bahan perbandingan, juga untuk
melihat sejauh mana peradaban Arab mempengaruhi dan sekaligus
dipengaruhi oleh Islam dan peradabannya.
PERADABAN ARAB SEBELUM ISLAM
A. Letak Geografis Negeri Arab
Negeri
Arab yang dinamakan Jazirah Arab oleh bangsa mereka sendiri, secara
geografis terletak di barat daya Asia yang merupakan semenanjung yang
dikelilingi laut dari tiga arah, yaitu Laut Merah, Samudera India
(Indonesia) dan Teluk Persia.
Berdasarkan pada tingkat kesuburannya, negeri ini pada umumnya adalah padang pasir (sahara/desert)
yang tidak ditumbuhi tanaman dan tidak berair. Jika dilihat pada
karakter permukaannya, sahara ini, sebagiannya ada yang berupa padang
pasir berdebu dan pasir halus, ada juga yang berupa pegunungan dan
perbukitan dan ada juga yang berupa dataran rendah dan tinggi.
Sahara-sahara
yang merupakan bagian terbesar Jazirah Arab ini menempati
kawasan-kawasan yang terletak di wilayah pesisir barat, barat daya
Sahara Syam dan wilayah Sahara Syam (Syria sekarang) itu sendiri dan
wilayah tengah. Sedangkan daerah yang bertanah subur dan hijau disebut
dengan Arabia Fellix yang membentang sepanjang pesisir Semenanjung
Jazirah Arab; pada bagian tenggara terletak negeri Yaman. Di lokasi
inilah peradaban Arab sebelum Islam yang dimanifestasikan oleh Kerajaan
Saba’ dan Ma’in tumbuh dan berdiri. Di bagian selatan terletak
Hadlramaut, penghasil kayu gaharu yang kini menjadi Ibu kota Negara
Yaman. Di bagian timur terletak negeri Al Ahsa’ yang subur yang terletak
di Teluk Persia dan di sebelah utara Yaman terletak negeri Hijaz,
lokasi kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah dan sebagai tempat
hijrahnya nabi Muhammad Saw.
Dari
kondisi alam negeri Arab di atas, para ahli Geografi Arab –sebagaimana
diringkaskan oleh Hasan Ibrahim Hasan—membagi jazirah Arab ini menjadi
lima wilayah besar:
1. Tihamah,
yaitu wilayah yang membentang sejajar dengan pantai Laut Merah mulai
dari Yanbu’ sampai Najran di Yaman. Dinamakan Tihamah, karena udaranya
yang sangat panas dan anginnya yang tenang.
2. Hijaz,
yaitu wilayah yang terletak di sebelah utara Yaman dan sebelah timur
Tihamah. Wilayah ini memiliki banyak lembah yang membentang dari Syam
sampai Najran.
3. Najed,
yaitu wilayah yang membentang di antara Yaman di sebelah selatan dan
sahara As Samarah di sebelah utara, lalu dengan wilayah Al ‘Arudl dan
dengan perbatasan Iraq. Dinamai Najed karena permukaan tanahnya yang
tinggi.
4. Yaman,
yaitu wilayah yang membentang dari Najed sampai ke Samudera Indonesia
di sebelah selatan dan Laut Merah di sebelah barat. Kemudian bersambung
dengan Hadlramaut, As Syahr dan Oman dari sebelah timur.
5. Al
‘Arudl, yaitu wilayah yang meliputi Al Yamamah, Oman dan Bahrain.
Dinamai Al ‘Arudl karena wilayah tersebut melebar antara Yaman, Najed
dan Iraq[3].
B. Keadaan Sosial, Politik dan Pemerintahan Jazirah Arab
Secara
umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Arab terbagi menjadi dua, yaitu
mereka yang hidupnya nomaden, atau selalu berpindah-pindah tempat untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan mereka yang hidupnya
sudah menetap dengan mata pencahariannya secara mayoritas sebagai petani
atau pedagang. Tapi, baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam
budaya yang sama, yaitu budaya kesukuan. Hubungan politik yang terjadi
di antara mereka sangat menekankan rasa kesukuan ini, di mana loyalitas
dan solidaritas kepada suatu suku merupakan sumber kekuatan bagi suku
tersebut. Oleh karena itu di antara mereka kerap terjadi peperangan.
Perang-perang
ini sering terjadi karena adanya perselisihan dalam memperebutkan
kepemimpinan dan persaingan dalam memperebutkan sumber mata air dan
rumput untuk binatang gembalaan. Di antara sekian banyak perang, Hasan
Ibrahim Hasan menyebut 3 (tiga) perang yang menurutnya sangat terkenal,
yaitu perang Al Basus, perang Dahis dan Ghubara’, dan perang Fijar[4].
Peperangan
yang terjadi terus menerus ini secara tidak langsung berakibat pada
rendahnya kualitas kebudayaan dan peradaban mereka di mana mereka tidak
mengenal budaya tulis menulis yang pada akhirnya peristiwa-peristiwa
sejarah yang mereka alami pun tidak banyak diketahui.
Berkaitan
dengan hal ini, Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa kurang dikenalnya
sejarah kuno bangsa Arab disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
politik dan faktor budaya. Pada faktor sosial politik, sifat masyarakat
Arab yang secara mayoritasnya adalah nomaden ini pada umumnya tidak
memiliki kesatuan politik. Mereka hidup berpisah antara kabilah yang
satu dengan yang lainnya dan di antara mereka kerap terjadi permusuhan
dan tidak mempunyai raja yang kuat. Pada faktor budaya, mayoritas mereka
tidak mengenal budaya tulis menulis, sehingga peristiwa-peristiwa yang
mereka alami tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan[5].
Dalam
kondisi politik seperti disebutkan di atas, bangsa Arab tidak memiliki
sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang ini, terutama dalam
bidang yudikatif dan pertahanan dan keamanan (hankam). Dalam bidang
yudikatif, mereka tidak memiliki peradilan, tempat memperoleh kepastian
hukum tentang suatu kasus atau memvonis suatu pelanggaran. Dalam tatanan
masyarakat Arab kuno, orang yang teraniaya secara langsung melakukan
pembalasan kepada orang yang menganiayanya dan kabilahnya jika tindakan
penganiayaan itu dianggap membahayakan, atau jika yang berbuat aniaya
telah membayar ganti rugi dengan kesepakatan kedua suku, pihak teraniaya
tidak berhak menuntut pembalasan atas tindakan aniasya yang
diterimanya. Sedangkan dalam bidang hankam, mereka tidak mengenal
sebutan polisi seperti yang kita kenal sekarang sebagai pelindung
masyarakat dan penjaga keamanan negeri dari bahaya dari luar. Kondisi
ini, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, tidak berbeda dengan yang
terjadi di lingkungan masyarakat Jerman pada abad pertengahan[6]
Namun,
hal ini tidak berarti bahwa bangsa Arab kuno sepanjang sejarahnya tidak
memiliki peradaban yang tinggi. Karena, selain keadaan politik yang
telah diuraikan di atas jazirah Arab juga mengalami masa-masa
kejayaannya sebelum kehadiran Islam. Hal ini ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan besar di jazirah Arab seperti kerajaan Saba’, kerajaan
Himyar, kerajaan Ghassan dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara
tentang keadaan politik jazirah Arab terasa tidak lengkap tanpa
deskripsi tentang kerajaan-kerajan bersejarah di atas.
Dalam
bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam versi Indonesia, Hasan Ibrahim
Hasan menguraikan 6 kerajaan yang ada pada masa Arab pra Islam. Uraian
singkat tentang kerajaan-kerajaan ini adalah sebagai berikut:
1. Kerajaan Ma’in
2. Kerajaan Saba’
3. Kerajaan Himyar
4. Kerajaan Hirah
5. Kerajaan Ghassan
6. Kerajaan Hijaz (Mekah)
1. Kerajaan Ma’in
Berdasarkan
petunjuk yang dikemukakan dalam prasasti dan Taurat serta berita yang
ditulis oleh sebagian sejarawan Yunani, sebagaimana ditulis Hasan
Ibrahim Hasan, kerajaan Ma’in berdiri antara tahun 1200-600 SM yang
merupakan kerajaan yang kuat dan sangat kaya melebihi kerajaan Saba’
yang kisahnya lebih terkenal dalam sejarah. Para rajanya berasal dari Irak yang mencari tempat subur untuk dijadikan tempat tinggal di Yaman[7].
Kerajaan
ini berlokasi di wilayah yang disebut Al Jauf, sebelah tenggara
Shan’a’, Yaman Selatan, di antara Najran dan Hadlramaut. Ibukotanya
adalah Al Qarni yang kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah Quthban,
Hadlramaut dan Melukh hingga bagian utara Jazirah Arab. Ahmad Fuad Pasya
menulis bahwa kerajaan ini melakukan hubungan dagang dengan Mesir
dengan mengekspor kemenyan dan wewangian yang digunakan dalam
rumah-rumah peribadatan.[8]
2. Kerajaan Saba’
Kerajaan
Saba’ berdiri di antara masa kerajaan Ma’in dan Quthban yang mulai
tampak kekuasaannya di akhir masa kerajaan Ma’in, ditandai dengan
berpindahnya kekuasaan kerajaan tersebut kepada penguasa Saba’. Wilayah
kekuasaannya meliputi pantai Teluk Persia di sebelah timur sampai ke
Laut Merah di sebelah barat. Dengan berpindahnya kekuasaan kepada
penguasa Saba’, maka secara otomatis wilayah bagian selatan Jazirah Arab
yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasan Ma’in menjadi wilayah kekuasan
Saba’. Usia kerajan ini diperkirakan mencapai 835 tahun sejak 950-115
SM[9].
Kerajaan
Saba’ berakhir ditandai dengan jebolnya bendungan Ma’rib yang menjadi
tumpuan utama ekonomi pertanian masyarakat Saba’ dan sumbangan terbesar
kemajuan bangsanya. Peristiwa bobolnya bendungan Ma’rib ini bagi para
sejarawan, khususnya sejarawan Arab merupakan faktor utama penyebab
runtuhnya kerajaan Saba’. Sedangkan menurut sebagian orientalis,
sebagaimana dikutip Hasan Ibrahim Hasan, bobolnya bendungan Ma’rib
justeru merupakan akibat dari kelalaian suatu bangsa yang sedang
mengalami kemunduran. Tidak masuk di akal suatu peradaban yang begitu
besar akan lenyap dalam seketika hanya karena bobolnya suatu bendungan[10].
Berkenaan
dengan bobolnya bendungan Ma’rib yang merupakan peristiwa bersejarah
yang terjadi pada kerajaan Saba’ ini, Al Quran mendeskripsikannya
sebagai siksa yang diturunkan Allah Swt kepada penduduk Saba’[11].
3. Kerajaan Himyar
Kerajaan
Himyar berdiri sekitar tahun 115 SM tepat pada saat runtuhnya kerajaan
Saba’ yang pada awalnya hanya menguasai wilayah Quthban yang terletak di
antara kerajaan Saba’ dan Laut Merah. Namun setelah itu, kerajaan ini
memperlebar wilayah kekuasaannya dengan menduduki wilayah kekuasaan
kerajaan Saba’. Dengan demikian, maka kerajaan Himyar menjadi pewaris peradaban bangsa Saba’ dan Ma’in yang hadir sebelumnya[12].
Ahmad
Fuad Pasya mengatakan bahwa tentara kerajaan Himyar ini mencapai
wilayah Cina di bagian timur dan Qanstantinopel dan Roma di bagian
barat. [13]
4. Kerajaan Hirah
Kerajaan
Hirah terletak pada jarak tiga mil dari kota Koufah, di tepi danau
Najef, sebagai pusat kaum Syi’ah sampai hari ini. Daerah ini merupakan
tempat yang subur karena dialiri oleh anak sungai Euphrat. Penduduknya
sejak abad ketiga Masehi terdiri dari tiga bangsa, yaitu bangsa Tanukh
yang mendiami wilayah barat sungai Euphrat, bangsa Ibad yang mendiami
wilayah kota dan bangsa Ahlaf yang merupakan bangsa pendatang dan bukan
dari bangsa Tanukh maupun Ibad[14].
Kerajaan
ini mengalami kemunduran setelah dilanda beragam bencana dan setelah
para kaisar dari keluarga Sasanid, penguasa imperium Persia juga
mengalami kemunduran. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah
terbunuhnya raja Al Munzir bin Maussama Al Lakhami yang disusul dengan
kematian puteranya di tangan Al Harits bin Abu Syamr Al Ghassani dalam
perang Murj Halimah pada tahu 570 M. Selain itu goncangan yang terjadi
dalam tubuh keluarga kerajaan yang memperebutkan kursi dan mahkota
kerajaan juga ikut menjadi faktor runtuhnya kerajaan Himyar[15].
5. Kerajaan Ghassan
Sejarah
kerajaan Ghassan dimulai ketika orang-orang Azad meninggalkan Yaman
setelah bendungan Ma’arib bobol, di mana di antara mereka ada yang
menuju Syam (Siria sekarang). Mereka menetap di sebuah daerah dekat mata
air yang bernama Ghassan, oleh karenanya mereka pun dipanggil dengan
sebutan Uzd Ghassan. Ketika orang-orang Adh Dhaja’ah sebagai penduduk
asli setempat dalam keadaan lemah, maka Uzd Ghassan pun berhasil
menancapkan kekuasaannya dengan mendirikan kerajaan yang dikenal dengan
kerajaan Ghassan[16].
Setelah
berkuasa selama 85 tahun, akhirnya kerajaan ini berakhir setelah
diserang oleh kerajaan Persia sebagai musuh besarnya pada tahun 613 M
(waktu nabi Muhammad telah mendirikan negara Madinah) dan tidak
dibiarkannya Bani jafnah sebagai pemilik kekuasaan kerajaan Ghassan
untuk bertahan pada wilayah yang selama ini berada di bawah kendali
kekuasaannya[17].
6. Kerajaan Hijaz (Mekah)
Dalam
sejarah, negeri Hijaz adalah suatu negeri yang bebas dari penaklukan
dan penjajahan bangsa asing, meskipun banyak raja, baik dari kerajaan
Persia maupun pada masa Iskandar Zulkarnaen yang berhasrat untuk
menaklukkannya. Sifat kemerdekaan dari bangsa asing ini oleh Sidillot
yang dikutip oleh Hasan Ibrahim Hasan menjadikan negeri Hijaz memiliki
karakteristiknya sendiri yaitu darah keturunan yang murni, nenek moyang
yang mulia dan tanah air yang suci[18].
Kaum
Amaliq adalah orang-orang yang pertama menetap di Mekah, disusul dengan
kabilah Jurhum pada generasi keduanya. Pada masa Jurhum inilah ka’bah
(Baitullah) berada di bawah kekuasaan nabi Ismail yang tinggal bersama
ibunya Sarah dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan mereka.
Sepeninggalnya, Baitullah berada di bawah kekuasaan Tsabit putera
sulungnya. Pengawasan terhadap Baitullah berpindah ke tangan para
pemimpin Jurhum sepeninggal Tsabit dan berlanjut hingga tahun 307 M.
Namun karena kerusakan yang dibuat oleh para pemimpin Jurhum setelah
kekuasaannya meluas, kabilah Khuza’ah yang datang dari Yaman setelah
peristiwa banjir ‘Arim mengambil alih kekuasaan dan mengusir kabilah
Jurhum dari Mekah dengan dibantu anak cucu Kinanah.
Setelah
berkuasa selama kurang lebih 300 tahun, kekuasaan pun berpindah ke
tangan kabilah Quraisy di bawah kepemimpinan Qushay bin Kilab yang
perlahan-lahan menguat dan berhasil menguasai Mekah pada tahun 440 M
sehingga jabatan As-Siqayah, Al Hijabah, Ar Rifadah dan Al Liwa menjadi
wilayah kekuasaanya, padahal sebelumnya tidak pernah satu orang pun
penguasa Mekah yang menghimpun seluruh jabatan tersebut seorang diri.
Sepeninggal Qushay kepemimpinan terus bergulir di antara kabilah Quraisy
hingga Abdul Muthalib, kakek nabi Muhammad sebagai penggali sumur
Zamzam agar kembali berfungsi. Pada masanya Allah Swt telah menghinakan
Abrahah Al Asyram dari Habasyah (Ethiopia sekarang) ketika hendak
menghancurkan Ka’bah [19].
C. Keadaan Ekonomi Masyarakat Arab.
Bangsa
Arab kuno sebelum kelahiran Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan di bidang ekonomi yang didominasi oleh perdagangan.
Pada waktu itu penduduk Saba’ di bawah kendali kerajaan Saba’ dikenal
sebagai orang-orang sukses dalam meraih materi dan harta kekayaan
duniawi berkat keahlian mereka dalam berdagang, terutama dari hasil
berdagang wangi-wangian seperti kayu gaharu yang banyak dipergunakan di
tempat peribadatan di Mesir dan Habsyi serta di negeri-negeri lainnya.
Kafilah dagang kaum Saba’ membawa kayu gaharu dan hasil-hasil bumi Yaman
lainnya ke bagian utara Jazirah Arab. Selain Saba’, Yaman di bawah
kendali kerajaan Himyar juga merupakan daerah transit untuk perdagangan
yang menghubungkan satu negeri dengan yang lainnya.
Namun,
setelah negeri Yaman dijajah oleh bangsa Habasyah dan kemudian oleh
bangsa Persia, maka kaum penjajah itu dapat menguasai perdagangan di
laut. Akan tetapi, perdagangan dalam jazirah Arab berpindah tangan ke
penduduk Mekah karena kaum penjajah itu tidak dapat menguasai bahagian
dalam jazirah Arab.
Maka
dari itu, berbicara tentang perdagangan pada masa ini, selain Yaman
–sebagaimana telah disebutkan di atas-- salah satu kota penting yang
dapat disebut di sini adalah Mekah, yaitu suatu kota yang dilalui jalur
perdagangan ramai yang menghubungkan antara Yaman di Selatan dan Syria
di Utara terutama pada bulan-bulan Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram.
Kota Mekah menjadi pusat perdagangan antara Yaman dengan Syam dan
Habasyah. Ketika tanah Mekah hanya merupakan tanah gersang berbatu dan
tidak berair dan tidak ditumbuhi oleh tanaman, penduduknya dikaruniai
kelebihan dibanding bangsa lain yaitu aktivitasnya dalam bidang
perdagangan. Di samping itu, masyarakat Mekah disenangi atau memiliki
tempat khusus di hati bangsa Arab lainnya mengingat kedudukannya sebagai
pemelihara dan penjaga Ka’bah. Ditambah lagi dengan letak Mekah yang
strategis dari sisi geografis yaitu di tengah-tengah antara Yaman di
selatan dan Syam di utara.
Selain
faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada faktor lain yang
menjadikan Mekah memegang kendali peranan dalam perdagangan. Faktor
tersebut adalah banyaknya orang-orang Yaman yang telah berpindah ke
Mekah, sedang mereka memiliki pengalaman luas di bidang perdagangan.
Dari
penduduk Arab, kafilah dagang yang paling terkenal adalah kafilah
dagang Quraisy. Mengenai kafilah ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis:
Kafilah
dagang Mekah dapat menjelajahi berbagai penjuru jazirah Arab seperti
Bangsa Yaman. Mereka berhasil membawa barang dagangannya sampai ke
Ghaza, Baitul Maqdis, Damaskus bahkan sampai menyeberangi Laut Merah
menuju Habasyah. Pelabuhan Jeddah yang berjarak 40 mil dari Mekah
merupakan jembatan penghubung antara Mekah dan Habasyah. Selanjutnya
barang dagangan dari Mekah ini diperdagangkan pula melalui pelabuhan
Jeddah ke Al Qhatif di Bahrain dan sekembalinya dari sana perahu-perahu
niaga mereka dipergunakan untuk membawa permata yang ditambang di
sekitar Teluk Persia sampai ke muara sungai Euphra Kafilah-kafilah
dagang Quraisy ini membawa barang dagangan dari pasar-pasar di Shan’a’
dan dari pelabuhan Oman serta Yaman berupa minyak wangi dan kayu gaharu
yang banyak dipergunakan di rumah-rumah peribadatan, gereja-gereja dan
istana-istana di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut Putih (Laut
Tengah). Mereka juga membawa barang-barang seperti kain sutera, kulit,
senjata, logam mulia yang dibeli di pelabuhan-pelabuhan Yaman sebagai
barang yang berasal dari China, India dan negeri-negeri Timur lainnya.
Kemudian kafilah-kafilah tersebut dari pasar Bushra dan Damaskus membawa
gandum, benda-benda hasil kerajinan tangan, minyak zaitun, biji-bijian,
kayu dan barang-barang yang terbuat dari kaca. Sedang dari Habasyah,
kafilah-kafilah ini membawa rempah-rempah. Sedangkan dari Mesir mereka
membawa kain tenun yang sangat terkenal yaitu kain tenun Qibthi. .[20]
Dengan kalimat-kalimat yang berbeda, A. Syalabi, tentang perdagangan yang dilakukan kafilah dagang Arab ini menulis:
“Dari
San’a’ kota-kota pelabuhan di Oman dan Yaman, kafilah-kafilah bangsa
Arab membawa minyak wangi, kemenyan, kain sutera,barang logam, kulit,
senjata dan rempah-rempah. Barang-barang perniagaan yang disebutkan ini
ada yang dihasilkan di Yaman dan ada pula yang didatangkan ke kota-kota
pelabuhan itu dari Indonesia, India dan Tiongkok. Oleh kafilah-kafilah
itu barang-barang ini dibawa ke pasar-pasar di Syam. Minyak wangi dan
kemenyan amat diperlukan di negeri-negeri yang terletak di sekitar Laut
Tengah, dipakai di candi-candi, gereja-gereja, istana-istana raja dan
rumah orang-orang kaya. Di waktu kembali, kafilah-kafilah itu membawa
gandum, minyak zaitun, beras, jagung dan tekstil dari Mesir dan Syam.” [21]
Secara
teratur kafilah dagang Arab ini mengadakan perjalanan dagang dua kali
dalam setahun, yaitu perjalanan di musim dingin ke Yaman dan di musim
panas ke Syam. Keempat anak Abdu Manaf dengan aktif melakukan perjalanan
niaga ke berbagai negeri; Hasyim selalu berdagang ke Syam; Abd Syams ke
Habasyah; Abdul muthalib ke Yaman dan Naufal ke Persia. Para pedagang
Quraisy di bawah lindungan keempat anak Abd Manaf ikut aktif mengikuti
jejak mereka dan berkat lindungan tersebut mereka tidak ada yang berani
mengganggu. Tentang aktivitas perdagangan ini, Allah Swt mengabadikannya
dalam Al Quran.[22]
Berkat
aktivitas dagang ini, banyak masyarakat Quraisy yang menjadi
orang-orang kaya, mereka di antaranya adalah Abu Sufyan, Walid ibn al
mughirah dan Abdullah ibn Jud’an. Yang terakhir ini, saking kayanya
telah mempersenjatai seratus tentara Quraisy secara lengkap dalam perang
Al fijar[23].
D. Keadaan Ilmu Pengetahuan Arab
Aktivitas
perdagangan yang dilakukan bangsa Arab, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya berimbas ke aspek lain yang berhubungan dengan hal-hal yang
sifatnya nonmaterial, seperti aspek kerohanian kesusasteraan dan ilmu
pengetahuan. Hubungannya dengan Syam, Habasyah, Persia, Romawi sebagai
pemilik peradaban tinggi pada waktu itu telah membantu mereka menjadi
orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan dan wawasan tentang hal
ihwal bangsa-bangsa dalam aspek politik, sosial dan kesusasteraan yang
sangat berpengaruh dalam mencerdaskan akal pikiran dan kemajuan bagi
mereka. Kehidupan Intelektual Arab pun cukup tinggi ditandai dengan
adanya ilmu-ilmu seperti Ilmu Bintang, Ilmu Iklim dan Ilmu kedokteran
meskipun masih dalam taraf yang sederhana.
Dalam
bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab dapat dikatakan sebagai
bangsa yang sangat maju. Mereka memiliki bahasa yang indah dan kaya.
Berkenaan dengan kepandaian berbahasa bangsa Arab ini, A. Hasjmi
mengatakan:
Telah
menjadi kelaziman dari orang-orang Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan
majlis atau nadwah (klub) di tempat mana mereka mendeklamasikan sajak,
bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenallah
dalam kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di
samping Ka’bah.
Di
samping itu, mereka mengadakan Aswaq (Pekan) pada waktu tertentu, di
beberapa tempat dalam negeri Arab. Tiap-tiap ada sauq berkumpullah ke
sana para saudagar dengan barang dagangannya, penyair dengan
sajak-sajaknya, ahli pidato dengan khutbah-khutbahnya, dan sebagainya”.[24]
EVALUASI
- Uraikanlah letak geografis negeri Jazirah Arab!
- Bagaimana keadaan politik, sosial dan pemerintahan Arab pra Islam?
- Bagaimana pula keadaan ekonominya?
- Apakah ilmu pengetahuan Arab telah berkembang?
PERADABAN ISLAM
MASA RASUL DAN KHULAFAURRASYIDIN
Islam
hadir di tengah masyarakat Arab pada saat usia Muhammad 40 tahun ketika
beliau menerima wahyu Allah Swt untuk pertama kalinya dengan perantara
malaikat Jibril sebagai tanda kerasulannya yang disusul kemudian oleh
wahyu kedua yang menjadi awal aktivitas dakwah beliau sebagai nabi dan
rasul[25]. Pada saat itulah, secara tidak langsung, keadaan sosial dan politik masyarakat Arab mulai berubah.
A. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM
1. Dakwah Islam dan politik
Pada
masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw melancarkan dakwah secara
sembunyi-sembunyi. Hal ini, selain karena belum adanya perintah untuk
berdakwah secara terang-terangan, juga karena lingkungan yang secara
politis belum kondusif. Pada masa ini, yang menerima dakwah Nabi untuk
memeluk Islam adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat seperti
isterinya sendiri, Khadijah dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib.
Kemudian dilanjutkan dengan para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu
Bakar As-Shiddiq yang kemudian diikuti oleh kelima orang lainnya, yaitu
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqasy, Abdurrahman
bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Setelah itu, para tokoh Quraisy
lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Al Arqam bin Abi Al Arqam
yang dilanjutkan dengan orang-orang dari kalangan hamba sahaya dan
fakir miskin. Mereka inilah yang disebut dengan kelompok As-Sabiqun al
awwalun[26].
Setelah
kurang lebih 3 (tiga) tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, turun
perintah Allah Swt kepada Nabi agar melakukan dakwah secara
terang-terangan. Tentunya, selain karena perintah Allah di atas, keadaan
politik Islam waktu itu sudah menguat, meskipun masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, Nabi pun dengan keberaniannya yang luar biasa dan gaya
bahasa yang meyakinkan mengatakan kepada keluarga Abdul Muthalib pada
suatu undangan makan yang dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau
berkata: “Wahai Bani Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya saya tidak
pernah mendapatkan seorang Arab pun yang datang kepada kaumnya dengan
membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian.
Sesungguhnya saya datang membawa kebaikan untuk kalian di dunia dan
akhirat” [1].
Namun,
hal ini bukan berarti dakwah Nabi berjalan tanpa hambatan. Bahkan sejak
diproklamirkannya dakwah Islam secara terang-terangan, kaum Quraisy
yang sebelumnya kurang memberikan respon negatif, berubah secara drastis
menjadi memusuhi Nabi dan menentang dakwah yang dijalankannya itu.
Secara keagamaan, mungkin pengaruh yang ditimbulkan oleh dakwah secara
terang-terangan ini tidak sebesar pada aspek politik, selain tentu saja
materi. Kaum Quraisy merasa khawatir jika dakwah Islam semakin diterima
oleh masyarakat Arab akan berpengaruh pada kehancuran agama mereka yang
diwariskan secara turun temurun dan juga keuntungan materi yang didapat
sebagai imbalan dari posisi penjaga dan pengaman Ka’bah. Oleh karena
itu, segala daya dan upaya dilancarkan oleh kaum Quraisy untuk
membendung dakwah Nabi, dari hanya sekadar mengejek hingga menyiksa
sahabat-sahabat beliau.
Keadaan seperti ini tentu sangat memukul hati dan kejiwaan Nabi dan para sahabat beliau yang lain. Untung
saja ada Abu Thalib, paman beliau yang selalu menolong dan melindungi
dakwahnya. Keberadaan Abu Thalib di sisi Nabi sangat mempengaruhi dakwah
Islam karena kedudukannya secara politis di mata kaum Quraisy sangat
tinggi sehingga bagaimanapun sepak terjang Nabi yang membuat geram kaum
Quraisy dapat terlaksana tanpa adanya hambatan dan dakwah Islam pun
terus berjalan.
2. Hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan Perlindungan Politik
Kalau
sepak terjang nabi Muhammad Saw dalam dakwah Islam berjalan tanpa
hambatan berarti, lain halnya yang terjadi dengan para sahabat beliau.
Para kafir Quraisy melancarkan penolakannya terhadap dakwah Islam dengan
menyiksa para sahabat Nabi seperti Ammar bin Yasir dan kedua orang
tuanya yang dijemur di tengah teriknya sinar matahari dan Bilal bin
Rabah yang selain muka dan punggungnya ditimpakan ke pasir panas di
terik matahari, juga dadanya dibebani batu besar.
Melihat
keadaan para sahabatnya yang memprihatinkan itu, Nabi pun menyarankan
mereka untuk melakukan hijrah ke Habasyah. Sebenarnya banyak tempat yang
bisa jadi alternatif lokasi hijrah, namun setelah dipertimbangkan
dengan matang, akhirnya pilihan jatuh kepada Habasyah. Dan pilihan
Habasyah sebagai tujuan hijrah dilakukan karena alasan politis karena
rajanya pada waktu itu, Negus, adalah seorang yang terkenal adil dan
bijaksana meskipun beragama Nasrani sehingga diharapkan dapat melindungi
para sahabatnya dari gangguan kaum Quraisy. Adapun kaum muslimin yang
berhijrah ke Habasyah untuk mendapatkan perlindungan politik ini pada
awalnya berjumlah 14 orang, 10 laki-laki dan 4 perempuan. Kemudian
bertambah menjadi 83 laki-laki dan 19 perempuan di luar anak-anak yang
keseluruhannya berasal dari kaum Quraisy. Di antara mereka terdapat
Utsman bin Affan dan isterinya Ruqyyah binti Rasulillah, Zubair bin Al
Awwam, Abdullah bin Auf, Ja’far bin Abi Thalib beserta isterinya dan
‘Amr bin Sa’id bin Al ‘Ash bersama saudaranya Khalid bin Sa’id bin Al
‘Ash[2].
Sebagaimana
yang diperkirakan oleh Nabi, pilihan politik Habasyah sebagai tempat
hijrah adalah pilihan yang sangat tepat. Karena, meskipun kaum kafir
Quraisy berusaha mempengaruhi Negus, raja Habasyah dengan mendatanginya
dan menjelek-jelekan kaum muslimin yang melakukan hijrah tersebut agar
melakukan pengusiran terhadap mereka, hal ini sia-sia saja. Mereka pun
pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa yang mendalam[3].
3. Hijrah ke Yatsrib (Madinah) sebagai keputusan politik
Yatsrib
adalah suatu tempat yang dihuni oleh orang-orang Yahudi yang datang
dari Palestina ketika mereka terusir pada peristiwa invasi Hadrian dan
orang-orang Aus dan Khazraj yang berasal dari salah satu suku Arab
Selatan. Di antara mereka terjalin hubungan yang kuat di mana
pemikiran-pemikiran keagamaan yang dibawa oleh orang-orang Yahudi tidak
mendapatkan penolakan sebagaimana yang terjadi di Mekah pada saat
orang-orang Quraisy menolak kehadiran Islam, meskipun mereka tidak serta
merta memeluk agama Yahudi.
Pada
tahun kesepuluh dari usia kenabian, Rasulullah dihadapkan pada
kenyataan pahit yang harus diterimanya, yaitu meninggalnya Abu Thalib,
pamannya dan Khadijah, isterinya, dua orang yang selalu membantunya
dalam mengemban misi dakwah Islam. Karena dengan wafatnya kedua orang
tersebut, berbagai derita datang silih berganti dari orang-orang musyrik
Quraisy, terutama Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Al Hakam bin al ’Ash
dan ‘Uqbah bin Abu Mu’ith bin Abu ‘Amr bin Umayyah. Menurut Hasan
Ibrahim Hasan, hal ini terjadi karena rumah mereka yang berdekatan
dengan rumah Nabi, sehingga dengan sangat berani mereka melemparkan
kotoran saat beliau sedang shalat dan menaruhnya pada makanan beliau.[4]
Kondisi
yang dialami nabi Muhammad Saw di atas membuat beliau berpikiran untuk
mencari alternatif lain demi menunjang tugas dakwah yang diembannya,
sampai akhirnya keputusan untuk hijrah pun diambil. Kota Thaif pada
awalnya menjadi lokasi hijrah tersebut. Tapi ketika mendapatkan
penolakan dari penduduk setempat yang melempari beliau dengan batu,
akhirnya beliau memutuskan untuk menjadikan kota Yatsrib sebagai pilihan
hijrah berikutnya.
Kali
ini keputusan yang diambil oleh Nabi sangat tepat karena sambutan yang
diberikan penduduk Yatsrib terhadap dakwah beliau sangat hangat. Mereka
ternyata telah mengetahui pertentangan yang terjadi antara kaum muslimin
dengan orang-orang kafir Mekah melalui orang-orang Aus yang datang ke
Mekah pada tahun kesepuluh kenabian untuk menjalin persekutuan dengan
orang-orang Quraisy guna menghadapi orang-orang Khazraj yang pada waktu
itu antara orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj sedang dalam
pertikaian di mana perang untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di
Yatsrib di antara mereka kerap terjadi, dan yang terakhir adalah perang
Bu’ats yang dimenangkan oleh orang-orang Aus. Pada waktu itu, ada yang
menerima Islam dan ada juga yang menolaknya.
Sementara
itu, orang-orang Khazraj pun mengirim utusannya ke Mekah untuk berhaji.
Di sana, keenam dari mereka bertemu dengan Nabi dan mendengarkan dakwah
beliau yang akhirnya menerimanya karena melihat kesesuaian
ajaran-ajarannya dengan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari
orang-orang Yahudi di Yatsrib. Sesampainya di Yatsrib, mereka pun
menceritakan tentang Rasulullah Saw kepada penduduk Yatsrib dan mereka
pun menerimanya dengan penuh gairah dan semangat untuk menerima dakwah
Islam.
Kondisi
politik yang sangat kondusif ini diakhiri dengan hijrahnya nabi
Muhammad Saw beserta sahabatnya ke Yatsrib. Hasan Ibrahim Hasan
menyatakan bahwa sebelum keputusan hijrah ke Yatsrib ini diambil, pada
tahun ketigabelas kenabian, beliau diundang oleh 73 (tujuh puluh tiga)
orang Yatsrib agar Nabi berhijrah ke sana dengan maksud hendak membai’at
beliau dan menjadikannya sebagai pemimpin mereka.[5]
Mengenai
pertemuan nabi Muhammad Saw dengan delegasi dari Yatsrib ini, A. Hasjmy
yang menyebut jumlahnya 72 (tujuh puluh dua) orang dengan selisih 1
(satu) orang dengan yang dikatakan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa
pertemuan tersebut melahirkan suatu ikrar yang disebut dengan “Ikrar
Aqabah” yang berbunyi sebagai berikut:
Demi
Allah, kami akan membela Engkau ya Rasul, seperti halnya kami membela
isteri dan anak-anak kami sendiri. Sesungguhnya kami adalah putra-putra
pahlawan yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar kami,
ya Junjungan”.[6]
4. Negara Madinah sebagai institusi politik
Kota
Yatsrib setelah hijrahnya nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya dari
Mekah pada tahun 622 M. diganti menjadi Kota Nabi atau Madinatunnabi
yang lebih dikenal dengan nama Madinah. Komposisi penduduk Madinah
setelah hijrah pun berubah menjadi tiga kelompok, kaum Muhajirin, yaitu
orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, kaum Anshar, yaitu
penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan kaum Yahudi, yaitu penduduk
Madinah yang tetap berada dalam agama mereka.
Dalam
komposisi yang seperti disebutkan di atas, tentunya diperlukan suatu
wadah yang dapat menampung segala aspirasi yang tumbuh dari masyarakat
Madinah yang bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam. Oleh karena
itulah, seperti ingin mendeklarasikan berdirinya negara Madinah, nabi
Muhammad Saw membuat suatu piagam yang kemudian disebut dengan Piagam
Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Akram Dhiyauddin Umari, Piagam
Madinah terdiri dari dua teks, yang pertama adalah dokumen perjanjian
dengan Yahudi dan yang kedua adalah dokumen perjanjian antara kaum
Muhajirin dan Anshar. Dengan kalimat lain, isi Piagam Madinah merupakan
keputusan politik nabi Muhammad Saw dalam mengatur hubungan sosial
kemasyarakatan, baik antara sesama muslim maupun dengan masyarakat
non-muslim dalam suatu institusi politik yang disebut dengan Negara
Madinah.[7]
Mengenai
penyebutan Madinah sebagai Negara Madinah, Jaih Mubarok melihat adanya
keselarasan antara unsur-unsur yang ada dalam suatu negara dalam
Konvensi Montevideo tahun 1993 dengan unsur-unsur yang ada di Madinah
sehingga layak disebut Negara Madinah di mana ada penduduk yang menetap,
yaitu penduduk Yatsrib yang terdiri dari Muhajirin, Ashar dan Yahudi.
Kemudian ada wilayahnya, yaitu Yatsrib atau Madinah. Ada
pemerintahannya, yaitu Nabi sebagai kepala pemerintahannya dengan masjid
sebagai pusat pemerintahannya. Dan ada hubungan dengan negara-negara
lain, yaitu hubungan dengan Habasyah (Etiopia, Mekah, dan hubungan lain
baik hubungan damai maupun perang).[8]
5. Syura Sebagai Sistem Politik
Jika
demokrasi adalah sistem politik Barat yang kini digunakan oleh sebagian
besar negara di dunia, maka sebenarnya prinsip-prinsip yang ada di
dalamnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada di
syura—untuk tidak dikatakan sama.
Dalam
Islam, syura adalah suatu sistem politik yang digunakan untuk mengatasi
problema dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pada
masa Rasul, syura ini dilakukan baik dalam lingkungan keluarga sebagai
komunitas masyarakat paling kecil hingga negara di mana Muhammad Saw
kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya, terutama yang berkenaan
dengan masalah muamalah.
Pada
masa Khulafaurrasyidin, syura juga terus dilakukan oleh para
khulafaurrasyidin, baik dalam menetapkan solusi atas
permasalahan-permasalahan sehari-hari maupun yang secara khusus
berhubungan dengan masalah politik dan kepemerintahan. Untuk yang
terakhir ini dapat kita lihat pada pemilihan mereka sebagai khalifah
sepeninggal Rasul. Tentunya, sebagai pengecualian, pembai’atan Ali yang
tidak melalui syura karena kondisi waktu itu yang mulai menampakkan
perebutan kekuasaan dengan cara-cara yang kurang bijaksana.
Ketika
nabi Muhammad Saw meninggal dunia pada tahun 632 M., beliau tidak
menunjuk salah seorang dari sahabat pun untuk menggantikan beliau
sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu para sahabat pun melakukan
syura untuk menentukan pemimpin umat Islam setelah Rasul wafat. Meskipun
syura yang dilaksanakan umat Islam terutama oleh golongan Muhajirin dan
Anshar cukup alot akhirnya dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah
pertama.[9]
Setelah
memimpin umat Islam selama 2 (dua) tahun, Abu Bakar meninggal dunia
pada 634 M. Namun sebelumnya, ketika sakit menjelang ajal tiba, ia juga
melakukan syura dengan para sahabatnya dengan menunjuk Umar bin Khattab
sebagai penggantinya sebagai khlaifah yang langsung diterima oleh kaum
muslimin. Dalam hal ini, Hasan Ibrahim Hasan menulis bahwa Abu Bakar
dalam menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya bermusyawarah
dengan para sahabat, di antara mereka adalah Abdurrahman bin ‘Auf,
Utsman bin ‘Affan, Asid bin Khudhair dan Sa’id bin Zaid.[10]
Menjelang
kematiannya karena dibunuh setelah memegang jabatan sebagai khalifah
selama sepuluh tahun sejak 634-644 M, Umar juga melakukan syura. Namun
berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menunjuk seorang sahabat sebagai
penggantinya tapi ia membentuk semacam wakil umat Islam sebanyak enam
orang sahabat dan meminta mereka memilih seorang sebagai khalifah
penggantinya. Keenam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair,
Sa’ad bin Abi Waqqasy dan Abdurrahman bin Auf. Melalui syura ini, Usman
terpilih menjadi khalifah ketiga setelah bersaing ketat dengan Ali.[11]
6. Kepolisian
Konsep
keamanan negara dan pemerintahan telah menjadi perhatian peradaban
Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin. Konsep ini menjadi lebih
sistemik dengan didirikannya sistem kepolisian pada masa Umar bin
Khattab khalifah dengan
menjalankan sistem jaga malam. Pada masa Ali bin Abi Thalib, kepolisian
menjadi lebih berkembang dengan didirikannya struktur kepolisian di mana
ada seorang kepala kepolisian yang bertanggungjawab terhadap keamanan
negara.[12]
7. Peradilan
Pada
masa Rasul belum ada lembaga yang kita sebut sekarang dengan nama
Peradilan, meskipun beliau telah mengijinkan para sahabatnya untuk
memutuskan perkara-perkara atau memutuskan hukum dalam masyarakat
berdasarkan Al-Quran, Al Hadits dan ijtihad. Di antara para hakim yang
terkenal pada masa Rasul, sebagaimana dikatakan Hasan Ibrahim Hasan,
adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin
Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas.[13] Begitu juga dengan masa Abu Bakar.
Lembaga
peradilan baru ada pada masa Khulafaurrasyidin yang didirikan oleh Umar
bin Khattab setelah Islam tersebar luas. Ia lah yang pertama kali
mengangkat hakim di wilayah-wilayah Islam. Selain mengangkat para hakim,
Umar juga telah membuat undang-undang untuk para hakim yang harus
dilaksanakan dalam menetapkan hukum. Di antaranya adalah bahwa seorang
hakim harus berlaku adil dan berpegang teguh kepada kebenaran. Hasan
Ibrahim Hasan mengatakan bahwa peradilan pada
masa Khulafaurrasyidin bersifat independen dan sangat berwibawa dan
para hakim yang diangkat adalah orang-orang yang selain luas ilmunya,
juga memiliki sifat taqwa, wara’ dan adil.[14]
B. EKONOMI ISLAM
Pada
umumnya keadaan ekonomi Islam pada masa Rasul ini tidak berbeda dengan
keadaan ekonomi pada masa Pra Islam di mana perekonomian didominasi oleh
bidang perdagangan. Karena situasi dan kondisi pada waktu itu yang
kerap dipenuhi dengan peperangan antara kaum muslimin dengan non-muslim,
maka aktivitas perdagangan ini tidak sehebat pada masa pra Islam. Ibn
Hisyam, Sejarawan muslim abad ke-3 Hijriyah, mencatat tidak kurang dari
20 perang telah terjadi antara kaum muslimin dan non-muslim selama
pemerintahan Islam di Madinah[15].
Namun
hal ini tidak berarti ekonomi Islam tidak memiliki nilai tambah jika
dibandingkan dengan peradaban Arab pra Islam. Karena Rasulullah, setelah
tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di sana telah
melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan
dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan
nilai-nilai yang digariskan dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam
kehidupan masyarakat Islam, termasuk dalam bidang ekonomi ini.
Prinsip
dan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjadi dasar penerapan ekonomi dan
keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya secara umum
ada dua yaitu:
- Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, umat Islam tidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah Swt berfirman yang artinya:
Dan
carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan di
akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kebahagiaan dunia dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.[16]
- Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah Swt banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.
Inilah
yang membedakan antara ekonomi Arab masa Islam dengan masa Pra Islam.
Selain itu, yang menjadi perbedaan antara ekonomi Arab masa Islam dan
pra Islam adalah bahwa pada masa Islam, institusi ekonomi baru
dilahirkan. Institusi ini disebut dengan Baitul Mal. Pada masa Rasul
yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang
berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan
masyarakat ini berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin
Khattab, Baitul Mal sudah merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di
Madinah sebagai pusat negara dan di provinsi-provinsi lainnya sebagai
cabangnya.
Adapun sumber keuangannya ada yang berasal dari zakat, baik zakat
fithrah maupun zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan
pokok yang dikeluarkan oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul
fithri. Sedangkan zakat harta adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum
muslimin jika harta mereka telah sampai pada nishab, yaitu jumlah
minimal harta yang diwajibkan pada seorang muslim untuk membayar zakat.
Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan yang berhak
menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang
yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang
yang berada dalam perjalanan. [17]
Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang didapat dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl
ini 4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut
berperang. Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul
beserta keluarganya dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat,
untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan lain Baitul Mal adalah Fay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah
(upeti) yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian
dari wajib militer. Pada masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika
wilayah Khaibar ditaklukkan di mana pemilik tanah yang mengelola
tanahnya diwajibkan memberikan 50 % dari hasil produksinya. Sedangkan
besarnya upeti adalah satu dinar pertahun bagi setiap orang laki-laki
yang sanggup membayarnya. Namun, perempuan, anak-anak, pengemis,
pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau sakit lainnya dibebaskan
dari kewajiban ini. [18]
Sumber
keuangan Baitul Mal juga berasal dari hasil tebusan para tawanan perang
yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar Karim menulis bahwa
Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang pada perang
Badar sebesar 4.000 dirham.[19]
Selain
itu semua, ada juga sumber keuangan Baitul Mal yang lain, yaitu harta
karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum muslimin yang meninggal tanpa
meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah, denda-denda dan pajak
khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi kekurangan keuangan negara. Untuk yang terakhir ini, Adiwarman mengatakan bahwa Rasulullah pernah menjalankannya pada saat terjadinya perang Tabuk.[20]
Dalam
hal pendistribusian harta dari Baitul Mal, pada masa Rasul yang
dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya masih sederhana
yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang sama dan
adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka
dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung
didistribusikan kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari.
Pada
masa Umar bin Khattab, karena semakin luasnya wilayah ekspansi Islam
dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan, harta
Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya disimpan baik
untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun
kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk
Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[21]
Selain
membentuk bendahara negara, untuk menertibkan pendistribusian harta
dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk departemen-departemen yang
diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4 (empat) departemen
yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer, yang berfungsi
untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat
dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang
bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat
eksekutif, Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang
mendistribusikan dana bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam
seperti juru dakwah dan keluarganya dan Departemen Jaminan Sosial, yang
berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan bagi orang-orang yang
membutuhkan seperti orang yang fakir, miskin dan menderita.[22]
Dalam
rangka menjalankan salah satu fungsi negara dalam bentuk jaminan
sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri dari Aqil bin Abi
Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk membuat laporan
sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya dari
keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para pejuang, wanita,
anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial. Jumlah
tunjangan yang diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu
golongan dengan yang lainnya. Berkenaan dengan tunjangan sosial ini
Adiwarman menulis:
Orang-orang
Mekah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham,
warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan
Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak
yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100
dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pension
berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap”.[23]
Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan keadaan ekonomi Islam tidak
mengalami perubahan yang signifikan dan sebagaimana khalifah sebelumnya,
ia tetap memperhatikan sistem pemberian bantuan dan santunan kepada
masyarakat. Namun, banyak kebijakan Usman yang menguntungkan keluarganya
sehingga menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar
kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya kekacauan politik dan
berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Ali
bin Abi Thalib, sebagai kkhalifah terakhir, meskipun negara berada
dalam suasana politik yang tidak menentu, tetap berusaha menerapkan
ekonomi Islam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat Islam. Dalam
suatu riwayat, sebagaimana ditulis Adiwarman, Ali memberikan sumbangan
sebesar 5000 dirham setiap tahun. Ia juga pernah memenjarakan Gubernur
Ray yang dianggapnya melakukan tindak pidana korupsi.[24]
Namun,
karena pertentangan politik yang begitu tajam antara pengikut Ali dan
Muawiyah, Ali menetapkan untuk menghilangkan pengeluaran untuk angkatan
laut, terutama yang berada di sepanjang garis pantai Syria, Palestina
dan Mesir karena wilayah-wilayah ini berada dalam kekuasaan Muawiyah
yang menolak kepemimpinan Ali. [25]
C. ILMU PENGETAHUAN ISLAM
Dalam
Islam, Al Quran selain sebagai sumber ajaran-ajaran agama Islam, juga
merupakan referensi pertama dan utama ilmu pengetahuan bagi umat Islam.
Hal ini karena Al-Quran berisi segala macam pengetahuan, baik berupa
pengetahuan tentang alam ghaib, seperti tentang keberadaan Allah sebagai
pencipta alam, kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, maupun
berupa ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan sosial
politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
selain perintah untuk mengenal Tuhannya dan melakukan ibadah kepada-Nya,
dalam Al-Quran juga terdapat perintah kepada manusia, para hambanya
untuk menggunakan akal pikirannya dalam mengemban tugasnya sebagai
khalifah Allah di bumi.
Setelah Al-Quran, Hadits menempati posisi berikutnya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan,
Yusuf Qardhawi menguraikan dengan sangat detail posisi Hadis yang sama
dengan Al-Quran, yaitu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang meliputi
ilmu agama dan ilmu-ilmu kemanusiaan serta alam seperti ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu fisika, ilmu lingkungan dan lain-lain[26].
Melihat peran penting ilmu pengetahuan bagi manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai pengelola alam (Khalifatullah fil ardl),
nabi Muhammad Saw sejak permulaan Islam telah diperintahkan oleh Allah
Swt untuk membaca, yaitu ketika wahyu Al-Quran yang pertama kali turun
kepadanya yang dilanjutkan dengan surat Al-Qalam (Pena) yang
mengisyaratkan perintah kepada hamba-Nya untuk menulis.
Dan
untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan wahyu yang
turun kepadanya dan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari, nabi
Muhammad Saw lalu membuka lembaga pendidikan pertama dalam sejarah
Islam, di rumah salah seorang sahabatnya yang disebut dengan Darul
Arqam. Dari sinilah
kegiatan ilmu pengetahuan Islam disebarluaskan di kalangan para sahabat
beliau. Musyrfiah Sunanto mengatakan bahwa Rasul pada waktu itu selain
mengajarkan tentang keimanan, mengajarkan bacaan-bacaan Al-Quran dan
penghayatannya, beliau juga telah mengajarkan kepandaian seperti
tulis-menulis dengan menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membuat
huruf dengan mengambil contoh dari huruf bangsa Himyar.[27]
Aktivitas
keilmuan pada masa Rasul begitu intens. Setiap kesempatan yang ada
selalu digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada saat
kemenangan umat Islam dalam perang Badar yang dipimpin Rasulullah pada
bulan Ramadlan tahun kedua Hijriyah, para tawanan yang berjumlah 70
orang, di antara mereka yang pandai menulis dapat menjadi bebas dengan
syarat mengajar anak-anak umat Islam kepandaian menulis. Yusuf Qardhawai
menulis, bahwa 1 orang tawanan mengajar 10 orang anak-anak umat Islam
di Madinah sebagai syarat pembebasan mereka. [28]
Selain
kepandaian membaca dan menulis, Rasulullah Saw juga menanamkan
kepandaian bahasa bagi para sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, Zaid
dan Nabighah bin Tsabit diminta Nabi untuk mempelajari bahasa Suryani
untuk dijadikan sebagai penerjemah.[29]
Selanjutnya,
berkenaan dengan aktivitas keilmuan ini, masjid selain sebagai tempat
beribadah, juga menjadi tempat umat Islam pada jaman Nabi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Dari sinilah lahir ilmuwan-ilmuwan
Islam terkemuka seperti Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan
pemerintahan, Ali bin Abi Thalib sebagai budayawan, Abdullah bin Umar
sebagai ahli hadis, Abdullah bin Abbas sebagai ahli tafsir dan sejarah
dan Aisyah sebagai ahli hadis. Pada masa ini, Nabi membangun dua masjid,
yang pertama adalah Masjid
Quba’ yang dibangun ketika beliau tiba di Madinah, yaitu pada tahun 622
M./ 1 H. Mesjid ini meskipun tidak begitu besar, namun arsitekturnya
menjadi model pada pembangunan masjid-masjid selanjutnya. Yang
kedua adalah Masjid Madinah yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi.
Kedua masjid ini hingga sekarang masih ada bahkan diperbesar dan
diperindah sebagai penghargaan kepada nilai-nilai historis dan peradaban
yang terkandung di dalamnya.
EVALUASI
1. Bagaimana gambaran politik, sosial dan pemerintahan Islam pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin?
2. Apa yang membedakan antara perekonomian pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin dengan masa sebelumnya?
3. Uraikan gerakan keilmuan Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin!
PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYAH
Peradaban
Islam masa Bani Umayah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib
oleh kaum Khawarij yang tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah terakhir dari Khulafaurrasyidin yang melakukan
perdamaian (tahkim/arbitrase) dalam perang Shiffin dengan pihak Muawiyah yang kemudian menjadi khalifah pertama bani Umayah pada 661 M./41 H.
Peradaban
Islam pada masa bani Umayah, tulis Hasan Ibrahim Hasan, berjalan selama
kurang lebih 90 tahun dengan 14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyah
bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Al
Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Al Walid bin Muhammad, Sulaiman bin Abdul
Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik,
Al Walid bin Muhammad, Yazid bin Muhammad, Ibrahim bin Muhammad dan
Marwan bin Muhammad. [30]
Namun dari keempat belas khalifah di atas, hanya lima saja yang
merupakan khalifah-khalifah besar menurut Harun Nasution. Mereka adalah
Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680M.), Abdul Malik bin Marwan (685-705M.),
Al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720M.), dan Hisyam
bin Abdul Malik (724-743 M.).[31]
A. POLITIK, SOSIAL DAN PEMERINTAHAN ISLAM
1. Dari Sistem Syura ke Sistem Kerajaan
Dari
kacamata politik, terutama pada penetapan kepala pemerintahan,
Peradaban Islam bani Umayah ditandai dengan adanya perubahan mendasar
yang membedakannya dari peradaban Islam masa Rasul dan
Khulafaurrasyidin, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem syura
ke sistem kerajaan di mana sang khalifah sebelum meninggal dunia berhak
menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya kelak tanpa ada seorang
pun yang berhak menghalanginya. Jadi, meskipun sang kepala negara tetap
menggunakan istilah khalifah, namun artinya sudah berbeda dengan
istilah khalifah pada masa Khulafaurrasyidin di mana seorang khalifah
tidak memiliki otoritas penuh terhadap penentuan pemimpin pemerintahan
yang akan menggantinya.
Pewarisan
kekhilafahan ini dimulai sejak khalifah bani Umayah yang pertama yaitu
Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah mengangkat anaknya sendiri, Yazid
sebagai putera mahkota berdasarkan saran yang dilontarkan oleh Al
Mughirah bin Syu’bah, Gubernur Kufah. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, Al
Mughirah bin Syu’bah menyarankan kepada Muawiyah agar mewariskan
kekhalifahan ini ke Yazid setelah mendengar berita bahwa ia akan dipecat
dan jabatannya sebagai Gubernur pada tahun 49 H. dan digantikan oleh
Sa’id bin Al Ash yang diterima oleh Muawiyah dan penobatan Yazid sebagai
putera mahkota pun dilakukan meskipun masyarakat di Madinah secara
mayoritas tidak menyetujui hal ini.[32]
Menurut
penulis, meskipun pewarisan kekhalifahan ini atas saran dari Al
Mughirah bin Syu’bah, namun sejatinya telah menjadi keinginan kuat
Muawiyah sebagai seorang politikus ulung. Hal ini bisa dilihat dari
begitu kuatnya ia mempertahankan
keputusannya tersebut meskipun tidak mendapat persetujuan dari
mayoritas penduduk Madinah. Bahkan, Muawiyah pun mengancam akan membunuh
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Al Husain bin Ali sebagai
para pemuka masyarakat Madinah jika mereka menolak keputusannya.[33]
2. Perluasan Wilayah Kekuasaan
Pada
masa bani Umayah, ekspansi Islam yang terhenti pada masa Usman dan Ali
karena konflik internal, dilanjutkan. Diawali dengan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan (661-680 M.) sebagai khalifah pertama, di
bagian Barat, Tunisia dapat ditaklukkannya dengan mengirim Uqbah Ibn
Nafi’ sebagai panglima tentaranya. Sedangkan di bagian Timur,
sebagaimana disimpulkan oleh Badri Yatim, ia menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul.[34]
Pada
masa Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M.), ekspansi ke Timur di bawah
pimpinan Al Hajjaj Ibn Yusuf dilanjutkan dengan menguasai Balkh,
Bukhara, Khawariz, Ferghana dan Samarqand melalui sungai Oxus yang
dilanjutkan dengan menaklukkan
Balukhistan, Sind dan Punjab dan Multan. Sedangkan ke Barat, ekspansi
secara besar-besaran dilakukan oleh al Walid Ibn Abdul Malik (705-715
M.) dengan mengirim Musa Ibn Nushair sebagai pimpinan tentaranya yang
dimulai dari Afrika Utara dengan menaklukkan Al Jazair dan Maroko hingga
hingga ke Spanyol di Barat Daya benua Eropa dengan pengiriman Thariq
bin Ziyad sebagai panglima perang melalui selat Gibraltar (jabal Thariq)
sehingga kota Toledo sebagai ibukota Spanyol pun dapat dikuasai. Begitu
juga kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoba yang kemudian menjadi
ibukota Spanyol Islam. Ekspansi Islam di Spanyol ini dilanjutkan oleh
Musa Ibn Nushair yang sebelumnya telah menguasai Al Jazair dan Maroko. [35]
Sebenarnya
perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa bani Umayah telah sampai ke
Perancis melalui pegunungan Piranee yang dilakukan oleh Abdurrahman bin
Abdullah Al Ghafiqi pada jaman Umar bin Abdul Aziz (717-720 M.). Namun
ekspansi ini gagal dan Al Ghafiqi pun terbunuh.
Wilayah-wilayah
kekuasaan Islam pada masa bani Umayah ini, tulis Harun, telah membuat
Islam menjadi negara yang sangat besar. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa ini telah meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak,
sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Daerah yang sekarang
disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek dan Kirgis (di Asia Tengah).[36]
3. Tumbuhnya Gerakan Politik dan Keagamaan
Pada
masa Utsman dan Ali pertumbuhan gerakan politik maupun keagamaan masih
terbatas pada individu-individu tertentu, pada masa bani Umayah
gerakan-gerakan ini berkembang menjadi kelompok-kelompok.
Berkenaan
dengan hal ini dapat dijelaskan di sini bahwa sebelum dinasti Umayah
berdiri, yaitu pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, karena
kebijakan-kebijakannya yang banyak menguntungkan pihak keluarganya saja,
sebagian umat Islam kecewa dengan kepemimpinan Utsman. Kekecewaan ini
berakhir dengan terbunuhnya Utsman dan berpindahnya kekhalifahan ke
tangan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib pun akhirnya dibunuh oleh
para pengikutnya sendiri karena kecewa atas keputusannya menerima
arbitrase yang diajukan Muawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Kekecewaan-kekecewaan inilah yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan
pemberontakan menentang pemerintah di masa Utsman dengan munculnya
oposisi Abu Dzar Al ghiffari
dan Ibn Abi Hudzaifah dan oposisi Thalhah, Az Zubair dan Aisyah di masa
Ali yang mengakibatkan terjadinya perang Jamal dilanjutkan dengan
mengkristalnya gerakan-gerakan politik dan keagamaan pada masa bani
Umayah. [37]
Adapun gerakan-gerakan politik dan keagamaan yang berkembang pada masa bani Umayah adalah sebagai berikut:
1. Syi’ah,
Syi’ah
adalah kelompok pendukung Ali bin Thalib sebagai khalifah keempat yang
menggantikan Utsman bin Affan. Kelompok yang sejatinya telah muncul
sejak masa Rasul ini semakin menguat terutama karena pihak Muawiyah dan
para pengikutnya menolak untuk membaiat Ali sebagai khalifah. Pihak
Muawiyah sendiri menganggap Ali terlibat dalam pembunuh Utsman yang
membuatnya berkeras untuk memeranginya jika tidak segera menyelesaikan
kasus pembunuhan Utsman. Akibatnya perang Shiffin pun terjadi antara
Syi’ah yang dipimpin oleh Ali dan pihak Muawiyah pada 37 H. yang
diakhiri dengan penobatan Muawiyah sebagai khalifah pengganti Ali
setelah diadakan tahkim di Daumatul Jandal di mana pada tahkim tersebut
Muawiyah mengirim Amr bin Ash, seorang ahli politik Arab dan Ali
mengutus Abu Musa yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam tahkim
tersebut, baik Abu Musa maupun Amr bin Ash sepakat untuk mengganti
khalifah Ali, namun mereka berbeda tentang siapa penggantinya. Abu Musa
memilih Abdullah bin Umar sedangkan Amr bin Ash belum menyebutkan
siapa-siapa dan dengan kecerdikannya ia pun mengukuhkan Muawiyah sebagai
pengganti Ali.[38]
Pada
masa bani Umayah, kaum Syi’ah meningkat rasa kebenciannya kepada
pemerintahan bani Umayah, sejak masa Muawiyah yang telah memerintahkan
Al Mughirah bin Syu’bah sebagai Gubernur Kufah untuk mengutuk Ali pada
setiap khutbahnya, pemberontakan-pemberontakan, hingga masa-masa
kehancuran bani Umayah.
2. Khawarij
Khawarij
adalah kelompok penentang Ali yang sebelumnya menjadi pengikutnya yang
setia. Mereka memisahkan diri dan keluar dari barisan pendukung Ali
karena tidak setuju dengan kebijakan Ali yang bersedia melakukan tahkim
dengan pihak Muawiyah yang mereka anggap pembangkang dan harus dibunuh.
Kelompok ini dianggap musuh oleh kalangan Syi’ah maupun Muawiyah karena
telah menganggap keduanya telah keluar dari Islam dan halal darahnya.
Sebaliknya kaum Khawarij, sebagaimana dijelaskan oleh Hasan Ibrahim
Hasan, lebih membenci kelompok Muawiyah dari kelompok Ali karena menurut
keyakinan mereka, Muawiyah adalah orang yang menghambur-hamburkan harta
kekayaan kaum muslimin di samping statusnya sebagai khalifah yang bukan
berdasarkan konsensus dan kerelaan kaum muslimin.[39]
3. Kelompok Ibn Zubair
Sebelumnya
telah disebutkan bahwa kelompok ini telah muncul pada masa kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib. Dan pada masa bani Umayah, meskipun selama jangka
waktu yang cukup lama dalam
pemerintahan Muawiyah nampak hilang dari peredaran, setelah penobatan
Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota, Abdullah bin Zubair pun
bangkit kembali dan menentang langkah yang ditempuh Muawiyah dan
berusaha untuk menggagalkan ketetapan penobatan tersebut yang didukung
sebagian kaum muslimin. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, dukungan kaum
muslimin kepada Abdullah bin Zubair ini disebabkan oleh empat faktor,
yaitu perpindahan kekhilafahan dari sistem syura ke sistem pewarisan,
terbunuhnya Husein bin Ali, kejamnya para pejabat pemerintahan terhadap
penduduk wilayah pemerintahan bani Umayah dan kesalehan serta ketakwaan
Abdullah bin Zubair dalam beragama.[40]
Abdullah
bin Zubair pun akhirnya menetapkan dirinya sebagai khalifah dan
menjadikan Hijaz sebagai pusat pemerintahannya. Namun, gerakan politik
yang dilakukan kelompok Ibn Zubair ini berhasil ditumpas dan ia pun mati
terbunuh dalam suatu serangan pada masa Abdul Malik bin Marwan pada 73
H.
4. Murjiah
Murjiah
adalah suatu kelompok yang lahir di Damaskus, ibukota pemerintahan bani
Umayah. Mereka adalah kelompok yang menangguhkan hukuman atas dosa yang
dilakukan oleh umat Islam. Berbanding terbalik dari pandangan Khawarij,
kelompok ini tidak mengkafirkan siapa pun dan mereka menyerahkan
ketentuan hukum yang bersangkutan kepada Allah Swt. Secara politis,
mereka adalah kelompok yang menerima pemerintahan bani Umayah. Oleh
karena itu, menurut Hasan Ibrahim Hasan, cahaya kelompok ini pun redup
bersamaan dengan runtuhnya kekhilafahan bani Umayah.[41]
5. Mu’tazilah
Mu’tazilah
adalah suatu kelompok keagamaan yang banyak menggunakan akal. Pada
perkembangannya kemudian, kelompok ini juga terlibat dalam pembicaraan
tentang politik. Dalam bidang terakhir ini, kelompok ini nampak sebagai
pendukung Ali bin Thalib (Syi’ah) yang mereka sebut sebagai Imam Pertama
Mereka. Tapi sebenarnya antara Syi’ah dan Mu’tazilah terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, terutama terutama yang
berkaitan dengan teori syi’ah yang menyatakan bahwa seorang Imam itu
terpelihara dari dosa.
4. Diwan
Perkataan diwan, sebagaimana ditulis Ibn Khaldun, berasal dari bahasa Persia “diwanah”
yang berarti catatan atau daftar. Nama ini kemudian berkembang menjadi
untuk digunakan sebagai tempat di mana diwan disimpan. Agar lebih
praktis, nama ini disingkat menjadi diwan.[42]
Diwan ini, di kalangan orang Arab didirikan pertama kali didirikan oleh
Umar bin Khattab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada
masa bani Umayah, menurut Hasan Ibrahim Hasan, diwan yang didirikan
terbatas pada empat diwan penting, yaitu Diwan Pajak, Diwan Persuratan,
Diwan Penerimaan dan Diwan Stempel di samping ada juga diwan lain yang
posisinya berada di bawah keempat di atas seperti diwan yang mengatur
keperluan polisi dan tentara.[43]
5. Barid
Karena
luasnya wilayah kekuasaan Islam sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, pada masa bani Umayah sejak khalifah Mu’awiyah telah
dibentuk suatu badan atau lembaga yang pada masa sekarang dikenal dengan
nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat maupun
dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam
pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan Barid yang telah
dijalankan oleh para kaisar Persia dan Romawi pada waktu itu. Oleh
karena itu, mengenai sebutan Barid ini ada yang mengatakan bahwa ia
berasal dari bahasa Persia, baridah yang berarti yang dipotong
ekornya, karena orang-orang Persia biasa memotong ekor kuda yang
dipergunakan sebagai barid agar bisa dibedakan dengan hewan tunggangan
lainnya. Dalam bahasa Arab sendiri, barid mengandung arti jarak yang ditempuh sejauh 12 mil yang kemudian berkembang dan dipergunakan untuk nama utusan.[44]
Abdul
Malik bin Marwan, khalifah ketiga bani Umayah (685-705 M.), karena
pentingnya Barid ini dalam jalannya roda pemerintahan, berpesan agar
tidak menahan petugas Barid yang datang untuk menemuinya baik siang
maupun malam, karena jika hal itu terjadi, berarti pekerjaan suatu
wilayah telah hancur selama satu tahun lamanya.[45]
5. Kepolisian
Pada
masa Bani umayah kepolisian mengalami perkembangan. Berbeda dari
masa-masa sebelumnya, pada masa ini terutama pada pemerintahan Hisyam
bin Abdul Malik (102-125H.) ketika dimasukkan seorang kepala yang
berwewenang meneliti tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai
penengah antara wewenang kepala polisi dan komandan militer.[46]
Pada masa ini markas kepolisian bertambah menjadi dua setelah Shalih bin Ali Al Abbasi mendirikan Darussyurthah Al ‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di Al Mu’askar pada 132 H. setelah sebelumnya telah didirikan pula Darussyurthah As Sufla, yang berlokasi di Fusthat.[47]
6. Angkatan Perang
Dalam
masalah angkatan perang, bani Umayah melanjutkan apa yang telah
dilakukan Umar bin Khattab yang telah membentuk Diwan Tentara yang
bertugas megidentifikasi nama-nama, sifat-sifat, gaji dan pekerjaan
mereka dan mengembangkannya dengan mengadopsi sistem Ta’biah dari
orang-orang Persia, yaitu membagi para tentara menjadi lima kesatuan.
Lima kesatuan ini, sebagaimana diuraikan Hasan Ibrahim Hasan terdiri
dari Jantung Tentara karena berada di bagian tengah kesatuan, Kesatuan
Kanan karena di sebelah kanan,
Kesatuan Kiri karena posisinya di sebelah kiri, Kesatuan Pendahuluan,
yaitu para penunggang kuda yang berada di depan dan Kesatuan Pengiring
yang berada di belakang kesatuan.[48]
Salah
satu perkembangan dalam bidang angkatan perang ini adalah dibuatnya
pabrik kapal laut pada tahun 54 H. setelah serangan yang dilancarkan
oleh tentara Romawi yang menyebabkan banyak kaum muslimin yang gugur.
Berkenaan dengan angkatan laut Islam ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan
bahwa bangsa Arab dalam cara berperang di laut pada mulanya meniru
bangsa Byzantium. Namun, pada perkembangannya kemudian merekalah yang
menjadi guru bangsa Eropa dalam bidang ini. Kenyataan ini seperti
ditunjukkan dalam istilah-istilah kelautan yang berasal dari bahasa Arab
dan masih dipergunakan hingga sekarang.[49]
7. Peradilan
Pada
masa bani Umayah, sebagaimana sebelumnya, para hakim yang diangkat
adalah orang-orang pilihan yang sangat takut kepada Allah Swt dan adil
dalam menetapkan suatu keputusan. Perkembangan yang terjadi adalah bahwa
pada masa ini keputusan-keputusan hakim sudah mulai dicatat. Hasan
Ibrahim Hasan mengatakan bahwa Salim bin Anas adalah hakim pertama pada
masa bani Umayah yang melakukan pencatatan ketetapan hukum.[50]
Selain itu, peradilan pada masa bani Umayah dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Al Qadla’, yaitu peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah, yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim,
yaitu lembaga tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan
hakim-hakim. Yang terakhir ini juga dipergunakan untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang belum tuntaspada pengadilan Al Qadla’ dan Al Hisbah (pengajuan
banding). Pengadilan pada Al Mazhalim ini memiliki tingkat kepentingan
yang sangat tinggi sehingga, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan,
setiap persidangan pada Al Mazhalim harus dihadiri oleh lima kelompok
persidangan, mereka adalah para pembela dan pembantunya, para hakim
penasehat, para ahli fikih, para sekretaris dan para saksi.[51]
B. Ekonomi Islam
Tidak
banyak dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam peradaban Islam
khususnya dalam bidang ekonomi Islam pada masa bani Umayah. Namun, jika
dibandingkan dengan ekonomi pada masa Khulafaurrasyidin, pada masa ini
terjadi peningkatan pemasukan keuangan seiring dengan meluasnya ekspansi
Islam di berbagai belahan dunia pada waktu itu.
Baitul
Mal yang telah didirikan pada masa Umar bin Khattab, pada masa bani
Umayah juga merupakan lembaga penting yang menentukan keuangan
pemerintahan, sehingga keberadaannya menjadi kebutuhan yang sangat
penting, terutama setelah mencapai tingkat ekonomi yang lebih maju
dibanding dengan masa sebelumnya.
Dari
bidang pajak, terutama sebelum masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz,
pemasukan Baitul Mal yang diperoleh mencapai 186.000.000 dirham. Jumlah
ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan berasal dari Irak sebanyak 130.000.000
dirham, dari Mesir 36.000.000 dirham dan Syam 20.000.000 dirham.[52]
Jika
dibandingkan dengan hasil pajak pada jaman khulafaurrasyidin, pada masa
bani Umayah lebih tinggi yang disebabkan terutama oleh kebijakan
pemerintah yang menaikkan tarif pajak. Berkenaan dengan hal ini, Hasan
Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Muawiyah menyuruh Wardan, Gubernurnya di
Mesir untuk menaikkan pajak bagi setiap orang Qibthi sebesar satu qirat
dan pada masa Abdul Malik bin Marwan pajak bagi setiap individu ini
dinaikkan tiga kali lipat menjadi 3 dinar.[53]
Pada
masa Umar bin Abdul Aziz, tarif pajak yang telah dinaikkan sejak masa
Muawiyah diturunkan kembali dan setiap individu hanya harus membayar
lebih kurang 14 Qirat saja sebagaimana yang ditetapkan oleh Umar bin
Khattab.[54]
C. Ilmu Pengetahuan Islam
Dengan
kacamata filsafat ilmu, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa
bani Umayah ini sudah lebih ilmiah dibandingkan dengan masa sebelumnya
dengan dituliskannya suatu ilmu berdasarkan sistematika dan
metodologinya masing-masing. Kemajuan yang dicapai pada masa bani Umayah
ini terkait erat dengan perkembangan yang terjadi di mana terjadi
interaksi antara peradaban Islam dengan peradaban lainnya yang telah
hadir sebelum kehadiran Islam di daerah kekuasaannya seperti peradaban
Yunani di Mesir dan lain-lain.
Interaksi
dengan peradaban Yunani nampak pada adanya usaha penerjemahan buku-buku
berbahasa Yunani oleh sarjana-sarjana muslim atas perintah sang
Khalifah. Musyrifah Sunanto menjelaskan bahwa Khalid bin Yazid, cucu
Muawiyah pada masa kekhilafahannya, karena tertarik dengan ilmu kimia
dan kedokteran menyediakan sejumlah dana untuk penerjemahan buku-buku
tersebut kedalam bahasa Arab.[55]
Sedangkan
dengan peradaban Kristen, interaksi ini terjadi ketika ilmuwan-ilmuwan
Kristen di antara mereka ada yang menjadi pejabat di pemerintahan Islam
seperti Yahya ad Dimasyqi pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan
yang teguh mempertahankan agamanya. Sebagaimana ditulis Musyrifah,
keteguhan sikap ini mendorong umat Islam untuk mempelajari logika agar
dapat mempertahankan aqidah Islam sekaligus mematahkan hujjah mereka.[56]
Selain
karena interaksi di atas, keilmuan Islam pada masa ini mengalami
kemajuan karena luasnya daerah kekuasaan Islam di mana umat Islam banyak
yang berbahasa selain Arab dan tidak memahaminya. Ditemukannya titik
dalam bahasa Arab pada masa Hajjaj Ibn Yusuf Ats Tsaqafi oleh Abul Aswad Ad Duwali adalah contoh yang dapat dikemukan pada kasus ini.
Perkembangan bahasa Arab selanjutnya adalah pada aspek tata bahasa Arab yang terjadi pada masa khalifah Harun Ar Rasyid oleh Al Khalil Ibn Ahmad yang mengarang kitab Al ‘Ain sebagai
kamus bahasa Arab pertama dan Sibawaih. Tokoh terakhir ini menulis
bukunya yang sangat terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Sibawaih,
suatu karya yang sangat baik sehingga menjadi acuan bagi para ahli
bahasa Arab yang sesudahnya seperti Al Kisa’I, Al ‘Ashmu’I, Al Akhfas
Ash-shagir dan Az Zujazi.
Selain
karena perluasan wilayah kekuasaan Islam, kefanatikan bani Umayah
terhadap bangsa Arab, juga menjadi faktor kemajuan bahasa Arab, terutama
dalam bidang sya’ir.. Oleh karena itu sya’ir-sya’ir Jahili pada masa
ini pun tumbuh dengan pesat, sehingga muncullah para ahli dalam bidang
ini, seperti Umar bin Abi Rabi’ah (w.719 M.), Jamil Al ‘Udhri (w. 701
M.), Qays bin Al Mulawwah (w. 699 M.). Al Farazdaq (w. 732 M.), Jarir (w. 792 M.) dan Al Akhtal (w. 710 M.).[57]
Keilmuan
Islam pada masa bani Umayah juga terjadi secara alami karena
perkembangan jaman di mana ilmu-ilmu yang telah dipelajari berdasarkan
Al-Quran dan Hadis perlu dibukukan sehingga memudahkan umat Islam untuk
mempelajari agamanya melalui buku-buku tersebut. Ilmu-ilmu agama tumbuh
berkembang, seperti ilmu Tafsir, ilmu Hadits, Ilmu Qiraat, Ilmu
Fiqh, Ilmu Kalam dan sebagainya, sehingga muncullah para ahli di bidang
ini, seperti Ibn Jarir At-Thabari, Hasan Al Bahshri, Ibn Syihab Az
Zuhri dan Washil bin ‘Atha’ dengan tulisan-tulisan mereka. Begitu juga
dengan ilmu sejarah yang berkembang dengan munculnya para penulis
sejarah seperti Musa bin ‘Uqbah (w.131 H.) , Ibn Syihab Az Zuhri (w. 124
H.) dan Ibn Ishaq (w.151 H.), meskipun menurut
Hasan Ibrahim Hasan kegiatan penulisan sejarah ini tidak mendapat
dukungan dari pemerintah karena para khalifah bani Umayah lebih menyukai
membaca Al-Quran daripada membaca sejarah.[58]
Faktor
ekonomi juga mempengaruhi perkembangan ilmu Islam pada masa ini.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa wilayah kekuasaan pada masa
ini sudah sangat luas sehingga tingkat perekonomian Islam pun
meningkat. Ketika perekonomian meningkat timbullah kebutuhan akan seni
yang diwujudkan dalam usaha menghiasi pembangunan kota-kota berikut
gedung-gedungnya, baik gedung pemerintahan maupun masjid di mana setiap
pembangunan masjid maupun gedung pemerintahan dengan seni kaligrafi dan
arsitektur.
Pada masa bani Umayah ini telah banyak tulisan-tulisan kaligrafi yang
menghiasi gedung-gedung dengan arsitekturnya yang indah, seperti yang
terdapat di Qashr ‘Umrah, yaitu suatu istana kecil tempat berburu yang
terletak sekitar 50 mil dari kota Amman yang dibangun pada masa Al Walid
bin Abdul Malik.[59]
EVALUASI
- Apa perbedaan yang sangat mendasar antara peradaban Islam masa bani Umayah dengan peradaban Islam pada jaman Nabi dan Khulafaurrasyidin ?
- Masa bani Umayah dapat dikatakan sebagai masa perluasan wilayah kekuasaan Islam secara besar-besaran. Uraikan ekspansi terbesar dalam sejarah Islam ini !
- Jika masa bani Umayah disebut sebagai masa ekspansi Islam, bagaimanakah perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa ini ?
PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH
Dalam
sejarah peradaban Islam, masa kekhilafahan bani Abbasiyah adalah masa
keemasan Islam di mana setiap unsur-unsur yang menjadi bangunan
peradaban Islam telah mencapai puncaknya.
A. Politik, Sosial dan pemerintahan Islam
1. Pola Pemerintahan Bani Abbasiyah
Kekhilafahan
bani Abbasiyah didirikan oleh Abul ‘Abbas pada tahun 750 M. Tapi,
menurut Harun Nasution, pembina sebenarnya adalah Al Mansur (754-775M.)
yang memindahkan ibukota pemerintahannya dari Damaskus ke Baghdad pada
762 M.[60]
Kekuasaan
bani Abbasiyah berlangsung sekitar 524 tahun dari 750 -1258 M. Dalam
rentang waktu yang sangat panjang ini kekhilafahan bani Abbsiyah
mengalami lima periode dilihat dari pola pemerintahan dan politik yang
diterapkan oleh para khalifahnya. Kelima periode ini adalah sebagai
berikut:
1. Periode Persia I, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Persia.
2. Periode Turki II, yaitu suatu periode di mana pola politik dan pemerintahan dipengaruhi oleh orang-orang Turki.
3. Periode
Persia II, di mana orang-orang Persia kembali mempengaruhi pola politik
dan pemerintahan yang sejatinya dikuasai oleh bani Buwaih.
4. Periode Turki II, di mana orang-orang Turki kembali mempengaruhi pola politik dan pemerintahan yang dikuasai oleh bani Seljuk.
5. Periode Tanpa Pengaruh selain arab. Periode ini hanya efektif di Baghdad hingga masa kehancuran peradaban Islam.[61]
Pada
periode Persia pertama yang berlangsung dari 750-847 M ini pengaruh
kerajaan Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah nampak pada corak
pemerintahannya yang otokratis dan gaya pemerintahannya yang seakan
mewakili Allah di bumi di mana khalifah diterjemahkan bukan khalifah
Rasulillah tapi khalifah Allah. Maka dari itu pada masa ini terdapat
gelar-gelar baru yang pada masa bani Umayah belum ada dengan memakai
kosakata « Allah ». seperti Al
Hakim bi amrillah dan Al Hafizh lidinillah. Menurut Abdul Mun’im Majid,
tujuan pemakaian gelar ini adalah untuk menopang kekuasaan mereka.[62]
Selain
itu, pengaruh Persia pada pemerintahan bani Abbasiyah dapat dilihat
diangkatnya pejabat pemerintahan dari orang-orang Persia. Harun Nasution
menyebutkan bahwa Pengawal Al Mansur dan Wazir, jabatan pemerintahan
baru yang membawahi depertemen-departemen dalam pemerintahan bani
Abbasiyah adalah orang-orang Persia.[63]
Sebagai
konsekuensi dari sikap condong kepada keturunan Persia, pemerintahan
bani Abbasiyah berada dalam kondisi sulit di mana terjadi kemarahan
orang-orang Arab, baik dari kalangan bani Umayah sendiri maupun dari
kalangan bani Abbas sendiri terhadap pemerintahan dengan terjadinya
pergerakan protes yang dilancarkan oleh Abdullah bin Ali, saudara
khalifah Al Manshur sendiri. Selain itu, kemarahan juga timbul dari
orang-orang Persia sendiri yang merasa berada di atas angin dan
mendapatkan kesempatan baik untuk membangkitkan kembali keturunan Ali
dengan gerakan perlawanannya yang dipimpin oleh Abu Muslim Al Khurasani.
A. Hasjmi menulis, bahwa pada akhirnya gelombang kemarahan tersebut
dapat ditangani oleh khalifah Al Manshur.[64]
Pada
periode kedua, pemerintahan bani Abbasiyah, secara politis didominasi
oleh bangsa Turki selama kurang lebih satu abad dari 847-945 M.
Pada
periode ketiga, kekuasaan politik kembali didominasi oleh bangsa Persia
selama 110 tahun hingga 1055 M. dan pada periode keempat kembali bangsa
Turki yang menguasai politik di pemerintahan bani Abbasiyah selama
kurang lebih satu setengah abad hingga 1194 M.
Sedangkan
periode kelima sebagai periode terakhir masa pemerintahan bani
Abbasiyah, pemerintahan mulai rapuh dan hanya efektif di sekitar kota
Baghdad hingga akhirnya hancur pada 1258 M.
2. Gerakan-gerakan Politik Keagamaan
Setelah
mengatasi permasalahan kemarahan sebagian rakyat yang tidak mendukung
sikap pemerintahan yang condong ke keturunan Persia, pemerintahan bani
Abbasiyah dihadapkan pada permasalahan baru, yaitu timbulnya
gerakan-gerakan keagamaan bertendensi politik selain gerakan-gerakan
yang telah ada sejak jaman pemerintahan bani Umayah. Gerakan-gerakan ini
adalah :
a. Ar
Rawandiyah, yaitu gerakan yang berasal dari keturunan Persia yang telah
masuk Islam. A. Hasjmi mengatakan bahwa gerakan mereka bertujuan untuk
memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Manuwiyah, Mazdakiyah,
Sabaiyah) ke dalam Islam untuk menghancurkan Islam.[65] Gerakan ini berhasil ditumpas oleh khalifah Al Manshur.
b. Al
Muqannaiyah, yaitu gerakan yang timbul pada masa pemerintahan Al Mahdi
dengan ajarannya bahwa Tuhan menjelma ke dalam diri manusia yang dimulai
dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, Ali bin Abi Thalib,
puter-putera Ali, Abu Muslim Al Khurasani hingga ke diri Al Muqanna.
Gerakan ini ditumpas pada jaman Al Makmun yang mengirim pasukannya yang
berjumlah 70000 orang.
c. Al
Khuramiyah, yaitu gerakan keagamaan dengan ajaran reinkarnasi yang
bertujuan untuk menghancurkan pemerintahan Abbasiyah dan memindahkan
kekhilafahan ke Persia. Gerakan ini ditumpas oleh khalifah Al Mu’tashim.
d. Az Zanadiqah, yaitu gerakan zindiq yang keluar dari ajaran-ajaran Islam yang dibangun
oleh kaum mawali dari keturunan Persia. Gerakan ini memiliki sejarah
yang panjang di mana para khalifah Abbasiyah hampir terus berhadapan
dengan gerakan ini sepanjang pemerintahannya.
e. Ahlussunnah,
yaitu gerakan keagamaan yang lahir sebagai reaksi atas
pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang dalam perkembangannya mendukung
pemerintah bani Abbasiyah.
f. Partai-partai
pendukung Ali, yaitu gerakan-gerakan politik para pendukung Ali yang
ikut membangun pemerintahan bani Abbasiyah dan bermaksud merebut
kekuasaan dari tangan para pemimpin dari bani Abbas. Karena tujuan ini,
mereka pun melakukan berbagai aksi kekerasan berupa
pemberontakan-pemberontakan di berbagai kota. A. Hasjmi menulis bahwa
mereka berkali-kali mempergunakan kekerasan bersenjata seperti
pemberontakan Muhammad bin Abdullah di Hijaz, pemberontakan Ibrahim bin
Abdullah di Irak, pemberontakan Husin bin Ali di Madinah dan
pemberontakan Yahya bin Abdullah dan saudaranya Idris bin Abdullah di
Maroko.[66]
3. Wizarah, Kitabah dan Diwan
Pada
jaman pemerintahan bani Abbasiyah terdapat dua macam Wizaarat, yaitu
Wizaratut Tanfiz di mana Wazir bekerja atas nama khalifah dan Wizaratu
Tafwidl di mana Wazir berwenang penuh dalam pemerintahan. Jabatan ini,
sebagaimana ditulis oleh Badri Yatim belum ada pada masa bani Umayah
sebagai salah satu perbedaan antara peradaban Islam masa bani Umayah dan
masa bani Abbasiyah.[67]
Untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan, dibentuk sekretariat negara yang disebut Diwanul Kitabah
yang dipimpin oleh Sekretaris Negara dibantu oleh beberapa sekretaris.
A. Hasjmi menulis ada lima sekretaris yang bekerja di bawah kendalai
Sekretaris Negara yaitu Sekretaris bidang keuangan, sekretaris bidang
persuratan, sekretaris bidang militer, sekretaris bidang kepolisian dan
sekretaris bidang kehakiman.[68]
Sedangkan Wazir, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para menteri yang membawahi departemen. Di
antara departemen-departemen ini adalah departemen keuangan, departemen
kehakiman, departemen Pengawasan urusan negara, depertemen kemiliteran,
departemen tenaga kerja, departemen perhubungan, departemen pengawasan
keuangan, departemen urusan arsip, departemen pembelaan rakyat
tertindas, departemen keamanan dan kepolisian, departeman sosial,
departemen urusan keluarga dan wanita dan departemen pekerjaan umum.
4. Tentara
Tidak berbeda dengan pada masa bani Umayah, pada masa bani Abbasiyah tentara berada di bawah Diwanul Jundi
yang terdiri dari dua angkatan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut.
Namun pada masa bani Abbasiyah, pengaturan ketentaraan ini sudah lebih
sempurna di mana kedua angkatan di atas terbagi atas empat bagian, yaitu
Arif, yaitu komandan regu yang membawahi 10 orang prajurit, Naqib, komandan kompi yang membawahi 10 Arif (100 prajurit), Qaid, komandan batalion yang membawahi 10 Naqib (1000 prajurit) dan Amir, panglima divisi yang membawahi 10 Qaid (10.000 prajurit).
Dalam
banyak kesempatan, khalifah bani Abbasiyah, sebagaimana ditulis A.
Hasjmi, menyerahkan pimpinan negara kepada panglima besar, terutama
dalam keadaan darurat. Panglima besar yang diserahi pimpinan oleh
Khalifah ini dikenal dengan sebutan Amirul Umara.[69]
5. Peradilan
Jika
pada masa Khulafaurrasyidin dilanjutkan dengan masa bani Umayah
peradilan pada masa bani Abbasiyah telah banyak dipengaruhi oleh
politik. Selain itu perkembangan yang terjadi pada masa bani Abbasiyah
ini nampak dari diadakannya jabatan baru yaitu Jaksa Penuntut Umum dan
dibentuknya Diwan Qadli al Qudlat atau Mahkamah Agung. Organisasi peradilan pun berubah menjadi sebagai berikut:
1. Mahkamah Agung yang membawahi semua badan-badan pengadilan
2. Pengadilan Tinggi Provinsi
3. Pengadilan Negeri/Kota
4. Kejaksaan.[70]
6. Warga Negara Keturunan
Sebenarnya
warga negara keturunan telah ada sejak masa bani Umayah karena luasnya
kekhilafahan yang terdiri dari berbagai bangsa dan etnik yang berbeda,
seperti unsur Barbar di Afrika Utara, unsur Qibti di Mesir, Unsur Kurdi
di Irak, unsur Persia di Iran dan lain-lain.
Namun
pada masa bani Abbasiyah, perkawinan campuran antara pria Arab dan
wanita non Arab nampak sangat menonjol di mana bukan masyarakat umum
saja yang melakukan tetapi juga para khalifah, pejabat pemerintahan,
panglima tentara, gubernur dan pembesar-pembesar lainnya. A. Hasjmi mengatakan bahwa para khalifah yang berasal dari golongan taulid (warga negara keturunan) ini banyak di antaranya adalah Harun Ar Rasyid, Makmun dan Al Mu’tashim.[71]
7. Disintegrasi Politik
Secara
politis, kekuasaan politik bani Abbasiyah mengalami masa keemasannya
hanya pada periode pertama sebelum berpindahnya dominasi kekuasaan
politik ke tangan bangsa Turki pada periode kedua. Pada periode ini dan
seterusnya, kekhilafahan bani Abbasiyah lebih didominasi oleh
disintegrasi yang terwujud dalam bentuk pemisahan diri dari dominasi
pemerintahan pusat dan perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
Dalam hal pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat, penulis melihat
adanya dua alternatif, yang pertama adalah keinginan daerah-daerah yang
berada di bawah kekuasaan bani Abbasiyah untuk lebih berkuasa dan yang
kedua karena para khalifah bani Abbasiyah lebih mementingkan pembangunan
ilmu pengetahuan dan peradaban dibandingkan dengan kekuasaan politik.
Para khalifah ini nampak merasa cukup dengan upeti-upeti yang diberikan
daerah-daerah provinsi sebagai lambang kepatuhan kepada pemerintah
pusat. Satu hal yang pasti, pemerintahan bani Abbasiyah sejak
diangkatnya orang-orang Turki untuk menduduki jabatan sebagai tentara
profesional, memudar yang diikuti oleh kemerdekaan daerah-daerah
provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad.
Berkenaan
dengan pemisahan diri dari dominasi pemerintahan pusat ini, Badri Yatim
menyebutkan lebih dari 20 dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri
dari pemerintahan bani Abbasiyah sejak 820 M. hingga keruntuhannya pada
1258 M., baik dari latar belakang kebangsaan seperti bangsa Arab,
Persia, Turki dan Kurdi maupun dari latar belakang paham keagamaan
seperti Syi’ah dan Sunni.[72]
Sedangkan
dalam hal perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, telah terjadi sejak pemerintahan bani Abbasiyah
ini berdiri. Pada periode kedua, kekuasaan pemerintahan berhasil direbut
oleh orang-orang Turki. Pada periode ketiga, pemerintahan pusat bani
Abbasiyah berpindah ke tangan bani Buwaih yang berasal dari keluarga
miskin di Dailam setelah ketiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih, Ali Hasan
dan Ahmad memasuki kancah kemiliteran yang dimulai dengan memasuki
dinas militer.[73]
Pada
periode keempat kekuasaan pemerintah pusat dipegang oleh Bani Seljuk
setelah kekuasaan bani Buwaih yang berjalan sekitar satu abad menurun
yang terutama disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang terjadi di antara
keturunan bani Buwaih. Dinasti Seljuk sendiri adalah gabungan antara
kabilah-kabilah kecil dari suku Ghuz di Turkistan yang pada abad kedua,
ketiga dan keempat hijriah pergi ke Transoxiana dan Khurasan dan
dipersatukan oleh Seljuk bin Tuqaq. Kekuasaan bani Seljuk ini berusia
hampir satu setengah abad dengan wilayah kekuasaan yang sangat besar,
terutama pada masa Malik Syah (1072-1092M.) yang meliputi Seljuk Besar
yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan ahwaz, Seljuk
Kirman, Sejuk Irak, Seljuk Syiria dan Seljuk Rum.[74]
Pada
periode kelima, kekuasaan bani Abbasiyah berada dalam genggaman
Khawarizm Syah yang merupakan periode terakhir dari peradaban Islam masa
bani Abbasiyah. Kekuasaan yang hanya berusia 64 tahun di bawah
kepemimpinan khalifah Al Mu’tashim ini akhirnya dihancurkan oleh
serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.
B. Ekonomi Islam
Pada
masa pemerintahan bani Abbasiyah, kegiatan perekonomian bertambah maju
seiring dengan perkembangan jaman sehingga kekayaan negara bertambah
banyak, meskipun pada umumnya tidak berbeda dengan kegiatan perekonomian
yang dilakukan bani Umayah. Badri Yatim menulis bahwa pada masa Al
Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga dan besi.[75]
Kemudian
di sektor industri di mana banyak berdiri kota-kota industri, seperti
Bashrah yang terkenal dengan industri sabun dan gelasnya, Kufah dengan
industri suteranya, Mesir dengan industri tekstilnya, Andalusia dengan
industri kapal, kulit dan senjatanya dan Baghdad tentunya sebagai
ibukota dengan berbagai industri yang digelutinya. Berkenaan dengan
industri di Baghdad ini, A. Hsjmi menulis, bahwa Baghdad mempunyai 400
buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik.[76]
Selain
sektor pertanian dan industri di atas, masa pemerintahan bani Abbasiyah
juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam bidang
perdagangan. Pada masa ini usaha-usaha untuk memajukan perdagangan
dilakukan dengan membangun sumur-sumur dan tempat peristirahatan para
pedagang, membangun armada-armada dagang dan membangun armada-armada
lalut untuk melindungi para pedagang dari ancaman serangan bajak laut.
A. Hasjmi mengatakan bahwa Baghdad merupakan Kota Perdagangan terbesar
di dunia pada waktu itu yang dilanjutkan dengan Damaskus sebagai kota
keduanya di samping kota-kota
perdagangan lainnya di dunia Islam seperti Bashrah, Kufah, Madinah,
Kairo, Kairawan, dan kota-kota di tanah Persia.[77]
Kemajuan
ekonomi yang sangat signifikan ini diawali oleh khalifah Al Manshur
yang piawai dalam bidang ekonomi dengan meletakkan fondasi-fondasinya
dengan kuat selama 22 tahun yang dilanjutkan dengan khalifah-khalifah
lainnya, terutama Harun Ar Rasyid. Sepeninggal Al Manshur,--sebagaimana
ditulis oleh A. Hasjmi—kas negara masih tersisa sebanyak 810.000 dirham
dan ketika khalifah Harun Ar Rasyid meninggal, ia meninggalkan kekayaan
negara kurang lebih 900.000.000 dirham.[78]
Perbedaan-perbedaan
dalam bidang ekonomi yang ada antara masa bani Umayah dan bani
Abbasiyah ini di antaranya adalah pada penerapan konsep kepemilikan atas
tanah di mana pada jaman bani Abbasiyah, konsep tanah adalah hak penuh
negara lebih tegas dikemukakan, sementara pada masa bani Umayah, tanah
adalah milik umat Islam yang diwakili oleh Khalifah. Perbedaan yang lain
adalah pada penerapan pajak di mana diperoleh cara yang mempermudah dan
memperlancar penarikan pajak dengan adanya sistem penjamin yang pada
waktu itu disebut dengan Dhaman atau Qibalat.[79]
Selain
itu, sikap bani pemerintahan bani Abbasiyah kepada para petani lebih
baik jika dibandingkan dengan sikap bani Umayah yang kurang mendukung
sektor pertanian, terutama di masa-masa awal pemerintahan. A. Hasjmi
menulis bahwa tindakan-tindakan yang mendukung sektor pertanian seperti
memberikan jaminan kepada para petani, memperluas areal pertanian,
membangun bendungan-bendungan untuk keperluan irigasi hingga mengambil
tindakan keras kepada para pejabat yang berlaku kejam terhadap petani
menjadikan sektor pertanian pada masa Abbasiyah maju sekali sehingga
tidak satu pun daerah yang tidak mempunyai lahan pertanian.[80]
Namun,
kemajuan di bidang ekonomi ini bukan terjadi selama pemerintahan bani
Abbasiyah, tapi hanya pada periode pertamanya di mana kekuasaan politik
masih sangat kuat dan secara ekonomi sangat kaya. Setelah terjadinya
disintegrasi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pendapatan
pemerintah pun menurun. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh makin
menyempitnya daerah kekuasaan, banyaknya kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan adanya dinasti-dinasti
kecil yang tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran membengkak.
Badri Yatim menulis, pembengkakan pengeluaran ini antara lain karena
kehidupan para khalifah dan pejabat yang semakin mewah, jenis
pengeluaran yang semakin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[81]
C. Ilmu Pengetahuan Islam
Masa
bani Abbasiyah disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam, terutama
dalam bidang ilmu pengetahuan di mana kemajuannya terjadi dengan sangat
pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini tidaklah mengherankan tentunya
jika melihat perkembangan yang terjadi sebelumnya di mana stabilitas
politik yang telah terwujud dan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu
pengetahuan waktu itu dapat dikatakan telah mencapai tingkatannya yang
paling tinggi. Ditambah lagi dengan industri kertas yang juga sangat
mendukung gerakan keilmuan, telah ada sejak masa khalifah Harun Ar
Rasyid.
Hal
ini, terlepas dari adanya disintegrasi politik maupun pemisahan diri
daerah-daerah provinsi dari pemerintahan pusat di Baghdad sejak periode
kedua sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, karena baik pusat
maupun daerah sama-sama mementingkan kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan.
Berkaitan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, Badri Yatim menulis bahwa selain
perkembangan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan pemerintahan,
setidaknya terdapat dua faktor lain yaitu faktor asimilasi dan gerakan
terjemahan. Asimilasi ini terjadi antara bangsa Arab dengan
bangsa-bangsa lain seperti Persia, India dan Yunani yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan gerakan
terjemahan, hal ini berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa
Al Mansur hingga Harun Ar Rasyid dengan penerjemahan karya-karya dalam
bidang astronomi dan logika. Fase kedua, mulai masa Al Ma’mun hingga
tahun 300 H dengan penerjemahan buku-buku di bidang filsafat dan
kedokteran. Dan fase ketiga berlangsung setelah 300 H di mana buku-buku
yang diterjemahkan semakin meluas.[82]
Pada
masa bani Abbasiyah ini, kegiatan keilmuan Islam baik berupa
penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab maupun penulisan karya-karya
asli penulis Islam sangat intens dilakukan. Harun Nasution menulis
bahwa buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Byzantium dan
berlangsung selama satu abad lamanya. [83]
Dalam
kegiatan keilmuan ini, sejak khalifah Al Mansur, tepatnya setelah ia
memindahkan ibukota pemerintahan ke Baghdad pada 762 M., buku-buku dari
berbagai bahasa yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan banyak
diterjemahkan dan dibukukan. Usaha pengembangan ilmu pengetahuan Islam
ini diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya terutama Al Ma’mun
(813-833 M.), khalifah yang karena cintanya kepada ilmu pengetahuan membangun sekolah-sekolah dan Bait al Hikmah di Baghdad sebagai
pusat kebudayaan dan keilmuan. Musyrifah Sunanto menyatakan bahwa di
sinilah orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M.), penerjemah
buku kedokteran Yunani, termasuk buku ilmu kedokteran yang sekarang
terdapat di berbagai toko buku dengan nama Materia Medika.[84]
Dengan
dilakukannya berbagai penerjemahan dari buku-buku yang berasal dari
Barat, dalam hal ini Yunani Klasik, lahirlah para ulama dan cendekiawan
muslim yang tidak hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari, tetapi juga
melahirkan ilmu-ilmu baru, khususnya di bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan umum. Dalam bidang filsafat, muncul Ikhwanusshafa, Al Kindi,
Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd dan lain-lain.
Dalam bidang astronomi, terdapat Al Battani, Ibn Al Hatsam, Al Fazari As
Shufi, dan lain-lain. Dalam Ilmu Kimia ada Jabir Ibn Hayyan yang
disebut sebagai Bapak Ilmu Kimia dan Abu Bakar Ar Razi. (865-925 M.), Al
Hawawi, Al Majrithi dan lain-lain. Dalam bidang Fisika ada Abu Raihan
Muhammad Al Bairuni (973-1048 M.), Al Khazin, Al Hamdani dan lain-lain.
Dalam bidang geografi ada Al Mas’udi, Al Maqdisi, Al Handani dan
lain-lain. Dalam bidang kedokteran dan farmasi ada Hunain Ibn Ishaq, Abu
Bakar Ar Razi, Az Zahrawi, Ibn Sina dan lain-lain.
Selain
penerjemahan dan penemuan ilmu-ilmu baru dalam bidang ilmu pengetahuan
umum, buku-buku yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan agama pun disusun
dengan cara yang lebih sistematis dan rapi. Dalam bidang hadits
terkenallah nama-nama seperti Bukhari dan Muslim pada abad ke IX M.
Dalam bidang Fikih terdapat empat imam madzhab yang terkenal yaitu Imam
Abu Hanifah (700-767 M.), Imam Malik (713-795 M.), Imam Syafi’I (767-820
M.) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M.). Dalam bidang tafsir
terdapat Al Thabari (839-923 M.). Dalam bidang sejarah ada Ibn Hisyam
pada abad kedelapan, Ibn Sa’d pada abad kesembilan. Dalam bidang teologi
(ilmu kalam) ada Wasil bin ‘Atha, Ibn Huzail, Al Allaf (752-849 M.),
dari golongan Mu’tazilah. Ada Abul Hasan Al Asy’ari (873-955M.) dan Al
Maturidi dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah pada abad kesembilan dan
kesepuluh. Dalam bidang tasawuf terkenallah Zunnun Al Mishri, Abu Yazid
Al Busthami, Al Hallaj.
Dan
tidak hanya itu saja, kemajuan ilmu pengetahuan pada masa bani
Abbasiyah ditandai dengan kemajuan di bidang sastra Arab. Dalam bidang
ini, baik puisi maupun prosa mengalami
kemajuan yang signifikan yang membedakannya dari puisi dan prosa pada
jaman bani Umayah. Tentang kemajuan di bidang puisi, A. Hasjmi
mengemukakan bahwa pada jaman bani Abbasiyah telah lahir para sastrawan
(penyair) yang membawa aliran baru dalam sajak-sajaknya, baik isi,
uslub, tema, atau pun sasarannya, sehingga dalam hal-hal tersebut mereka
mengatasi para penyair sebelumnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa para
penyair zaman bani Umayah masih terlalu keras mempertahankan kemurnian
Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang
bukan asli Arab, sedangkan para penyair zaman Abbasiyah telah merubah
kebiasaan itu.[85]
Begitu
juga dengan prosa, A. Hasjmi mengatakan bahwa selama masa pemerintahan
bani Abbasiyah, prosa telah mengalami kemajuan yang pesat, baik dari
gaya bahasanya maupun dari isinya. Para prosais masa Abbasiyah ini,
lanjut A. Hasjmi, berani mengadakan perubahan-perubahan dan berbaikan
dalam dunia sastra, bahkan kalau perlu dengan meninggalkan sama sekali
kebiasaan-kebiasaan zaman sebelumnya.[86]
Adapun
para ahli muslim di bidang puisi dan prosa di antaranya adalah Abu
Nuwas (145-198 H.), Abu Atahiyah (130-211 H.), Abdullah Ibn al Muqaffa’
(w. 143 H.), Al Jahizh (w. 255 H.), Badi’uzzaman al Hamzani (w. 398 H.),
Al Mutanabbi (303-354 H.), Al Mu’arry (363-449 H.), dan Ibn Qutaibah (w. 276 H.)
Bidang
seni musik adalah salah satu yang membedakan masa ini dengan masa
sebelumnya di mana perkembangannya pada masa bani Abbasiyah sangat
signifikan. Baik buku-buku asli maupun terjemahan dari bahasa Yunani dan
India, pada masa bani
Abbasiyah ini tentang musik dan ilmunya telah banyak disusun. Di samping
itu, para khalifah dan para pejabat pemerintahan lainnya memberi
perhatian yang sangat besar terhadap musik, sehingga banyak didirikan
sekolah-sekolah musik di berbagai daerah baik untuk level menengah
maupun tinggi. A. Hasjmi
mengatakan bahwa sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah
yang didirikan oleh Saiduddin Mukmin (w.1294 M.)[87]
Di
antara ahli musik pada masa ini adalah Yunus bin Sulaiman (w. 765 M.),
Khalil bin Ahmad (w. 791 M.), Al Kindi (w. 874 M.), Hunain bin Ishak (w.
873 M) dan Al Farabi yang juga seorang filosof.
EVALUASI
1. Bagaimanakah perkembangan politik, sosial dan pemerintahan Islam pada masa bani Abbasiyah ini ?
2. Bagaimana pula perkembangan ekonominya?
3. Masa
bani Abbasiyah disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam.
Bagaimanakah gambaran ilmu pengetahuan Islam pada masa ini>
PENUTUP
Sejarah
peradaban Islam masa klasik yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya merupakan bagian terpenting dari sejarah panjang umat Islam
yang harus diketahui dan dipelajari sebagai bahan dan bagian dari
upaya-upaya rekonstruksi peradaban Islam, terutama oleh para pemikirnya
dalam rangka kebangkitan Islam yang sejak seabad lamanya disuarakan.
Kebangkitan
Islam ini sendiri sangat mungkin terjadi, karena peradaban Barat saat
ini dapat dikatakan telah mencapai puncaknya yang tertinggi. Mengikuti
teori Ibn Khaldun tentang peradaban bahwa peradaban itu seperti manusia
yang berkembang dari bayi kemudian remaja, dewasa, tua dan akhirnya
mati, peradaban Barat sekarang dapat dikatakan sedang berada di ambang
kematiannya.
Pertanyaannya
kemudian adalah apakah peradaban Islam yang akan menggantikan peradaban
Barat ini ? Jawabannya kembali kepada umat Islam itu sendiri. Karena
peradaban Islam tidak lahir begitu saja tanpa adanya usaha untuk
mewujudkannya. Lalu bagaimana mewujudkannya? Caranya yang paling pertama
dan utama adalah dengan mempelajari sebab-sebab bangunnya peradaban
yang terjadi sepanjang sejarah kemanusian dan peradaban itu sendiri.
Oleh
karena itu, ada baiknya jika kita mengingat ungkapan menarik tentang
pentingnya arti sejarah dalam membangun sebuah peradaban yang
dilontarkan Soekarno, Presiden pertama RI yang berbunyi jas merah,
jangan sekali-kali melupakan sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang. Jakarta. Cet. kelima. 1995.
Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (Terj.). GIP. Jakarta. Cet. ke 1. 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet. ke 16. 2004.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. Kalam Mulia. Jakarta. Cet. ke 1. 2002.
Ibn Hisyam, As Sirah an nabawiyyah, jilid 1, 2 dan 3, Darul Jil, Beirut, Cet. ke 1, 1991.
Al Syarqawi, Iffat. Fi falsafat al hadlarah al islamiyyah. Darunnahdlah al arabiyyah. Beirut. Cet. ke 4. 1985.
Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Cet. ke 1. 2004.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Prenada Media. Jakarta. Cet. ke 1. 2003.
Majid, Abdul Mun’im. Sejarah Kebudayaan Islam (Terj.). Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997.
Ibn Khaldun. Al Muqaddimah. Darul Ma’arif. Tunis. Cet. ke 1. 1991.
Qardlawi, Yusuf. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.). Danakarya. Surabaya. Cet. ke 1. 1997.
Pasya, Ahmad Fuad. At-Turats al ‘Ilmi lil Hadlarah al Islamiyyah wa makanatuha fi tarikhil ‘ilmi wal hadlarah. Darul Ma’arif. Shan’a’. Cet. ke 2. 1984.
Farrukh, Umar. ‘Abqariyyatul ‘arab fil ‘ilmi wal falsafah. Mansyurat al Maktabah al ‘ashriyyah. Beirut. Cet. ke 4. 1985.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Cet. IX . 1997.
[1] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 150.
[2] Ibid, h. 164.
[3] Lihat kisah provokasi kaum Kafir Quraisy kepada Negus dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, h. 165-167.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 169.
[5] Ibid, h. 179.
[6] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 49.
[7] Lihat untuk lebih jelasnya, Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) Cet. ke 1, GIP, tahun 1999. h. 122-133
[8] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1, 2004, h.32.
[9] Lihat kisah pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama selengkapnya dalam tulisan Ibn Hisyam, As sirah an nabawiyyah, jilid VI, Darul jil, Cet. ke 1, 1991, h. 77-78
[10] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 408-409.
[11] Kisah syura ini secara lengkap dapat dilihat dalam tulisan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Op. Cit., h. 483-488.
[12] Ibid, h. 329.
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 371.
[14] Ibid, h. 375.
[15]
Di antara perang-perang ini adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang
Dzaturriqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, dan Perang Bani
Musthalaq.
[16] Q.S. Al Qashas [28]: 77.
[17] Q.S. At Taubah: 60.
[18] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 43-44.
[19] Ibid, h.41.
[20] Ibid, h.48.
[21] Ibid, h. 60. Bandingkan dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan Op. Cit., h. 306.
[22] Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit, h. 62
[23] Ibid, h. 63-64.
[26] Untuk lebih jelas tentang Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan Islam, lihat buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.), Danakarya, Surabaya, Cet. Ke 1, 1997., h. 103-253.
[27] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke 1, Kencana, 2003, h. 18.
[29] Ibid., h. 236.
[30] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 1.
[31] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, Cet. Ke 5, UI Press, 1985, h. 61.
[32] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 12.
[33] Ibid., h. 14.
[34] Badri Yatim, Op. Cit., h. 43.
[35] Harun Nasution, Op. Cit., h. 62.
[37] Lihat cerita oposisi Abu Dzar dan Ibn Abi Hudzaifah selengkapnya dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam karangan Hasan Ibrahim Hasan, jilid 2. h. 153-158.
[38] Lihat kisah ini selengkapnya dalam buku Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, h. 175-180.
[39] Ibid., h. 190.
[40] Ibid., h.247
[41] Ibid., jilid 2, h. .259.
[43] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 311-312.
[44] Ibid., h. 328.
[45] Ibid., h. 329.
[46] Ibid., h. 330.
[47] Ibid., h. 330.
[48] Ibid., h. 364.
[49] Ibid., h. 369.
[50] Ibid., h. 377.
[51] Ibid., h. 382.
[52] Ibid., h. 341.
[53] Ibid., h. 351.
[54] Ibid., h. 353.
[55] Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 39.
[56] Ibid., h. 40.
[58] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., h. 418.
[59] Ibid., h. 421.
[61] Badri Yatim, Op. Cit., h.50 dengan sedikit modifkasi.
[62] Abdul Mun’im Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka. Bandung. Cet. ke 1. 1997. h. 17.
[63] Harun Nasution, Op. Cit., h. 67-68.
[69] Ibid, h. 233.
[70] Ibid., h. 235.
[72] Badri Yatim, Op. Cit., h. 65-66.
[73] Lihat kisah perjalanan karir bani Buwaih ini di buku Sejarah Peradaban Islam karya Dr. Badri Yatim, MA, h. 69-70.
[74] Ibid., h. 75.
[75] Ibid., h. 52.
[76] Ibid., h. 241.
[77] Ibid., h. 242.
[78] A. Hasjmi, Op. Cit. , h. 238.
[79] Abdul Mun’im Majid, Op. Cit., h. 27.
[80] A. Hasjmi, Op. Cit., h. 240.
[81] Badri Yatim, Op. Cit., h. 82.
[82] Ibid., h. 55-56.
[84] Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 80.
[85] A. Hasjmi, Op. Cit., h. 307.
[86] Ibid., h. 310.
[87] Ibid. , h. 319.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar